... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Thursday, August 30, 2007

Kegelapan batin ihwal perkara

Saat mengawali abad 21 ini harapan kedamaian dan ketenteraman menyelimuti lubuk hati tiap insan di bumi ini. Harapan suci itu seperti impian yang lenyap saat terjaga. Kita tersentak oleh kekerasan dan kekejaman. Bumi serasa menjadi amat menakutkan dengan gemuruh kejahatan bahkan peperangan, mengoyak dan menghancurkan peradaban. Tetapi, sebenarnya kehancuran yang menerpa kemanusiaan itu dilakukan manusia, sesama kita.

Nafsu keserakahan yang ada dalam diri tiap orang tidak pernah mengenal akhir. Keserakahan tidak memiliki batas kepuasan. Ia tidak mengenal pertimbangan, kepedulian, dan waktu untuk berhenti. Nafsu serakah mudah berubah menjadi kebencian yang menjadi benih kehancuran. Bila pada suatu saat keserakahan tidak mampu meraih kepuasan sesaat, kebencian tampil ke depan melahirkan kemarahan, keinginan untuk menghancurkan, permusuhan, balas dendam, bahkan pembunuhan.

Tiap kejahatan yang tumbuh dari keserakahan maupun kebencian akan melahirkan penderitaan. Sedangkan pengendalian diri dan perilaku bijak membuahkan banyak manfaat bagi yang dirinya maupun orang lain. Bila akar keyakinan masih ada, maka keyakinan atas akibat dari perilaku kita akan mengingatkan tanggung jawab manusia atas tindakannya. Meski mungkin sering tersisih dengan kenikmatan keserakahan atau kepuasan sesaat dari kebencian, keyakinan yang masih ada sungguh bagai cahaya terang yang akan membimbing manusia ke arah kedamaian sejati.

Tapi, tidak jarang kita jumpai fenomena padamnya keyakinan. Bukan hanya keserakahan dan kebencian yang silih berganti mempengaruhi manusia, tetapi kini sumber keserakahan dan kebencian itu sendiri menampakkan dirinya dengan amat jelas menguasai banyak orang. Sumber itu adalah kegelapan batin. Tidak ada lagi cahaya terang dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Kegelapan batin membuat manusia tidak bisa lagi membedakan antara yang baik dan berguna dengan yang jahat dan merugikan. Kegelapan batin membutakan banyak orang dari kebajikan lalu menganggap kejahatan sebagai kelaziman.

Dalam kebutaan batin, kenikmatan materi yang lebih banyak dan mudah didapat meski diraih dengan perbuatan amat merugikan bahkan menghancurkan yang lain, dilakukan sebagai pilihan satu-satunya. Fenomena tidak sadarnya seseorang melakukan tindak kejahatan dan tidak ada rasa bersalah, bahkan sebaliknya bangga dan puas dengan "keberhasilannya", benar-benar amat memprihatinkan.

Wednesday, August 29, 2007

Kedamaian batin sumber kebahagiaan

Kita percaya, bahwa tujuan hidup itu adalah untuk mendapatkan kebahagiaan. Sejak lahir, setiap manusia menginginkan kebahagiaan, bukan penderitaan. Ideologi, tingkat pendidikan maupun kondisi sosial, tidak dapat mempengaruhi hal ini. Kita semua menginginkan kepuasan batin. Yang pasti adalah, bahwa semua manusia yang hidup di atas bumi ini, menghadapi persoalan dalam mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Dari itu, yang penting adalah menemukan kondisi-kondisi yang dapat menciptakan kebahagiaan yang sempurna.

Makin banyak kita membahagiakan orang lain, makin besar pula kepuasan batin kita. Dengan memelihara suatu hubungan yang akrab dan hangat dengan orang lain , maka otomatis pikiran kita menjadi tenteram. Kondisi ini dapat membantu menghilangkan rasa takut dan memberi kekuatan pada kita untuk menghadapi setiap cobaan. Hal ini juga sangat berperan dalam keberhasilan kita dalam kehidupan. Selama hidup di dunia ini, kita tidak dapat terhindar dari masalah. Bila saat itu kita kehilangan harapan dan putus asa, maka ini berarti berkurangnya kemampuan kita dalam menghadapi kesulitan. Sebaliknya, bilamana kita selalu ingat bahwa bukan kita saja, tetapi juga orang lain mengalami derita, maka pandangan yang realistis ini dapat memperbesar tekad dan kemampuan kita untuk mengatasi semua kesulitan-kesulitan. Sebenarnya dengan sikap demikian, setiap kesukaran baru dapat dilihat sebagai suatu kesempatan berharga untuk mengembangkan batin kita.

