... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Monday, July 21, 2008

Petruk nyasar

Batara Guru dan Batara Narada meninggalkan kayangan, turun ke dunia. Raja dewa itu ndhemeni (mau menyelingkuhi) Dewi Lesmanawati, putri Duryudana dan Banowati. Bayangkan, apa jadinya bila raja dewa dhemenan dengan ciptaannya? Batara Guru dan Batara Narada meninggalkan busana kedewaannya di sebuah goa, mengenakan pakaian manusia, lalu memburu pujaannya.

Petruk dan Gareng yang lagi klayaban di bukit itu, tidak sengaja masuk ke dalam gua dan melihat sesuatu yang asing. Mereka pun mencoba-coba mengenakan busana yang tergeletak di sana. Mereka beralih rupa, Petruk jadi Batara Guru, Gareng jadi Batara Narada. Mereka melayang-layang tapi tak dapat terbang. Kebetulan datang Batara Indra dan Kamajaya. Lalu kedua dewa ini menggendong Batara Guru dan Batara Narada palsu ke kayangan.

Betapa kaget Petruk, di kayangan ia disambut bagai raja dewa. Maka ia memerintah dengan caranya sendiri. Para dewa diajak minum arak, gamelan Lokananta ditabuh mengiringi tayuban. Para bidadari dijadikan ledhek. Batara Kala jadi pengendang. Dan Batara Yamadipati kebagian jadi pengegong. Kayangan larut dalam pesta.

Masalahnya, para dewa dan dewi pun suka dengan acara demikian. Mereka semakin terbenam dalam tayub dan lupa sama sekali menjalankan tugasnya. Saking asyiknya mengegong, Yamadipati lupa mencabut nyawa. Dan karena asyik mengendang, Batara Kala lupa membuka catatan mautnya, kapan waktu seseorang berakhir di dunia. Petruk semakin lupa karena kuasa. Ia minum arak dan memangku wanita, sambil menyaksikan dewi-dewi yang telah menjadi ledhek.

Waktu berselang, Batara Guru bertobat dari perselingkuhannya dan berhasil kembali ke kayangan, ia meminta dewa-dewa menghentikan kegilaannya. Dewa-dewa keberatan, lebih-lebih Yamadipati dan Kala. Ternyata mereka lebih suka tayuban seperti manusia daripada menjadi dewa seperti dulu. Jadi manusia memang lebih enak daripada jadi dewa.

Asyik dan berpuas dalam berminum, araknya tumpah lalu menetes ke dunia. Tumpahan atau tetesan arak dari mulut “mulia” dewa kayangan ini menetes jatuh ke dunia, mengenai manusia-manusia penghuninya. Tetesan arak dewa yang sedang lupa diri itu menjadikan manusia terjerumus ke dalam tindak mo limo. Di surga atas para dewa lali (lupa) akan kedewaannya, di dunia manusia madon (main wanita), curi-mencuri, mabuk minuman keras dan oplosan arak, main judi sampai lupa diri bahkan melakukan pembunuhan.

Kebobrokan moral di dunia secara metafisis tidak terjadi karena manusianya, tapi karena tetesan dosa dari “yang di atas”. Bila “yang di bawah” rusak, jangan mencari kesalahan dalam “yang di bawah” sendiri, tapi kemungkinan besar kesalahan itu datangnya dari “yang di atas”. Yang di atas itu bukan surga atau kayangan dewa, tetapi siapa saja yang berada “mengatasi” mereka yang ada di bawah, rakyat miskin ini. Dalam istilah Sindhunata, surga atau kayangan di sini bukanlah tempat atau lokasi, tapi keabadian metafisis yang meniscayakan, bahwa jika terjadi kejelekan “di bawah”, itu semata-mata hanya disebabkan karena “di atas” sudah terjadi kejelekan lebih dulu.

Bila rakyat mabuk oplosan miras dicampur abu rokok dan penthol korek, ya, karena atasannya menghamburkan uang di klub malam minum whisky, kalau ada pasangan rakyat lelaki dan wanita diarak bugil karena ketahuan berselingkuh, ya, karena atasannya diam-diam dan rapi menyembunyikan perselingkuhannya. Kalau ada rakyat bonyok digebuki karena ketahuan nyolong, ya, karena atasannya seenak perutnya berkorupsi, jika ada rakyat klenger karena pil koplo, ya, karena sang atasan mau merusak bangsa dengan politik dagang narkoba. Ada pula tukang becak ngramal togel, main ceki, ya, karena atasannya lupa diri dalam berjudi.

Suatu hubungan keniscayaan metafisis, bukan sekedar hubungan sebab akibat moral. Maka jika mau meniadakan pil koplo, jangan menangkapi rakyat yang teler karena ngepil, tapi hancurkan jaringan narkoba penjahat elite. Kalau mau memberantas maling, jangan menggebuki rakyat yang ketahuan nyolong ayam, tapi penjarakan mereka yang korupsi miliaran. Mengobati perselingkuhan bukan dengan mengarak rakyat bugil, tapi telanjangi kemunafikan mereka yang di atas. Dan kalau ingin melarang tukang becak menghabiskan waktunya dengan main ceki, tangkaplah mereka yang telah menjudikan negara ini bersama para konglomerat.

