... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Monday, December 31, 2007

Di penghujung tahun

Malam ini 2007 usai. Berapa usiamu sekarang? Sudah sekian belas tahun atau sudah sekian puluh tahun. Hampir pasti, tidak ada yang berkata bahwa kini usianya sudah seratus sekian tahun. Amat langka manusia yang berusia seratus tahun. Usia manusia pada umumnya berkisar hanya pada angka belasan dan puluhan tahun. Bahkan, cukup banyak tidak sampai ke belasan, tetapi hanya pada angka satuan tahun. Tak sedikit pula manusia hanya lahir sebentar, beberapa detik, menit, atau jam. Lalu, meninggal, kembali kepada Sang Khalik.

Siapa tahu, dan memang kita tidak bisa memastikan, seseorang merancang program Tahun Baru 2008-nya, namun dia termasuk salah seorang yang harus menghadap Sang Khalik dalam beberapa jam tersisa tahun 2007 ini. Bahkan, tidak jarang pada malam tahun baru, sebelum pukul nol-nol, ada manusia sudah berakhir hidupnya karena berbagai sebab. Tabrakan maut atau kecelakaan di malam pesta Tahun Baru adalah di antara lain sebab-sebab itu.

Beberapa menit lagi 2007 usai. Sudah tepat kalau manusia memikirkan kembali perjalanan hidup yang sudah dilaluinya. Silakan ingat kembali masa lampau ketika masa anak-kanak. Ketika kita masih hidup di kampung halaman di desa. Ketika pekerjaan kita pagi atau sore ialah mengejar dan menangkap capung yang banyak beterbangan di pekarangan depan rumah kita yang ditumbuhi berbagai rupa bunga-bunga. Ketika kita berlari-lari ke musala dekat pasar desa, atau ke sawah menyusuri pematang.

Atau ketika kita bermain di sungai. Atau, melompat jungkir dari perahu-perahu nelayan yang di parkir di pantai desa kelahiran kita. Masa itu, usia kita baru di bawah atau di atas sedikit sepuluh tahun. Masa itu, masa kanak-kanak, masa hidup kita begitu bersih. Bersih lingkungan rumah tua milik orangtua kita. Bersih sungai dan laut tempat kita bermain-main. Bersih pula hati orang-orang dewasa dan kanak-kanak beribadah di musala tua di kampung.

Ketika usia kita disebut remaja, pemuda-pemudi, kampung halaman ditinggalkan. Kita hijrah ke kota. Ke kota untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Ke kota untuk mengadu nasib, mencari kerja. Kita mengenal banyak manusia lainnya yang bukan sekampung, bukan sebahasa daerah, bukan seperti kawan-kawan kita di kampung dahulu.

Dalam usia seperti itu, kita memasuki dunia pergumulan hidup. Dan, tahun pun berganti, lalu berganti lagi. Musala di kampung semakin tua. Begitu juga rumah tua orangtua kita yang kita sudah tinggalkan juga semakin tua. Usia kita pun semakin tua.

Adakah pada usia yang semakin tua itu, kita masih bisa merasakan kegirangan mengejar capung yang terbang dari satu tangkai bunga ke tangkai bunga lainnya? Adakah air sungai di kampung masih bersih seperti dulu?

Adakah desir ombak di pantai desa kita dulu masih seperti dulu mengajak kita melompat jungkir dari perahu-perahu nelayan? Ketika usia semakin tua, tak tahan rasanya kita membaca berita seseorang menjadi buron karena tindak perbuatan tidak terpuji. Kenapa kita ikut takut dan gemetar, padahal berita itu hanya menyebut nama lain, bukan nama kita, yang ditahan polisi karena perbuatan korupsi?

Rasanya kita mau agar kita masih diberi kesempatan hidup pada tahun 2008 dan beberapa belas atau puluh tahun lagi selanjutnya. Kita mau kembali bersih seperti pada masa kanak-kanak dahulu di kampung. Yaitu, mengejar capung, berlari, melompat dan bermain dengan ombak laut dan air sungai. Bukan seperti sekarang, berita korupsi di koran membuat jantung kita berdegub-degub. Padahal bukan kita. Ya, bukan kita.

Beberapa detik lagi 2007 usai. Masih ada waktu untuk merenungkan dan, bahkan, menangisi usia kita yang sudah sekian tahun, tetapi mungkin tidak sebersih dengan sewaktu kita masih di kampung halaman dahulu. Masih ada waktu, meski sisa beberapa saat.