Dengan demikian sedikit demi sedikit kita dapat meningkatkan perasaan belas kasih, yang berarti bahwa kita dapat mengembangkan perasaan simpati yang tulus untuk penderitaan orang lain dan menimbulkan kemampuan kita untuk membantu meringankan penderitaan mereka. Sebagai hasilnya, ketenangan dan kekuatan batin kita akan bertambah. Kita pun makin siap menghadapi realitas kehidupan ini dengan batin yang lebih damai.

Sunday, August 26, 2007

Kita Gagal Memahami Alam

Bencana demi bencana seharusnya memberikan pelajaran penting bagi kehidupan kita. Adalah sebuah fakta bahwa negeri ini memiliki paling tidak 17.000 pulau besar dan kecil.
Dilihat dari berserakannya pulau-pulau itu di sebuah area seluas ini, tentu kita mendadak paham bahwa itu semua disebabkan oleh gempa-gempa terdahulu. Guncangan demi guncangan, juga sapuan-sapuan tsunamilah yang mengakibatkan berserakannya pulau-pulau itu. Ini sebuah fakta dan pelajaran penting bahwa kita ternyata hidup di sebuah area yang memang rawan bencana. Jika tidak datang dari gunung, akan datang dari dalam bumi akibat patahan dan desakan, bisa juga datang dari laut. Bahkan bencana pun datang dari langit karena hujan atau kemarau yang terlalu.


Dengan keadaan alam seperti itu kita hidup dalam ribuan bahkan jutaan tahun. Catatan atau pengalaman pastilah memberikan pelajaran demi pelajaran yang tak akan pernah selesai setiap waktu. Pengalaman menghadapi semua itu membuat pikiran manusia berkembang dan cara bertindak pun semakin baik. Artinya, setiap pengalaman selalu memberikan ruang bagi pikiran dan tindakan untuk tetap atau berubah. Ketika alam semesta memberikan pelajaran kehidupan, manusia seharusnya bertindak dan berpikir serta berkembang semakin baik. Seharusnya juga demikian ketika bencana demi bencana itu menghampiri kita. Seharusnya kita menjadi lebih antisipatif, baik dalam bertindak, bijak dalam keputusan, tertata dalam penanganan.

Namun tampaknya berkali-kali kita gagal Kita semua telah gagal dalam menata kehidupan masyarakat, terutama dalam bersikap terhadap alam semesta. Kegagalan dalam bersikap karena kita tidak pernah belajar tentang perilaku alam semesta. Siulan burung, hanya ditangkap sebagai kicauan semata. Gugusan mega hanya dimaknai sebagai keindahan ciptaan Tuhan semata. Deru angin hanya dimaknai sebagai penyeka basah keringat. Padahal ketika siulan burung berubah menjadi tidak biasa, sebenarnya ia membawa isyarat alam lingkungannya. Ketika burung merasa gerah, perilakunya berubah dan siulan pun berubah. Isyarat berubahnya alam lewat burung itulah tak pernah menjadi pelajaran.

Nenek moyang kita terkenal sangat bijak dan cerdas dalam memahami itu semua. Mereka benar-benar belajar pada alam semesta sehingga sangat antisipatif terhadap seluruh perubahan sekecil apa pun. Setiap perilaku yang berubah, dan tanda-tandanya dicatat. Maka jadilah
primbon (catatan). Namun masyarakat kita sekarang semakin menjauh dari suasana seperti itu karena lingkungan memang tidak pernah menyentuh wilayah pelajaran seperti itu. Katanya sudah menjadi modern, maka catatan-catatan itu semakin tidak diperlukan. Setelah terjadi peristiwa, baru fenomena yang berubah itu ramai diperbincangkan dan digosipkan. Kita semakin gagal memahami kerja alam semesta.