Kenyataannya, karena Petruk, para dewa lebih senang menjadi manusia, Yamadipati lebih suka menjadi pengegong daripada menjadi pencabut nyawa. Dan Batara Kala lebih enjoy menjadi pengendang daripada berpusing dengan waktu dan maut. Para bidadari lebih suka ngledek, ngibing dari pada jadi dewi alusan, bosan karena hidup dalam kepatuhan mengikuti ritme hukum gambyong dan srimpi.

Sansoyo ndalu araras abyor lintang kumedhap, o..o…o…

Monday, July 7, 2008

Ilmu selamat

Di sebuah perempatan di kampungku, mangkal sejumlah kecil tukang ojek. Satu diantaranya seorang yang kumisnya sudah memutih sempurna. Oleh rekan-rekannya dipanggil “Pakdhe” karena memang terlihat paling tua diantara mereka. Motor tua keluaran tahun tujuh puluhan yang ia pakai narik tidak pernah ia pacu dengan kecepatan tinggi layaknya ojek di kampungku. Disamping karena memang sang motor tidak mungkin bisa lari kencang, kakek satu ini mengantar penumpang dengan mengutamakan keselamatan.

“Biar pelan asal jalan, lambat asal selamat,” kata Pakdhe.

Ketika sebuah angkutan berhenti mendadak, dan kakek itu terpaksa menginjak rem secara mendadak juga, sehingga ujung ban sepedanya hampir menempel bagian belakang angkudes itu, Pakdhe bukan hanya tidak marah, melainkan malah merasa beruntung.

“Untung tidak nabrak,” katanya kalem.

Ketika truk pasir memepetnya di trotoar, dia cuma menggerutu, piye to truk iki karepe (“apa maunya truk ini”). Rem diinjak dengan kalem. Tak ada makian apa-apa. Yang ada malah sikap syukur, karena bagaimanapun semuanya selamat.

Prinsip “asal selamat” ini tak hanya berlaku di jalan saja. Dalam tiap langkahnya Pakdhe menomorsatukan keselamatan. Dulu ia pernah bekerja di sebuah kantor pemerintah. Memang, ia hanya pegawai rendahan. Tapi ia pernah menolak perintah atasan untuk menandatangani kuitansi fiktif. Semua pegawai sudah tanda tangan, dan mereka kebagian rejeki. Cuma si kakek ini yang tak mau.

“Saya butuh uang seperti mereka juga. Tapi saya tak setuju caranya,” katanya. “Cara itu tidak membawa selamat.”

“Bukannya atasan yang menyuruh? Atasan menanggung semuanya, kan?” tanyaku.

“Betul. Tapi atasan saya itu punya atasan. Dan atasannya atasan saya itu juga punya atasan lagi. Raja yang paling berkuasa pun punya atasan. Kepada atasan yang paling atas itu saya takut..,” katanya.

Tukang ojek tua ini mengingatkan kita pada sajak Taufiq Ismail, Kisah Kakek dan Cucu Keluarga Chameleon. Bunglon alias chameleon memiliki kemampuan untuk secara alamiah menyelamatkan diri dengan cara mengubah warna kulit sesuai keadaan sekitar. Dalam sajak itu, kakek bunglon menceritakan pengalamannya bahwa ia pernah ditangkap manusia. Dokter hewan yang bisa bicara bahasa bunglon telah memindahkan bintil-bintil di bawah kulit dan getah di ujung lidah si kakek bunglon, ke tubuh manusia.

“Dalam waktu dua musim hujan saja, sesudah bintil-bintil itu masik ke ke kulit manusia, manusia di dunia ini sudah lebih sempurna cara berganti warna mereka. Dan lidah mereka semakin bergetah keadaannya,” tulis Taufiq Ismail lagi.

Teman-teman Pakdhe di kantornya dulu mungkin juga sudah menjadi bunglon. Mereka menyesuaikan warna “tubuh” mereka dengan warna “tubuh” sang atasan. Itu “ilmu selamat” dalam pengertian mereka. Sebab kalau menolak, atasannya akan menganggap mereka sebagai klilip (penghalang) dan harus disingkirkan. Nasibnya bisa jadi sama dengan Pakdhe, terpental.

Di sini ada dua fenomena, menurut Mohammad Sobary, : Pakdhe dan kawan-kawannya. Pilihan susah ketika kita harus memilih satu diantara keduanya. Dua-duanya punya justifikasi sebagai “ilmu selamat”. Barangkali, umumnya kita adalah potret dari kawan-kawan Pakdhe karena dua alasan. Pertama, kita umumnya lebih mengutamakan upaya penyelamatan jasad ketibang roh. Kedua, kita diam-diam telah menukar kulit kemanusiaan kita dengan kulit bunglon.

Hmmm..