Sunday, December 30, 2007

uanyel..

"Bencana alam melanda negeri ini akibat banyaknya hutan yang habis di babat ngawur dan semaunya. Kita harus belajar pada negara lain agar tidak terjadi lagi pembalakan hutan!"

"Negara mana pak?"

"Saudi Arabia..."

Wednesday, December 26, 2007

Susah senang, mulur mungkret

Manusia selalu mempunyai keinginan, yang bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret, mulur lagi, mungkret lagi. Sifat ini yang menyebabkan rasa hidup orang sejak kecil sampai tua, pasti bersifat sebentar senang, sebentar susah, karena semuanya mempunyai keinginan. Jika tidak mempunyai keinginan, maka ia bukanlah manusia, dan tiap keinginan pasti bersifat seperti di atas tadi.

Jadi rasa hidup manusia sedunia ini sama saja, yakni pasti sebentar senang, sebentar susah. Sekalipun orang kaya, miskin, raja, kuli, wali, bajingan, rasa hidupnya sama saja, ialah sebentar senang, sebentar susah. Yang sama adalah rasanya senang-susah, lama-cepatnya, berat - ringannya. Sedang yang berbeda adalah halnya yang disenangi / disusahi.

Orang kaya senang dapat mendirikan pabrik dan orang miskin senang dapat mendirikan kendil (periuk nasi). Kesenangan kedua orang tadi pada hakekatnya sama. Seorang raja merasa senang bahwa ia dapat menyerbu sebuah kota lawannya. Sedangkan seorang kuli kereta-api merasa senang bila dapat menjelajahi gerbong-gerbong dan memboyong (mengangkat-angkat) koper. Kedua orang itu sama di dalam merasa senang. Seorang wali (orang sakti) merasa senang bila dapat terbang di angkasa, sedangkan seorang bajingan merasa senang pula dapat mencopet barang, kedua-duanya sama di dalam merasa senang.

Tetapi seorang miskin sering beranggapan bahwa orang kaya itu tidak pernah susah. Anggapan demikian itu keliru, sebab diri orang kaya pun berisi keinginan yang bila tercapai pasti mulur. Misalnya seorang kaya raya, memiliki perusahaan angkutan bus. Walaupun sudah mempunyai beratus-ratus bus, keinginannya tentu mulur. Ia tentu ingin mempunyai kereta api. Setelah mempunyai kereta api, pasti keinginannya mulur lagi, ia ingin mempunyai kapal laut. Sebelum keinginan mempunyai kapal laut tercapai, tiba-tiba ia menghadapi masalah berdirinya perusahaan bus baru sehingga ia merasa susah karena khawatir kalau disaingi. Maka orang kaya bagaimanapun, rasa hidupnya tentu sebentar senang, sebentar susah.

Demikian pula seorang wali sering dikira tidak pernah susah. Perkiraan demikian itu keliru, karena wali pun berisikan keinginan. Misalnya seorang wali yang sakti, seperti dalam dongengnya Sinuhun Kanjeng Sultan Agung di Mataram. Ia raja dan juga wali dan ketika ia hendak pergi ke Banten dengan jalan terbang, dan itu terlaksana, maka senanglah ia. Tetapi ketika hendak pulang ke Mataram, juru tamannya meninggalkannya, maka rontoklah bulu sayapnya, hingga susahlah ia. Jika wali yang bagaimana pun, rasa hidupnya pasti sebentar senang, sebentar susah.

Apabila mengerti bahwa rasa orang di dunia sama saja, yakni sebentar senang, sebentar susah, bebaslah kita dari penderitaan siksaan iri hati dan kesombongan.

Saturday, December 15, 2007

Jejak kita

Banyak orang masuk ke dalam kehidupan kita, satu demi satu datang dan pergi silih berganti. Ada yang tinggal untuk sementara waktu dan meninggalkan jejak-jejak di dalam hati kita dan tak sedikit yang membuat diri kita berubah.

