... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Wednesday, December 31, 2008

Pencuri kue

Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu malam. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara lalu menemukan tempat untuk duduk. Sambil duduk wanita tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya.

Dalam keasyikannya tersebut ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada diantara mereka. Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan.

Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si Pencuri Kue yang pemberani menghabiskan persediaannya. Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu. Wanita itupun sempat berpikir, kalau aku bukan orang baik, sudah kutonjok dia ! Setiap ia mengambil satu kue, si lelaki juga mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu. Dengan senyum tawar di wajahnya dan tawa gugup, si lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua. Si lelaki menawarkan separo miliknya, sementara ia makan yang separonya lagi. Si wanita pun merebut kue itu dan berpikir, “Ya ampun orang ini berani sekali, dan ia juga kasar, malah ia tidak kelihatan berterima kasih.” Belum pernah rasanya ia begitu kesal.

Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan. Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Menolak untuk menoleh pada si "Pencuri tak tahu terima kasih !". Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget. Disitu ada kantong kuenya, di depan matanya. Kok milikku ada di sini erangnya dengan patah hati, jadi kue tadi adalah miliknya dan ia mencoba berbagi. Terlambat untuk minta maaf, ia tersandar sedih. Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu terima kasih dan dialah pencuri kue itu.

Selamat tahun baru, mari lebih berintrospeksi…

Wednesday, December 17, 2008

Munyux

NENEK MOYANG MANUSIA ?

Tiga ekor kera duduk di atas pohon kelapa membicarakan hal-hal yang dikatakan mengenai mereka. Kata salah satu kepada yang lainnya:


"Hai kau, dengarlah, ada desas-desus yang tidaklah benar, bahwa manusia berasal dari ras kita yang mulia. Sungguh merendahkan pemikiran itu!

Tak pernah ada kera yang meninggalkan isterinya, membiarkan bayinya kelaparan dan merusak hidupnya sendiri, dan kau tidak pernah tahu ada ibu kera meninggalkan bayinya untuk tinggal bersama kera lain, atau menyerahkanya dari tangan yang satu ke tangan yang lain hingga mereka hampir tidak tahu siapakah ibu mereka.

Dan hal lainnya yang tak akan pernah kaulihat, seekor kera membangun pagar sekeliling pohon kelapa dan membiarkan buah kelapanya terbuang sia-ia, melarang kera-kera lainnya untuk mencicipi. Untuk apa, jika aku memasang pagar sekeliling pohon, kelaparan akan mamaksa engkau mencuri dariku.

Satu hal lagi yang tak akan dilakukan seekor kera, keluar malam hari dan bermabuk-mabuk, atau menggunakan pistol atau gada atau pisau untuk mengaambil nyawa kera lainnya. Ya, kawan, manusia bernenek-moyang. Tetapi, mereka bukan berasal dari kita !"

sumber : OUR DAILY BREAD

Tuesday, December 9, 2008

Kalau bisa dipersulit, ...

Bagi yang pernah berurusan dengan birokrasi swasta maupun pemerintah di republik ini, pasti tidak asing dengan ungkapan yang mengatakan "kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah". Itulah ungkapan yang menggambarkan buruknya sikap mental para birokrat yang seharusnya punya kredo melayani publik, namun sebaliknya justru mereka yang akhirnya harus dilayani publik. Tak heran jika kita mengurus perizinan atau proses tertentu, maka dengan segala kelihaiannya para birokrat itu akan mempersulitnya. Akibatnya urusan jadi bertele-tele dan benar-benar menyita waktu. Jika kita takluk, maka mau tidak mau harus merelakan sejumlah uang untuk mempercepat urusan tersebut. Kebiasaan ini pula yang melestarikan mental korupsi di masyarakat kita. Jadi, ungkapan tersebut benar-benar menjadi penyakit mental yang luar biasa mengesalkan dan merugikan.

Ungkapan tersebut sebenarnya bisa diterapkan secara positif bagi pengembangan diri. Lho, bukankah jika semakin banyak orang melakukannya, maka akan semakin runyam pula situasi yang kita hadapi ?