Nurani

Orang zaman dulu mengatakan, uang adalah materi di luar tubuh. Setiap orang juga tahu, setiap orang mencarinya. Pria muda mencarinya demi memenuhi nafsu keinginannya, wanita muda mencarinya demi kemolekan dan kemewahan, orang berusia lanjut memerlukan demi mengatasi kekhawatiran di kemudian hari, kaum intelektual menghendaki demi kemuliaannya, pegawai negeri demi ini menunaikan tugas, dan seterusnya. Oleh sebab itu semua mencarinya.

Ada orang yang bahkan bertempur deminya, orang yang agresif berani mengambil resiko, orang yang bertemperamen tinggi dapat menempuh jalan kekerasan untuk memperolehnya, orang pencemburu mati penasaran karenanya. Memakmurkan rakyat adalah prinsip raja dan pejabatnya, sedangkan pemujaan terhadap materi merupakan tindakan yang paling nista.

Menjadi kaya tapi tidak memiliki nurani akan membahayakan semua makhluk hidup, sedangkan kaya dan memiliki nurani merupakan harapan semua orang.

Menjadi raja, pejabat, kaya dan kedudukan terhormat semua harus disertai dengan nurani. Tanpa nurani tidak ada yang dapat diharapkan dari orang tersebut, kehilangan nurani berarti sirna semuanya. Oleh sebab itu, orang yang mengejar kekuasaan dan mencari kekayaan harus terlebih dahulu menyiapkan serta menata nuraninya. Melewati cobaan, ujian bahkan penderitaan dan berbuat kebajikan dapat membantuk serta mengasah nurani. Untuk itu haruslah mengerti prinsip sebab akibat, dengan memahami ini, maka baik penguasa maupun rakyatnya dapat mengendalikan hatinya masing-masing, dunia akan makmur dan damai. Semoga...

Thursday, August 23, 2007

Jujurnya..

Surti bersama tetangganya, Tukinem mengunjungi pak Karto yang sedang sakit. Ada kelainan yang cukup serius pada jantungnya.

Kata Surti (maksudnya membesarkan hati),
“Tidak usah kuatir, pak, suami saya juga dulu penyakitnya sama kok dengan bapak.”

“O, ya, suamimu juga punya penyakit jantung kayak saya?” tanya pak Karto.

“Iya. Lha wong tanda-tandanya, juga sama kok.,” kata Surti lagi

“Sekarang suamimu sudah sembuh?”

“Sudah meninggal.”

Begitulah, jujur memang baik. Tapi jujur tanpa diimbangi kebijaksanaan jadinya malah bodoh.
Ibarat ketulusan tanpa kecerdikan.

Tuesday, August 21, 2007

Sahabat, Persahabatan...

Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan tumbuh bersama karenanya. Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah.

Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya. Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya ia memberanikan diri menegur apa adanya. Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman, tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah.


Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih dari orang lain, tetapi justru ia berinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya. Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis.


Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya. Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya.


Mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari seribu teman yang mementingkan diri sendiri.


Masihkah ingat kapan terakhir kali kita berada dalam kesulitan. Siapa yang berada di samping kita? Siapa yang ingin bersama kita kala kita tak bisa memberikan apa-apa ?
Dia / mereka adalah SAHABAT kita.

Friday, August 17, 2007

Hakikat Kemerdekaan

Kemerdekaan, pada hakikatnya, bukanlah semata-mata membebaskan diri dari belenggu penjajahan asing. Tetapi lebih dari itu, kemerdekaan yang hakiki adalah kemampuan untuk membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu. Manusia yang merdeka adalah manusia yang mampu memerdekakan dirinya dari berbagai penghambaan selain kepada Tuhannya. Seorang pejabat atau pemimpin yang merdeka adalah pejabat/pemimpin yang mampu membebaskan dirinya dari ambisi-ambisi pribadi (dan keluarganya), dan hanya memikirkan kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya. Dia memandang jabatan itu sebagai amanat yang harus dipertangungjawabkan. Seorang cendekiawan yang merdeka adalah yang selalu menyuarakan kebenaran dan keberpihakan kepada masyarakat banyak. Ia tidak akan melakukan upaya pembodohan kepada masyarakat, apalagi dengan menggunakan dalil-dalil dan alasan-alasan yang sengaja didistorsikan atau disalahtafsirkan.