Alkisah seorang tukang lentera di sebuah desa kecil, setiap petang lelaki tua ini berkeliling membawa sebuah tongkat obor penyulut lentera dan memanggul sebuah tangga kecil. Ia berjalan keliling desa menuju ke tiang lentera dan menyandarkan tangganya pada tiang lentera, naik dan menyulut sumbu dalam kotak kaca lentera itu hingga menyala lalu turun, kemudian ia panggul tangganya lagi dan berjalan menuju tiang lentera berikutnya. Begitu seterusnya dari satu tiang ke tiang berikutnya, makin jauh lelaki tua itu berjalan dan makin jauh dari pandangan kita hingga akhirnya menghilang ditelan kegelapan malam. Namun demikian, bagi siapapun yang melihatnya akan selalu tahu kemana arah perginya pak tua itu dari lentera-lentera yang dinyalakannya.

Penghargaan tertinggi adalah menjalani kehidupan sedemikian rupa sehingga pantas mendapatkan ucapan: “Saya selalu tahu kemana arah perginya dari jejak-jejak yang ditinggalkannya.

”Seperti halnya perjalanan si lelaki tua dari satu lentera ke lentera berikutnya, kemanapun kita pergi akan meninggalkan jejak. Tujuan yang jelas dan besarnya rasa tanggung jawab kita adalah jejak-jejak yang ingin diikuti oleh putera puteri kita nantinya dan dalam prosesnya akan membuat orang tua kita bangga akan jejak yang pernah mereka tinggalkan bagi kita.

Tinggalkanlah jejak yang bermakna, maka bukan saja kehidupan anda yang akan menjadi lebih baik tapi juga kehidupan mereka yang mengikutinya.

sumber : NN, cerita motivasi, 2007

Wednesday, December 12, 2007

Refreshment

Salah satu faktor internal pada manusia yang dapat mempengaruhi produktifitas adalah kemampuan berkreatifitas. Kreatifitas membantu keberhasilan seseorang dalam menentukan langkah awal yang jitu. Setiap individu dituntut untuk memiliki produktifitas yang tinggi, apalagi dalam suatu organisasi atau perusahaan yang berorientasi pada keuntungan yang tinggi.

Tuntutan seperti itu tidak akan terpenuhi apabila sumber daya manusianya mengalami kondisi kejenuhan. Karena rutinitas misalnya. Rutinitas merupakan faktor eksternal yang dapat mengakibatkan kejenuhan yang akhirnya akan berakibat pada menurunnya tingkat produktivitas dan kinerja seseorang.

Ada beberapa cara untuk menghilangkan kejenuhan, salah satunya adalah penyegaran kembali melalui kegiatan rekreasi inovatif yang dilakukan dengan mengunakan media alam. Kegiatan ini merupakan kegiatan alternatif yang mampu menciptakan suasana segar dan menyehatkan tetapi juga ada nilai tambah yang berusaha ditonjolkan dari setiap permainan atau game sehingga pelaku tidak hanya merasakan senang saja tetapi juga merasakan adanya penambahan pengalaman baru serta pengetahuan baru yang bermanfaat.

Dengan mengikuti kegiatan seperti Outbound atau sekedar Outing, diharapkan seseorang mendapatkan energi baru yang bisa menghilangkan kejenuhan dan meningkatkan suasana keharmonisan di antara peserta sehingga dapat kembali bekerja dengan stamina dan produktifitas yang prima yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja pada tempat ia berkarya.

Sunday, December 9, 2007

Menantu

Ketiga menantu, semuanya perempuan, mengumpulkan suami-suami mereka dan menghadap mertua pria. Intinya mereka protes keras. Mertua wanita, kata mereka, terlalu dominan dan pilih kasih. Sedang mertua pria, terlalu lemah, tidak bisa jadi contoh ketegaran seorang pria.

"Dalam ajaran agama kan juga ada, pi," kata menantu pertama, "istri itu harus tunduk pada suami."

"Benar, pi. Papi tidak boleh takut sama mami," sambung menantu kedua.

"Walau papi sudah tidak kerja, tetapi papi ini laki-laki, tidak boleh bersikap lemah terhadap mami," kata menantu ketiga pula.

Sementara mereka "unjuk rasa", para suami mereka duduk dengan manis dan menganguk-angguk kepala tidak berdaya.

Ketiga menantu perempuan itu, menuntut sang mami untuk tunduk kepada sang papi, pakai comot ajaran agama pula, sementara kaki mereka sendiri berada di atas kepala suami masing-masing.
Paling mudah memang melihat selumbar di mata orang lain, walau ada balok di mata sendiri. Menuntut orang lain begini dan begitu, sebenarnya sah-sah saja, sejauh kita sendiri melakukan apa yang kita tuntutkan itu.