Begini, misalnya saja anda yang cenderung mudah sekali kehilangan kepercayaan diri. Akibatnya, segala hal yang anda lakukan jadi buruk hasilnya. Nah, seandainya saja ada formula yang membuat anda bisa ‘mempersulit’ munculnya rasa kurang percaya diri tersebut, tentu pekerjaan yang anda lakukan bisa memberi hasil lebih baik. Kemungkinan besar kinerja anda akan lebih bagus hasilnya jika anda bisa melakukannya dengan penuh percaya diri. Jadi titik perhatiannya adalah mempersulit munculnya rasa kurang percaya diri.

Sesederhana itulah prinsipnya. Persulit munculnya hal-hal atau kebiasaan negatif. Dengan strategi itu, kemungkinan anda bisa lebih matang dan efektif sebagai pribadi. Hal atau kebiasaan negatif apa saja yang harus dipersulit atau tidak boleh dipermudah kemunculannya? Rasa malas, kemarahan, negative thinking, kecerobohan, rasa takut dan lainnya yang tentu anda lebih mengetahui apa yang ada pada diri anda.

So, get positive and keep spirirt !!

sumber : cerita motivasi

Saturday, November 29, 2008

Diam itu ...


Hanya dalam Diam Kita dapat Memperhatikan 

Saat kita tak memiliki kata-kata yang perlu dibicarakan, diamlah. Cukup mudah untuk mengetahui kapan waktunya berbicara. Namun, mengetahui kapan kita harus diam adalah hal yang jauh berbeda. Salah satu fungsi bibir adalah untuk dikatupkan. Bagaimana kita bisa memperhatikan dan mendengarkan dengan lidah yang berkata-kata. Diamlah demi kejernihan pandangan. Orang yang mampu diam di tengah keinginan untuk berbicara, mampu menemukan kesadaran dirinya. Sekali kita membuka mulut, akan kita temui betapa banyak kalimat-kalimat meluncur tanpa disadari. Mungkin sebagian kecil kata-kata itu tidak kita kehendaki. Seringkali orang tergelincir oleh kerikil kecil, bukan batu besar. 


Butiran mutiara indah hanya bisa tercipta bila kerang mutiara mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sekali ia membuka lebar-lebar cangkangnya, maka pasir dan kotoran laut segera memenuhi mulutnya. Inilah ibarat, kekuatan kita untuk diam. Kebijakan seringkali tersimpan rapat dalam diamnya para bijak. Untuk itu, perlu usaha sekuat tenaga untuk membukanya.

Tapi, diam juga kadang-kadang bisa dirasakan juga sebagai satu siksaan atau hukuman misalnya pada saat kita didiamkan alias tidak diajak ngomong lagi oleh orang yang kita kasihi ataupun sahabat kita. Pengucilan atau siksaan seperti ini lazim juga disebut sebagai cara penyiksaan halus/bersih (torture propre).

Diam bukan hanya tidak bicara atau bersuara, namun juga berusaha mendengarkan, menerima suara lain yang akan menambah wawasan atau bahkan mungkin justru berseberangan. Diam bisa juga diartikan untuk melupakan sang ego atau sang aku kita sejenak. Bukankah pepatah mengatakan, "diam adalah emas".

Tuesday, November 11, 2008

Experiential Learning

Explore your self and let the nature teaching


Experiential learning sebagai salah satu metode pembelajaran, bagi saya sangat menarik, karena dengan metode belajar seperti ini sangat mudah diingat dan sulit untuk dilupakan. Dampaknya akan jauh lebih kuat. Metode ini seakan miniatur sebuah proses belajar dalam kehidupan. Banyak orang menjalani hidup, tersungkur, terperosok hingga ke titik minus, maka setelah itu, mereka baru tersadar dan mampu mengambil hikmahnya. Kadang kesadaran dari benturan itu sudah sangat terlambat.