Seorang penegak hukum (hakim, jaksa, polisi maupun pengacara) yang merdeka adalah orang yang memiliki komitmen kuat untuk menjadikan hukum yang benar sebagai panglima. Asas keadilan dan obyektivitas akan benar-benar dijunjungnya. Ia tidak akan berani mempermainkan hukum hanya karena iming-iming jabatan atau materi. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.

Seorang pegawai yang merdeka adalah orang yang berusaha mengoptimalkan potensi dirinya untuk meraih prestasi kerja yang baik dan bermanfaat, dengan landasan keikhlasan. Rakyat dan bangsa yang merdeka adalah rakyat yang kritis dan bertanggungjawab terhadap keselamatan dan kemaslahatan bangsanya. Rakyat yang merdeka tidak mudah diprovokasi oleh unsur-unsur yang tidak bertanggungjawab yang bermaksud menjadikan mereka sebagai obyek perasan dan kuda tunggangan.

Kita sadar betul bahwa kemerdekaan yang sudah berusia lebih dari enam dasawarsa ini belum mampu menghantarkan masyarakat dan bangsa kita kepada kemerdekaan yang hakiki. Kita masih dihadapkan pada kenyataan adanya penjajahan dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga krisis demi krisis datang silih berganti seolah tidak akan pernah berakhir. Krisis kepemimpinan, krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial, krisis hukum dan krisis akhlak. Semuanya merupakan pekerjaan rumah yang semakin kompleks dan berat.

Thursday, August 16, 2007

Merdeka ?

Tiap tahun rakyat negeri ini merayakan hari kemerdekaan tanggal 17 Agustus. Kemeriahan pun selalu mengisi momen ini, mulai dari yang ala kadarnya sampai dengan acara yang besar-besaran, seolah-olah kita selama ini hanya tahu kalau kemerdekaan itu sebatas mengingat dan merayakannya tanpa mengetahui makna kemerdekaan yang sebenarnya.

Padahal kalau melihat kondisi Indonesia sekarang jauh dari makna kemerdekaan, dari sisi ekonomi, pendidikan, pemerintahan, sosial, mengalami kemerosotan dan tidak terlepas dari campur tangan pihak asing. Lalu layakkah negeri ini dikatakan sudah merdeka ?

Kemerdekaan yang ada sekarang ternyata bukanlah kemerdekaan yang sesungguhnya, melainkan pengalihan bentuk penjajahan fisik ke penjajahan pemikiran. Bentuk penjajahan gaya baru inilah yang telah membuahkan hasil. Kondisi negeri yang carut-marut tapi tidak merasa terjajah sedikit pun, contohnya dalam masalah ekonomi dengan diterapkannya sistem privatisasi di negara Indonesia, dengan mudah kekayaan alam seperti hutan, pertambangan laut, listrik dan telekomunikasi dikuasai pihak negara "penjajah".

Ternyata kemerdekaan yang diangggap hakiki belum kita dapatkan pada iklim demokrasi yang selama ini katanya diusung sebagai sistem yang ideal. Kemerdekaan yang hakiki sesungguhnya adalah kemerdekaan yang menghargai dan mengangkat harkat derajat hidup manusia. Kayaknya begitu...

Monday, August 6, 2007

Tegal...

Tegal, buat saya, adalah kota kenangan. Masa sekolah menengah dulu di sana adalah masa yang paling tidak terlupakan. Teman-teman, warung tempat biasa makan dan moci (minum teh dengan poci), gang-gang kecil yang biasa dilalui, bagai masih lekat di pelupuk mata batin. Andai mungkin, rasanya ingin sekali saya kembali ke masa itu.

Akan tetapi Tegal kini sudah banyak berubah. Bangunan megah baik toko maupun perkantoran bermunculan, jalan-jalan juga sudah banyak yang berbeda. Sekolahan pun yang dulu bagai rumah sendiri kala mengikuti kegiatan ekstra, akrab dan penuh gelak, kini bagai tanah asing.

Hidup memang tidak pernah tetap, selalu berubah. Maka berhati-hatilah dengan kenangan akan masa lalu, sebab itu bisa menjadi jebakan, membuat kita lupa kekinian dan kedisinian.

sang wakil rakyat

Seorang wartawan berhasil menerobos pagar pasukan polisi yang sedang mengawal demo didepan gedung dewan. Lalu dia masuk gedung dewan dan berhasil mewawancarai seorang ketua fraksi.

