Langit sore itu tertutup mendung. Dia memandangi tirai gerimis yang mulai jatuh. Ada
sesuatu yang lelap dalam kemurungan hidupnya. Ada rasa hampa di dalam
dadanya. Kepahitan. Ketidak-pahaman. Pertanyaan-pertanyaan tanpa
jawaban. Dengan raga terbui, dia biarkan pikirannya melayang lepas.
Melesat jauh. Dari masa lalunya yang kelam ke masa depannya yang muram.
Tidak! Tidak satupun, baik kekuasaan karena materi maupun kekuatan
fisik, yang mampu membelenggu pikirannya. Dengan segudang sesal,
segudang harapan yang kandas serta segudang rasa perih di hati dia
menatap nanar jauh ke luar. Ke tirai gerimis yang sedang memeluk bumi.
Berdosakah dia? Tidakkah suatu kesalahan sering terjadi justru
karena ketidakmampuan seseorang untuk menolak kondisi pahit yang
mengungkungnya? Dan bukankah kondisi itu justru sering kitalah yang
menciptakannya? Dengan sedih kutatap matanya yang hampa. Segala kenangan
indah bersamanya dulu, baik atau buruk, kini tersisa samar-samar bagai
selaput tipis dalam waktu. Dia telah berupaya untuk melepaskan diri dari
narkoba yang telah meracuni tubuhnya. Tetapi berkali-kali pula dia gagal. Lamat-lamat kukenang kata-katanya dulu, “Aku hanya mencari cinta, bro, hanya cinta…”
Ah, Cinta. Salahkah dia bila ternyata kita,
sebagai masyarakat yang melingkunginya, gagal memberinya cinta?
Salahkah dia bila kemudian dia merasa menemukan cinta bersama
narkobanya? Salahkah dia? Bukankah luka-luka yang kini ditanggungnya
adalah luka-luka kita pula? Jadi sanggupkah kita menghakiminya? Betapa
sering kita hanya mempersalahkan tanpa merasa perlu untuk bertanya
mengapa. Betapa sering kita hanya mendakwa tanpa merasa perlu untuk
mencari tahu sebabnya. Kita malas
dan enggan untuk menghadapi dan menerima akar permasalahan yang
sesungguhnya. Kita mencari gampangnya saja. Dengan mempersalahkan kita
pun dapat cuci tangan dan berguman “itu salahnya sendiri, bukan salah
kami.” Dengan mudah kita sembunyikan keengganan kita dibalik kata-kata
gegap gempita, Lawan Narkoba!
“Aku hanya mencari cinta,” katanya. Dan
kita ternyata gagal memberikannya. Ya, kita seringkali gagal memberikan
cinta, baik kepada keluarga maupun sesama kita yang sedang berada dalam
kesulitan. Kita meninggalkan orang-orang yang kesepian. Dan kita
membiarkan keterasingan dari dunia sekeliling menutup jalan ke dalam
hati kita. Kita bahkan membiarkan hati kita yang dipenuhi dengan rasa
cinta tenggelam hanya dalam rindu tanpa berbuat apa-apa. Mungkin karena
kita terlalu terlena dengan kepentingan diri kita sendiri. Mungkin
karena kita lupa akan derita orang lain saat kita sendiri mengalami
penderitaan. Pada akhirnya, kita semua kehilangan cinta. “Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” kata pengkhotbah. Masih ingatkah kita?
Aku melangkah sendirian di lorong panti rehabilitasi ini. Suara kakiku bergema di ruang kosong, memantul dari tembok ke tembok.
Dari wajah hampa satu ke wajah hampa lainnya. Dari kamar-kamar yang bisu
dan tubuh-tubuh yang layu ke jiwa-jiwa yang merana. Hanya ada suara
gerimis memecah sepi. Suara gerimis dari cinta yang telah terlupakan.
Langit masih pekat.