Banyak sekali kejadian orang yang terperosok, karena kebiasaannya mencuri, korupsi, dan ketika terungkap dan tertangkap, maka sudah hancur semuanya. Begitu kesadaran timbul, begitu titik kebenaran mulai menyinari hatinya, maka semuanya sudah berbeda. Tenaga sudah habis, sahabat sudah pergi, dan usia semakin senja. Kadang kesadaran akan hal-hal kebaikan begitu terlambat datangnya. Siapapun yang mengalami keterpurukan, pasti dalam hatinya akan berkata: "Seandainya aku menghentikan tindakan burukku sebelum ini, maka aku tidak akan seperti ini."

Metode belajar dengan experiential learning, seakan membuat sebuah episode kehidupan dalam waktu beberapa hari saja atau hanya beberapa jam saja, sehingga akan muncul kesadaran-kesadaran yang kuat akan hal-hal positif: Pentingnya berbuat baik, pentingnya sebuah kejujuran, bagaimana berkomunikasi, bagaimana menjalin kerjasama, bagaimana menyelesaikan masalah bersama, bagaimana memotivasi, kesadaran akan pentingnya percaya diri, percaya pada rekan, bahkan hingga pengalaman perjuangan yang tidak mengenal mundur atau pantang menyerah. Harus bisa dan ternyata bisa.

Sayangnya kita tidak cukup waktu untuk mengalami semua kejadian itu agar kita belajar. Kita tidak memiliki waktu untuk menjalani semua rangkaian cerita kehidupan. Untuk itulah kita perlu belajar dari orang lain, kita perlu belajar dari pengalaman orang lain. Atau kita membuat miniatur kehidupan dengan experiential learning (belajar dengan mencoba mengalaminya). Melalui permainan permainan yang sudah didesain sedemikian rupa, melalui skenario-skenario tertentu, agar kita mengalami suasana dan perasaan tertentu.

Dalam experiential learning, menemukan formula-formula. Jika dalam sebuah kelompok ada yang arogan, maka tim itu akan gagal dan lambat dalam masalah A, Jika kelompok itu dominan dengan orang yang pasif, maka akan gagal dalam kasus B, Jika ada tim yang memiliki tipe pemikir yang banyak pertimbangan, maka mereka akan kalah dalam game C. Itu bisa menjadi sebuah pola.

Belajar dengan mengalami, memiliki sensasi tersendiri, belajar dengan mengamati juga memiliki kenikmatan tersendiri, namun pasti bila anda tidak belajar, maka sensasi-sensasi kehidupan itu tidak bisa merambah dalam kehidupan anda. Mungkin anda hanya menjalani dan memenuhi kebutuhan hidup anda. Mungkin anda hanya tertarik dengan uang! Mungkin anda hanya tertarik dengan wanita cantik atau pria ganteng dan kaya.Ternyata kenikmatan tidak hanya sebatas hal itu. Anda bisa menikmati dinginnya udara pegunungan sambil menghirup secangkir kopi panas. Anda juga bisa menikmati berdebarnya jantung ketika anda akan meloncat dari ketinggian lima belas meter dari atas pohon. Anda bisa menikmati kengerian menuruni tebing, melewati jeram-jeram sungai, meluncur terbang disela-sela kanopi pohon, bahkan anda bisa menikmati camping di tengah rimba belantara.

Anda ingin mencoba ?

-- dari berbagai sumber

Saturday, September 27, 2008

Saturday, September 20, 2008

Bulan suci

Bulan Ramadhan sering disebut bulan suci meski dalam Al Quran tidak ada pernyataan mengenai label suci ini. Bahkan banyak orang yang berlebihan dalam mensucikan bulan ramadhan, dan sambil mengatasnamakan Tuhan mereka melakukan kerusakan atau kezaliman. Yang begini ini yang malah merusak Islam dan mencemari kemuliaan umat Isalm. Lha wong bulan Ramadhan itu bulan yang didalamnya kita diseru untuk melatih diri agar kita bisa mengendalikan hawa nafsu, kok malah ada yang anarki.

