... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Friday, May 30, 2008

Lapis terluar diri

Sebuah kurungan bisa amat penting, bisa juga tidak. Tergantung dipandang dari sudut mana dan siapa yang memandang. Namun menurut saya pribadi isi kurungan lebih penting daripada kurungannya.


Pak camat di desa saya dulu punya seekor perkutut yang hebat. Kabarnya, orang dari kota pernah ada yang ingin menukarnya dengan sebuah BMW baru. Itu burungnya. Kurungannya, kata lik Samin lebih mahal daripada rumah lik Samin sendiri yang memang kecil itu. Maklum, namanya juga burung milik Pak Camat. Kurungannya itu fungsional dan itu memang penting. Ganjil bila burung semahal itu dikurung dengan kurungan yang reot dan rapuh.


Kantor, asal-usul keluarga, kesukuan, agama, titel kesarjanaan, partai, organisasi profesi bahkan istri, suami, pakdhe, paman, menurut Mohamad Sobary, itu semuanya kurungan. Nama kita pun sebuah kurungan. Seperti dalam kasus perkutut Pak Camat, antara orang dan namanya harus ada keserasian juga. Kalau tidak, bisa menimbulkan gangguan dan sejumlah persoalan.


Pernah ada seorang petani kampung memberi nama anak laki-lakinya Gerry Partaningrat. Suatu ketika si Ningrat sakit-sakitan, mbah dukun membuat diagnosa bahwa dia keberatan nama. Kalau tidak diganti, kata mbah dukun, bisa gawat. Seandainya orangtuanya pergi ke dokter, bukan ke dukun, persoalannya tentu akan lain. Tapi sudahlah, Gerry Partaningrat diganti menjadi Rekso, dengan kelengkapan upacara kecil, ditandai jenang putih jenang abang. Kontras memang pergantian itu, tapi apa boleh buat, demi keserasian, yang dalam dunia pemikiran Jawa merupakan sesuatu yang penting. Dan Rekso lalu tumbuh makin sehat bahkan sekarang sudah menjadi orang sukses di pulau industri sana.


Dulu para pemuda berebut masuk KNPI, Sebagai kurungan, KNPI menjadi saluran karier politik yang baik. Bagi yang tak punya naluri politik, paling tidak KNPI memberinya identitas tambahan. Fungsi kurungan sebagai identitas menjadi penting bagi mereka yang gila atau krisis identitas.


Namun banyak juga orang yang tidak kurungan oriented. Mereka risih dengan berbagai kurungan. Gelar kesarjanaan tidak usah selalu dipakai. Jas dan segala lambang kuning emas di dada sesekali perlu ditanggalkan. Dan dalam pergaulan sehari-hari tak perlu menonjolkan secara verbal puritansi keagamaannya. Yang Islam tidak perlu memamerkan keislamannya, yang Kristen tak perlu pamer kekristenannya.


Kurungan ya kurungan, ia cuma lapis luar dari diri ini. Kurang begitu penting. Orang macam Emha Ainun, sosok yang terbiasa bebas di bawah langit dengan selimut mega, mungkin sudah sumpek hidup dalam banyak kurungan : dramawan, penyair, budayawan, kolumnis, cendekiawan muda, atau lainnya. Tak terasa aneh jika waktu itu menolak diberi kurungan baru yang gagah : Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Tanpa dikurung dalam ICMI ia sudah sejak lama dijuluki cendekiawan Islam (Muslim). Tanpa kurungan resmi ia sudah “menjadi”. Sementara itu, banyak orang lain mencari kurungan dengan harapan “ingin menjadi”. Di sebuah kesempatan dalam Mocopat Syafaat dia berujar : yang harus kita cari esensi, bukan eksistensi.


Alasan resmi penolakannya untuk join di ICMI waktu itu adalah, “Saya tidak mampu memanggul tugas mulia itu”. Siapa yang menyuruhnya memanggul sesuatu? Dalam tradisi kita, sebuah status tak selalu menuntut peranan. Achievement, umumnya, belum menjadi tekad utama banyak pihak. Jadi kalau seseorang masuk ke sana untuk kemudian duduk lalu diam, sebenarnya orang tersebut toh tak akan banyak dituntut. Masalahnya, ya itu tadi, bahwa kurungan, bagi banyak pihak, lebih penting daripada isinya.

