... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Sunday, August 26, 2007

Kita Gagal Memahami Alam

Bencana demi bencana seharusnya memberikan pelajaran penting bagi kehidupan kita. Adalah sebuah fakta bahwa negeri ini memiliki paling tidak 17.000 pulau besar dan kecil.
Dilihat dari berserakannya pulau-pulau itu di sebuah area seluas ini, tentu kita mendadak paham bahwa itu semua disebabkan oleh gempa-gempa terdahulu. Guncangan demi guncangan, juga sapuan-sapuan tsunamilah yang mengakibatkan berserakannya pulau-pulau itu. Ini sebuah fakta dan pelajaran penting bahwa kita ternyata hidup di sebuah area yang memang rawan bencana. Jika tidak datang dari gunung, akan datang dari dalam bumi akibat patahan dan desakan, bisa juga datang dari laut. Bahkan bencana pun datang dari langit karena hujan atau kemarau yang terlalu.


Dengan keadaan alam seperti itu kita hidup dalam ribuan bahkan jutaan tahun. Catatan atau pengalaman pastilah memberikan pelajaran demi pelajaran yang tak akan pernah selesai setiap waktu. Pengalaman menghadapi semua itu membuat pikiran manusia berkembang dan cara bertindak pun semakin baik. Artinya, setiap pengalaman selalu memberikan ruang bagi pikiran dan tindakan untuk tetap atau berubah. Ketika alam semesta memberikan pelajaran kehidupan, manusia seharusnya bertindak dan berpikir serta berkembang semakin baik. Seharusnya juga demikian ketika bencana demi bencana itu menghampiri kita. Seharusnya kita menjadi lebih antisipatif, baik dalam bertindak, bijak dalam keputusan, tertata dalam penanganan.

Namun tampaknya berkali-kali kita gagal Kita semua telah gagal dalam menata kehidupan masyarakat, terutama dalam bersikap terhadap alam semesta. Kegagalan dalam bersikap karena kita tidak pernah belajar tentang perilaku alam semesta. Siulan burung, hanya ditangkap sebagai kicauan semata. Gugusan mega hanya dimaknai sebagai keindahan ciptaan Tuhan semata. Deru angin hanya dimaknai sebagai penyeka basah keringat. Padahal ketika siulan burung berubah menjadi tidak biasa, sebenarnya ia membawa isyarat alam lingkungannya. Ketika burung merasa gerah, perilakunya berubah dan siulan pun berubah. Isyarat berubahnya alam lewat burung itulah tak pernah menjadi pelajaran.

Nenek moyang kita terkenal sangat bijak dan cerdas dalam memahami itu semua. Mereka benar-benar belajar pada alam semesta sehingga sangat antisipatif terhadap seluruh perubahan sekecil apa pun. Setiap perilaku yang berubah, dan tanda-tandanya dicatat. Maka jadilah
primbon (catatan). Namun masyarakat kita sekarang semakin menjauh dari suasana seperti itu karena lingkungan memang tidak pernah menyentuh wilayah pelajaran seperti itu. Katanya sudah menjadi modern, maka catatan-catatan itu semakin tidak diperlukan. Setelah terjadi peristiwa, baru fenomena yang berubah itu ramai diperbincangkan dan digosipkan. Kita semakin gagal memahami kerja alam semesta.

6 comments:

Muhammad Mufti said...

Jaman sekarang alam seolah menjadi musuh, karena manusia sendiri yang memulainya. Alam jadi marah karena tidak diperlakukan sebagai sahabat. Kenapa? "coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang"

Anonymous said...

sekakarang kebanyakan dari kita lebih fokus ke duit aja ha ha

Yusuf Alam Romadhon said...

maaf Alam itu nama saya.... sulit dipahami tho? he he he he he

sayurs said...

@Om Yusuf : ha..ha... dokter emang sulit dipahami, sekolahe ae angel... ha.. suwun Om

Sinopi said...

srius mulu... ada apakah...?
tolong ke dokter, ato ke bengkel... barangkali ada yg kendur gitu lho...?
lagi berproses menjadi apa siy?
menjadi dewasa kah?
emang belum dewasa...?
*berproses menjadi lebih bijak kali Nop... lu bego amat siy, gitu aja nanya...*

sayurs said...

@Novee : proses apa ya Nop, ha...ha... lagi pengen aja... (ya tentu lah) btw thx Nop
opo to iki???