Warung nasi dan restoran yang buka di siang hari selama ramadhan itu ya untuk mereka yang berat menjalankannya. Warung makanan buka di siang hari itu untuk memenuhi kebutuhan orang yang sedang sakit, orang-orang yang amat berat pekerjaannya, orang yang sedang dalam perjalanan jauh alias musafir, dan bagi mereka yang beragama lain. Sang Maha Pembuat aturan memberi toleransi bagi mereka yang tidak mampu menjalankan aturan-Nya, dan sudah disiapkan pula panduan mekanisme kompensasi penggantinya. Kembali lagi, warung makanan yang buka pada siang hari itu tidak ditujukan kepada yang berpuasa. Yang berpuasa kalau mau jujur dan positive thinking pada dirinya ya tidak akan membatalkan puasanya gara-gara melihat ada warung yang buka.

Gusti Yang Maha Pemurah menghendaki kemudahan bagi manusia dan tidak menghendaki kesukaran. Termasuk tidak adanya larangan bagi umat yang memang jalan rejekinya dengan menjajakan makanan atau membuka warung makan. Sayangnya banyak orang yang malah tidak bisa menerima pernyataan Allah tersebut. Jelas, Sang Khalik memberikan kemudahan, tapi kita sok kuasa dan akhirnya memberikan kesukaran bagi orang lain. Bagaimana kita bisa bersyukur bila perilaku kita menyulitkan orang lain? Sekali lagi Beliau tidak menghendaki kesukaran pada umatnya dengan merumitkan term of conditions atas segala sesuatu.

Ada yang atas nama demi menghormati orang-orang yang berpuasa pada bulan ramadhan maka mengeluarkan larangan ini itu bahkan menyempatkan diri mengobrak-abrik tempat-tempat maksiat. Apakah tempat-tempat itu menjadi boleh (atau halal) melanggengkan maksiat saat ramadhan telah lewat? Apakah orang-orang yang menjalankan puasa-puasa sunah di luar ramadhan tidak perlu dihormati hanya karena mereka minoritas, sehingga yang perlu dihormati hanya pelaksana puasa ramadhan yang dijalankan serentak bersama-sama orang banyak ?

Berpuasa itu bertujuan untuk meraih sesuatu yang luhur, yaitu untuk membangun diri hidup di jalan yang benar. Dengan berpuasa sebulan penuh kita dididik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kita bisa merasakan bahwa Gusti Pengeran itu dekat dengan kita. Merasakan dekat dengan-Nya adalah anugrah yang tiada terkira. Lha kok untuk mendapatkan itu kita maunya godaan-godaan yang ada dihilangkan, bahkan jika perlu dengan anarkis dan menyengsarakan orang lain. Bukankah semakin berat godaan atau ujian yang kita terima maka semakin besar pula peluang hikmah dan reward yang akan kita dapatkan? Makin besar rintangan yang kita hadapi maka makin lebar pula kesempatan kita meningkatkan iman jika kita berhasil melewatinya. Semoga..

gambar: Puncak Mahameru, Jatim, 2002

Wednesday, September 17, 2008

Puasa dan laku

Puasa bukanlah sekedar menahan diri dari lapar dan haus sejak fajar hingga matahari terbenam pada bulan Ramadhan ini. Pada awalnya perintah berpuasa ini bertujuan untuk membangun pribadi maupun sosial yang terjaga, terlindung dari perilaku tercela. Puasa yang sejati dapat memotivasi pelakunya untuk meraih tujuan yang sebenarnya yaitu: hidup bertakwa, menjadi manusia patuh, menjadi hamba yang bersyukur dan menjadi hamba yang senantiasa berada di jalan yang benar (QS 2: 183-187)

Mencegah makan, minum dan seks dari fajar hingga matahari terbenam merupakan tata krama puasa. Karena sebagai tata krama, jadi ya tidak perlu berlarian atau tergesa-gesa mengambil makanan atau minuman saat tanda maghrib tiba. Memang kita disunahkan untuk menyegerakan berbuka, tapi bukannya bertindak seakan-akan orang yang kelaparan dan kehausan saat menyerbu hidangan berbuka.