Friday, May 23, 2008

G o r o - g o r o

Pada pagelaran wayang, ada scene yang namanya goro-goro yang menampilkan punakawan sebagai selingan di tengah malam. Jika babak itu tidak ada, pertunjukan kira-kira hanya akan berisi sidang-sidang resmi para raja dengan segenap kadang sentana kraton, perundingan bilateral penyelesaian konflik-konflik, menentukan batas wilayah negara, pembunuhan, latihan kemiliteran, perang, intrik dan usaha saling memusnahkan demi memuaskan ambisi politik masing-masing pihak yang terlibat.


Alangkah mengerikan. Betapa ganjil kehidupan dalam dunia semacam itu. Rasanya tak seorang pun yang memimpikan terciptanya tatanan hidup seperti itu. Perang, tindak kekerasan dan pengerahan personil militer untuk saling membunuh, yang bisa terjadi di zaman mana pun juga, selalu mengundang ketakutan dan kengerian. Tentara pun kalau kelewat sering perang, mungkin juga akan bosan.


Apa yang akan terjadi jika dunia menolak kehadiran goro-goro dan hidup kemudian cuma berisi sidang-sidang resmi, perundingan antar negara, konflik-konflik dan peperangan? Peter L. Berger, sosiolog beken itu, pasti akan mencibir sinis. Baginya, hidup tentu akan melulu jadi tumpukan fakta dan data, kering tanpa humor, tanpa kecenderungan tersenyum. Sulit membayangkan hidup tanpa senyum. Hidup tanpa goro-goro tentu sangat disesalkan. Bukan karena lantas tak ada senyum itu, tapi hidup tanpa goro-goro cuma menjadi semacam usaha melanggengkan otoritarianisme dan kemunafikan.


Semar, Petruk, Gareng dan Bagong, dalam goro-goro itu membuat guyon. Orang Jawa menyebutnya guyon pari keno (gurauan tapi mengena sasarannya). Kita bisa menyebut goro-goro macam itu sebagai kritik. Dalam tradisi kebudayaan politik Jawa, kata Mohamad Sobary, kritik wong cilik diterima jika kritik itu dibungkus gurauan halus dan bila jelas bahwa kritik itu memang tidak dilatarbelakangi tujuan-tujuan politis atau pamrih-pamrih tertentu.


Adakah orang yang melancarkan kritik tanpa pamrih seperti itu? Inilah persoalan yang sering merunyamkan dalam hubungan antara rakyat dengan pemerintah. Sebenarnya kritik dilahirkan guna menjaga keseimbangan. Tapi penguasa memang bukan wong cilik. Penguasa khawatir terhadap apa yang disebut “dampak”. Jadi maklum saja jika ada seniman dicekal, lagu disomasi, drama tak boleh dipertunjukkan, pertimbangan pokoknya adalah dampak itu tadi. Maunya suara yang terdengar hanya yang menyenangkan dan serba baik. Tak mengkhawatirkan akan timbulnya dampak. Terkesan tak ada sesuatu yang mengancam.


Pada beberapa waktu lalu, adegan goro-goro dialih fungsikan. Jadi sarana penunjang program KB, kesehatan, transmigrasi, koperasi. Intinya program pembangunan. Tapi apa yang terjadi jika goro-goro hanya melulu menyanyikan “lagu” pesanan? Ada suara yang hilang, pasti, yang tak bisa kita dengar. Di sana tak ada lagi ketulusan. Yang ada hanya sejumlah kepentingan-kepentingan terselubung, yang justru muncul tak terduga dari kalangan sendiri.


Jangan-jangan, selanjutnya, cermin di depan kita pun takut memantulkan wajah kita yang sebenarnya karena cermin pun tiba-tiba bisa bermain-main, pura-pura baik, pura-pura setia, pura-pura kawan. Selebihnya kita nampak berkuasa, kokoh, stabil dan mantap. Tapi mungkin keropos di dalamnya.


Ah piye yo…..