"Bagaimana pendapat bapak mengenai situasi di luar sana, antara lain mahasiswa berdemo?"

"Bagus sekali. Saya juga dulu mengawali karir saya seperti anak-anak sekarang ini. Waktu SMP hingga SMA hampir tiap hari tawuran antar pelajar. Waktu mahasiswa saya aktif demonstrasi dan di waktu senggang saya sempatkan buat refreshing, ya.. sedikit fly lah. Setelah lulus kuliah, sambil cari kerja, saya nyambi jadi preman. Kemudian setelah kerja, ya dengan jurus kolusi itulah saya sempat jadi menteri, anggota dewan dan hingga sekarang ini. Jadi yang dilakukan anak-anak sekarang, baguslah sebagai langkah buat masa depannya !"

Saturday, August 4, 2007

mbok Karti

Bagi mbok Karti, seorang penjaja makanan di pinggiran Jakarta Selatan asal Wonogiri, peringatan tujuh belasan kali ini terasa begitu sepi. Berbeda sekali dengan tahun-tahun sebelumnya. Pangkalnya Gunadi, anaknya semata wayang, sudah tidak ada.

Semasa Gunadi masih ada, menjelang hari kemerdekaan seperti saat ini paling tidak tiap sore dirumah kontrakannya yang kumuh ada keriangan Gunadi dan teman-temannya yang biasanya menyiapkan sesuatu untuk mengikuti lomba-lomba dilingkungannya. Dan kalau menjelang malam, ada yang ia siapkan makanannya, seringnya mie instant rebus. Gunadi dan kawan-kawannya paling suka mie instant buatan mbok Karti.

Namun sekarang Gunadi sudah pergi untuk selamanya. Kata polisi yang datang ke rumahnya sekitar seminggu lalu memberitahukan kabar buruk itu, Gunadi terlibat tawuran dengan sesama pelajar dari sekolah lain. Lambungnya kena tusukan belati, tembus ke limpa. Dalam perjalanan ke rumah sakit dia meninggal dunia.

Mbok Karti antara percaya dan tidak percaya. Percaya, kenyataannya sang anak memang sudah menjadi mayat. Tidak percaya, Gunadi bukan tipe anak yang suka kekerasan. Anak itu sangat penakut kalau berkelahi. Jangankan baku pukul dengan orang, membunuh tikus yang tertangkap saja sering dia tidak tega.

"Gun, Gun, simbok 'kan sudah bilang wanti-wanti, yen bubar sekolah langsung pulang ke rumah," isaknya di sisi jenazah Gunadi kala itu.

Ratapan mbok Karti bukan satu-satunya ratapan orang tua yang kehilangan buah hati tercinta akibat tawuran pelajar. Dan bisa jadi juga bukan yang terakhir. Sebab sampai saat ini, belum ada tanda-tanda keberingasan pelajar itu surut. Tidak jelas, berapa banyak lagi korban yang harus jatuh.

Rupanya memang ada yang salah dengan masyarakat kita. Entah sistem pendidikannya yang compang-camping. Entah budaya hukumnya yang carut-marut. Atau juga keteladanan para pemimpinnya yang berantakan.

Friday, August 3, 2007

wanita sempurna

Nasrudin bercakap-cakap dengan seorang teman. “Omong-omong, apa kamu tidak pernah mikir untuk nikah?” tanya sang teman.

“Ya, tentu,”jawab Nasrudin.
”Di masa mudaku, aku bertekad mencari wanita sempurna. Kuseberangi gurun, sampai di Damaskus, dan kukenal seorang wanita yang spiritualis dan cantik, tapi ia tidak tahu apa-apa tentang hal-hal di dunia ini. Kulanjutkan perjalananku, dan di Isfahan kutemukan seorang wanita yang menguasai pengetahuan dunia maupun spiritual, tapi tidak cantik. Kemudian kuputuskan untuk pergi ke Kairo, di mana aku makan malam di rumah seorang lajang cantik, religius, dan mengenal realitas material.”

“Lalu, kenapa kamu tidak menikah dengannya?”

“Nah, itu dia sobat! Sayangnya ia juga mendamba seorang pria yang sempurna.”

saduran dari : La Mujer Perfecta