Dalam Suluk Sujinah diterangkan bahwa puasa –yang secara fisik itu- harus dilanjutkan atau disertai laku yang disebut tapa. Dan tapa sebagai perwujudan laku ini ada empat macam, tapa ngeli, tapa geniara, tapa banyuara dan tapa ngluwat.*)

Tapa ngeli. Kata “ngeli” artinga menghanyutkan diri. Yang dimaksud dalam laku ini adalah berserah diri sepenuhnya, total mengikuti (arus) kehendak Gusti Yang Maha Wisesa, darma nglakoni. Kosakata Jawa “darma nglakoni” tidak berkonotasi pasif tinggal menjalani, tetapi bahwa kita kudu menjalankan kebajikan yang dikehendaki-Nya.

Tapa geniara. Orang yang menjalankan puasa harus tidak merasakan sakit hati bila dibicarakan orang lain, tidak mudah terpancing emosinya. Pelaku puasa tidak gampang terbakar. Orang itu harus bisa menerima kritik, sepahit apapun itu. Bisa menanggapinya dengan langkah hidup yang kalem, teguh dan rahayu.

Tapa banyuara.Orang berpuasa harus mampu menyaring omongan dan tutur kata dari orang lain yang mengingatkan kita. Orang yang terlatih puasa harus pandai mendengarkan orang lain. Jadi bukan hanya pandai bicara tapi juga pandai mendengarkan dan penuh perhatian.

Tapa ngluwat. Secara literal artinya memendam diri di dalam tanah. Tapi bukan itu yang dimaksud di sini. Makna tapa atau puasa ngluwat adalah merendah, tidak membanggakan kebaikan diri, tidak memamerkan amal kebajikan, dan tidak membanggakan jasa yang pernah dilakukannya. Menjaga diri, rendah hati dan bisa memerangi gejolak hawa nafsu.

Dengan menyertakan laku tersebut dalam kehidupan sehari-hari, percekcokan yang tiada guna itu bisa dihindari. Yang tercipta adalah sepi ing pamrih rame ing gawe, banyak yang dapat kita kerjakan dan sepi dari kepentingan. Dan, itulah wujud dari pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Agung. Semoga.

*) Faqier Abdul Haqq, 1990, Suluk Sujinah, cet. IV, Yogyakarta: Bratakesawa.

gambar : Pertapan Semar, Gunung Arjuno, Jatim, 2003

Friday, August 1, 2008

Jiwa yang terpenjara

Orangnya tidak terkurung di dalam penjara tapi dia terpenjara. Celakanya, banyak orang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka terpenjara juga di dalam seluruh kebebasannya. Dalam konsep orang sebrang sana, penjara jenis ini disebut captive mind; jiwa yang terpenjara (sekalipun fisiknya bebas melayang ke mana saja). Ini kelihatannya lebih membahayakan dan lebih kejam dibanding terpenjara secara fisik.

Kebodohan yang membuat kita menjadi picik, merasa paling benar, keras kepala, dan segenap ketidakmampuan bersikap kritis, pada dasarnya adalah potret sebuah keterpenjaraan jiwa. Banyak ulah manusia yang mungkin bisa disebut sebagai gambaran keterpenjaraan jiwa itu. Nafsu berkuasa yang berlebihan (hasrat menjadi sesuatu dan tak memberi kesempatan orang lain menggantikannya) juga bentuk jiwa yang terpenjara. Kata Om Sobary, dinamakan “penjara nafsu”.

Rangkaian dari keterpenjaraan ini bisa banyak sekali. Lanjutan nafsu berkuasa, biasanya, adalah nafsu “ingin punya”. Dalam dunia wayang kita kenal dengan Dasamuka. Ia bernafsu menjadi jagoan paling sakti di bumi (bahkan juga di langit, ingin melebihi para dewa) dan ingin memiliki apa saja yang dimiliki orang lain. Di sekeliling kita, nafsu ingin punya ini diwujudkan dalam bentuk ingin beli pulau, ingin beli gunung, ingin beli danau, lembah, pabrik-pabrik bahkan istri orang lain.