Thursday, May 1, 2008

Miris

Dewan perwakilan yang terhormat (yang biasa mencoret kata ini ga usah repot2 protes) di negeri ini sudah sekian ratus kali mengadakan sidang. Media pun hampir selalu ikutan sibuk, meliput dan mengekspos. Para pakar pun tak kalah sigap untuk ikut nguping, menganalisa dan mengungkapkan. Sampeyan ikut sibuk apa? Berapa persen perhatian dan pikiran sampeyan, yang sampeyan sisihkan untuk mencermati atau sekedar mengetahui kegiatan-kegiatan para dewan tersebut?

Namun kelihatannya yang diributkan di gedung megah di ibukota itu sebenarnya belum sungguh-sungguh ada hubungannya dengan tema-tema yang secara mendasar dibutuhkan oleh kebanyakan rakyat. Rakyat yang merupakan pemilik tanah air ini kurang (=belum?) dijadikan agenda utama persidangan. Urusan mayoritas penduduk negeri ini kayaknya bukan sesuatu yang diperdebatkan oleh wakil-wakil mereka.

Rakyat negeri agraris ini masih harus terus cuek mencangkul atau menjala sebisanya, karena apapun hasil sidang yang digelar di menara gading republik ini tidak menjanjikan perubahan nasib apapun ke arah yang lebih menggembirakan. Rakyat adalah barang tunggangan. Semua orang besar melenggang masuk ke habitat raja-raja dengan perkutut-perkututnya, dan rakyat adalah perkutut di dalam sangkar kekuasaan dan penipuan juragan-juragannya.

Andai ada pemimpin yang mengucapkan sesuatu tentang gizi buruk yang menimpa pada anak kecil di sebuah keluarga, jangan lantas menyimpulkan bahwa ia sedang berprihatin atas kejadian itu. Sebab bisa saja gizi buruknya itu ia sebut agar seluruh kampung mendengarnya lalu mengangkatnya menjadi pahlawan, dan besok pagi ia lupa tentang kelaparan yang menggerogoti keluarga tersebut.

Satu pemimpin begitu, sepuluh pemimpin begitu, seratus pemimpin begitu – dan tak ada yang tahu sampai kapan akan terus begitu. Kebetulan rakyat negeri ini juga sepertinya tidakk mengejar kebenaran, tapi malah menjebakkan diri dalam khayalan, kesalah pahaman dan prasangka-prasangka. Yang baik disangka buruk, yang buruk disangka baik. Yang seharusnya di buang malah ditelan, yang seharusnya dimakan malah dicampakkan. Rakyat Indonesia merelakan dirinya untuk tidak menjadi rakyat Indonesia, melainkan menjadi rakyat merah, rakyat kuning, rakyat biru dan rakyat hijau. Lalu menangis karena kaget ternyata yang disembah-sembah membuatnya menderita.

Rakyat Indonesia, kata Emha Ainun, adalah janda yang sepanjang sejarah menunggu untuk digilir diperkosa. Rombongan yang berduyun-duyun berjalan menuju cakrawala sejarah tanpa benar-benar tahu ke mana akan pergi.Dihadapan arah perjalanan sejumlah kelompok perampok menunggu untuk melucuti pakaian, mengambil harta dan memperkosanya.

Terlalu gampang memberikan keperawanan, baik keperawanan akal pikiran, nurani maupun keperawanan aspirasi politiknya. Terlalu mudah dijebak, ditipu, diiming-imingi, sampai akhirnya satu-satunya yang bisa dinikmati adalah situasi diperkosa. Dulu kawin dengan Orla dan dikhianati. Ganti suami Orba di-kempongi lagi dalam waktu yang panjang. Berbunga-bunga wajahnya karena mendapat suami baru bernama Reformasi, tapi ternyata ia lebih brutal, lebih tidak bermoral, lebih rakus dan lebih terang-terangan untuk tidak bertanggungjawab.

Kita sepertinya bukanlah rakyat yang pernah dididik untuk menjadi orang baik, orang arif. Pendidikan yang kita alami hanya kebohongan, kekonyolan dan kehinaan yang dicari-cari pembenarannya.