Buat anaknya yang sudah bisa kerja, dibelikan pabrik atau kantor yang disenangi. Untuk istrinya, dibelikan kebun binatang dan kebun raya, kali aja sang istri ingin menyegarkan jiwanya yang juga terpenjara. Anak-anaknya yang masih sekolah? Dibelikan sekolahan! Namun biar tidak mencolok, cukup dengan menyogok guru-gurunya. Kalau anaknya yang dungu itu tidak naik kelas, gurunya diguyur duit. Dan rapor yang terbakar pun dipadamkan, lalu si anak dungu diberi kesempatan naik kelas.

Betapapun bahayanya terpenjara secara fisik, segala dampak negatif dan aneka corak penderitaannya lebih banyak dirasakan oleh yang bersangkutan. Tapi keterpenjaraan jiwa, diam-diam merembet, merayap dan menggerayangi segenap pihak dalam keluarga. Lalu segenap kerabat, famili, sanak dan konco-konco seperjuangannya. Keterpernjaraan jiwa laksana wabah yang berjangkit. Masa inkubasinya pendek, jangkauan dan daya ledaknya luas. Ancamannya gawat, meski tak selalu darurat. Soalnya, yang bersangkutan sering tak sadar. Dan karena itu juga tak harus merasa malu, yang ada malah semacam rasa bangga.

Dokter medis, dokter jiwa, psikolog, pekerja sosial, dukun, kiai dan segenap ahli rohani harus dikerahkan untuk menyembuhkan keterpenjaraan jiwa seperti itu. Jika semua ahli tyersebut masih belum menyembuhkan juga, mungkin tinggal satu yang bisa dijadikan tumpuan harapan, sejarah. Biarkan sejarah yang sabar dan kalem itu dengan teliti merekam, mencatat dan mengumpulkan segenap fakta yang diperlukan. Kelak, akhirnya sejarah akan bisa berkata, seperti Chairil Anwar, “Bila telah sampai waktuku, kumau tak seorangpun kan merayu. Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu. Karena kau terlambat. Saat kejatuhanmu telah tiba. Selamat jalan”.

Pada tiap diri kita mungkin sudah dilengkapi alam dengan alat-alat sensor yang bisa mencegah kemungkinan terjerumus ke dalam penjara seperti itu. Tinggal bagaimana kita sendiri. Terpenjara atau tidak, sebenarnya kita sendiri yang menetukan. Kita diberi hak untuk menjadi arsitek, buat melukis nasib kita sendiri. Gitu kan ya?

Monday, July 21, 2008

Petruk nyasar

Batara Guru dan Batara Narada meninggalkan kayangan, turun ke dunia. Raja dewa itu ndhemeni (mau menyelingkuhi) Dewi Lesmanawati, putri Duryudana dan Banowati. Bayangkan, apa jadinya bila raja dewa dhemenan dengan ciptaannya? Batara Guru dan Batara Narada meninggalkan busana kedewaannya di sebuah goa, mengenakan pakaian manusia, lalu memburu pujaannya.

Petruk dan Gareng yang lagi klayaban di bukit itu, tidak sengaja masuk ke dalam gua dan melihat sesuatu yang asing. Mereka pun mencoba-coba mengenakan busana yang tergeletak di sana. Mereka beralih rupa, Petruk jadi Batara Guru, Gareng jadi Batara Narada. Mereka melayang-layang tapi tak dapat terbang. Kebetulan datang Batara Indra dan Kamajaya. Lalu kedua dewa ini menggendong Batara Guru dan Batara Narada palsu ke kayangan.

Betapa kaget Petruk, di kayangan ia disambut bagai raja dewa. Maka ia memerintah dengan caranya sendiri. Para dewa diajak minum arak, gamelan Lokananta ditabuh mengiringi tayuban. Para bidadari dijadikan ledhek. Batara Kala jadi pengendang. Dan Batara Yamadipati kebagian jadi pengegong. Kayangan larut dalam pesta.

Masalahnya, para dewa dan dewi pun suka dengan acara demikian. Mereka semakin terbenam dalam tayub dan lupa sama sekali menjalankan tugasnya. Saking asyiknya mengegong, Yamadipati lupa mencabut nyawa. Dan karena asyik mengendang, Batara Kala lupa membuka catatan mautnya, kapan waktu seseorang berakhir di dunia. Petruk semakin lupa karena kuasa. Ia minum arak dan memangku wanita, sambil menyaksikan dewi-dewi yang telah menjadi ledhek.

Waktu berselang, Batara Guru bertobat dari perselingkuhannya dan berhasil kembali ke kayangan, ia meminta dewa-dewa menghentikan kegilaannya. Dewa-dewa keberatan, lebih-lebih Yamadipati dan Kala. Ternyata mereka lebih suka tayuban seperti manusia daripada menjadi dewa seperti dulu. Jadi manusia memang lebih enak daripada jadi dewa.

Asyik dan berpuas dalam berminum, araknya tumpah lalu menetes ke dunia. Tumpahan atau tetesan arak dari mulut “mulia” dewa kayangan ini menetes jatuh ke dunia, mengenai manusia-manusia penghuninya. Tetesan arak dewa yang sedang lupa diri itu menjadikan manusia terjerumus ke dalam tindak mo limo. Di surga atas para dewa lali (lupa) akan kedewaannya, di dunia manusia madon (main wanita), curi-mencuri, mabuk minuman keras dan oplosan arak, main judi sampai lupa diri bahkan melakukan pembunuhan.

Kebobrokan moral di dunia secara metafisis tidak terjadi karena manusianya, tapi karena tetesan dosa dari “yang di atas”. Bila “yang di bawah” rusak, jangan mencari kesalahan dalam “yang di bawah” sendiri, tapi kemungkinan besar kesalahan itu datangnya dari “yang di atas”. Yang di atas itu bukan surga atau kayangan dewa, tetapi siapa saja yang berada “mengatasi” mereka yang ada di bawah, rakyat miskin ini. Dalam istilah Sindhunata, surga atau kayangan di sini bukanlah tempat atau lokasi, tapi keabadian metafisis yang meniscayakan, bahwa jika terjadi kejelekan “di bawah”, itu semata-mata hanya disebabkan karena “di atas” sudah terjadi kejelekan lebih dulu.

Bila rakyat mabuk oplosan miras dicampur abu rokok dan penthol korek, ya, karena atasannya menghamburkan uang di klub malam minum whisky, kalau ada pasangan rakyat lelaki dan wanita diarak bugil karena ketahuan berselingkuh, ya, karena atasannya diam-diam dan rapi menyembunyikan perselingkuhannya. Kalau ada rakyat bonyok digebuki karena ketahuan nyolong, ya, karena atasannya seenak perutnya berkorupsi, jika ada rakyat klenger karena pil koplo, ya, karena sang atasan mau merusak bangsa dengan politik dagang narkoba. Ada pula tukang becak ngramal togel, main ceki, ya, karena atasannya lupa diri dalam berjudi.

Suatu hubungan keniscayaan metafisis, bukan sekedar hubungan sebab akibat moral. Maka jika mau meniadakan pil koplo, jangan menangkapi rakyat yang teler karena ngepil, tapi hancurkan jaringan narkoba penjahat elite. Kalau mau memberantas maling, jangan menggebuki rakyat yang ketahuan nyolong ayam, tapi penjarakan mereka yang korupsi miliaran. Mengobati perselingkuhan bukan dengan mengarak rakyat bugil, tapi telanjangi kemunafikan mereka yang di atas. Dan kalau ingin melarang tukang becak menghabiskan waktunya dengan main ceki, tangkaplah mereka yang telah menjudikan negara ini bersama para konglomerat.

Kenyataannya, karena Petruk, para dewa lebih senang menjadi manusia, Yamadipati lebih suka menjadi pengegong daripada menjadi pencabut nyawa. Dan Batara Kala lebih enjoy menjadi pengendang daripada berpusing dengan waktu dan maut. Para bidadari lebih suka ngledek, ngibing dari pada jadi dewi alusan, bosan karena hidup dalam kepatuhan mengikuti ritme hukum gambyong dan srimpi.

Sansoyo ndalu araras abyor lintang kumedhap, o..o…o…

Monday, July 7, 2008

Ilmu selamat

Di sebuah perempatan di kampungku, mangkal sejumlah kecil tukang ojek. Satu diantaranya seorang yang kumisnya sudah memutih sempurna. Oleh rekan-rekannya dipanggil “Pakdhe” karena memang terlihat paling tua diantara mereka. Motor tua keluaran tahun tujuh puluhan yang ia pakai narik tidak pernah ia pacu dengan kecepatan tinggi layaknya ojek di kampungku. Disamping karena memang sang motor tidak mungkin bisa lari kencang, kakek satu ini mengantar penumpang dengan mengutamakan keselamatan.

“Biar pelan asal jalan, lambat asal selamat,” kata Pakdhe.

Ketika sebuah angkutan berhenti mendadak, dan kakek itu terpaksa menginjak rem secara mendadak juga, sehingga ujung ban sepedanya hampir menempel bagian belakang angkudes itu, Pakdhe bukan hanya tidak marah, melainkan malah merasa beruntung.

“Untung tidak nabrak,” katanya kalem.

Ketika truk pasir memepetnya di trotoar, dia cuma menggerutu, piye to truk iki karepe (“apa maunya truk ini”). Rem diinjak dengan kalem. Tak ada makian apa-apa. Yang ada malah sikap syukur, karena bagaimanapun semuanya selamat.

Prinsip “asal selamat” ini tak hanya berlaku di jalan saja. Dalam tiap langkahnya Pakdhe menomorsatukan keselamatan. Dulu ia pernah bekerja di sebuah kantor pemerintah. Memang, ia hanya pegawai rendahan. Tapi ia pernah menolak perintah atasan untuk menandatangani kuitansi fiktif. Semua pegawai sudah tanda tangan, dan mereka kebagian rejeki. Cuma si kakek ini yang tak mau.

“Saya butuh uang seperti mereka juga. Tapi saya tak setuju caranya,” katanya. “Cara itu tidak membawa selamat.”

“Bukannya atasan yang menyuruh? Atasan menanggung semuanya, kan?” tanyaku.

“Betul. Tapi atasan saya itu punya atasan. Dan atasannya atasan saya itu juga punya atasan lagi. Raja yang paling berkuasa pun punya atasan. Kepada atasan yang paling atas itu saya takut..,” katanya.

Tukang ojek tua ini mengingatkan kita pada sajak Taufiq Ismail, Kisah Kakek dan Cucu Keluarga Chameleon. Bunglon alias chameleon memiliki kemampuan untuk secara alamiah menyelamatkan diri dengan cara mengubah warna kulit sesuai keadaan sekitar. Dalam sajak itu, kakek bunglon menceritakan pengalamannya bahwa ia pernah ditangkap manusia. Dokter hewan yang bisa bicara bahasa bunglon telah memindahkan bintil-bintil di bawah kulit dan getah di ujung lidah si kakek bunglon, ke tubuh manusia.

“Dalam waktu dua musim hujan saja, sesudah bintil-bintil itu masik ke ke kulit manusia, manusia di dunia ini sudah lebih sempurna cara berganti warna mereka. Dan lidah mereka semakin bergetah keadaannya,” tulis Taufiq Ismail lagi.

Teman-teman Pakdhe di kantornya dulu mungkin juga sudah menjadi bunglon. Mereka menyesuaikan warna “tubuh” mereka dengan warna “tubuh” sang atasan. Itu “ilmu selamat” dalam pengertian mereka. Sebab kalau menolak, atasannya akan menganggap mereka sebagai klilip (penghalang) dan harus disingkirkan. Nasibnya bisa jadi sama dengan Pakdhe, terpental.

Di sini ada dua fenomena, menurut Mohammad Sobary, : Pakdhe dan kawan-kawannya. Pilihan susah ketika kita harus memilih satu diantara keduanya. Dua-duanya punya justifikasi sebagai “ilmu selamat”. Barangkali, umumnya kita adalah potret dari kawan-kawan Pakdhe karena dua alasan. Pertama, kita umumnya lebih mengutamakan upaya penyelamatan jasad ketibang roh. Kedua, kita diam-diam telah menukar kulit kemanusiaan kita dengan kulit bunglon.

Hmmm..