... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Thursday, February 28, 2008

Kumbakarna

Kumbakarna sudah merasa muak pada kehidupan keraton, maka ia menyendiri di rumahnya, Panglebur Gongso, bersama Togog. Sama sekali tidak peduli pada apa yang terjadi di keraton. Pada suatu hari ketenangan negeri Alengka terasa mencurigakan. Suasananya seperti dibuat untuk menyelubungi sesuatu. Naluri Kumbakarna mencium ada yang tidak beres, sesuatu pasti terjadi. Diutuslah Togog, sang abdi dalem, untuk menyelidik.

Dengan kemampuan ekstranya, konon Togog adalah dewa yang ngejawantah - seperti Semar, si abdi ini mampu menyusup ke sumber berita yang layak dipercaya dan paling aktual. Siang itu, setelah sidang kabinet yang melelahkan membujuk Dasamuka agar mengembalikan Shinta, Gunawan Wibisana ditebas oleh Dasamuka. Gunawan roboh dan mati seketika. Kematiannya dirahasiakan. Segenap kawula dan kadang sentana keraton yang ada di dalam istana tidak boleh keluar. Juga sebaliknya, yang di luar tidak diperkenankan masuk. Seluruh pintu dijaga super ketat demi rahasia ini.

Togog segera menyampaikan hal ini, Kumbakarna menggeram demi mendengar laporan sang abdi. Suaranya menggelegar di langit. Langkah kaki raksasa yang menahan amarah itu mengguncang bumi Alengka. Dia menuntut keadilan. Sepanjang jalan menuju istana, Kumbakarna mengamuk. Benteng dirobohkan, beringin ditumbangkan, taman-taman diobrak-abrik. Ibukota negeri bagai diterjang prahara.

Melihat amuk adiknya, Dasamuka bergidik. Dia memang sakti mandraguna, tapi Kumbakarna pun bukan tandingan biasa. Dia memilih sembunyi, disuruhlah patih Prahasta untuk meredam amarah sang adik.

"Ingat anakku, Kumbakarna," bujuk si patih, "bumi bisa kau telan bila kau mau, tapi jangan kau lupakan para kawula cilik yang tak bersalah, yang bisa jadi korban kemarahanmu, jika kau tak mau mengendalikan emosimu. Badanmu memang raksasa, anakku, tapi aku tahu, jiwamu satria sejati.."

Kumbakarna luluh dalam bujukan. Namun, sejak saat itu pula dia tidak mau lagi menyaksikan tingkah polah Dasamuka. Dia menyingkir, tak tega melihat kekejaman kakaknya. Bertapa tidur di Panglebur Gongso bertahun-tahun. Orang menyebut Kumbakarna seorang patriot, salah satu contoh perilaku satria utama. Tapi ada pula yang menilainya pengecut, satria yang rela mati konyol. Dianggap tidak berbuat sesuatu melihat kejahatan merajalela di depan matanya. Tapa tidurnya dianggap sikap skeptis yang tidak bertanggungjawab.

Kita paham, dunia wayang itu pralambang. Tidurnya Kumbakarna di sini tentu saja tidak berarti dia menggeletak di kasur dan asyik bermimpi. Tidur bisa diartikan menarik diri dari kehidupan politik. Menonaktifkan diri dari gemuruh riuh urusan kenegaraan yang ruwet. Dasamuka yang kolonial, ekspansif dan memuja superioritas diri telah membuat sang adik yang memegang teguh bahasa moral menjadi lelah badan sekaligus jiwa.

"Terserah, kalau suaraku tidak diperlukan," begitu arti tidurnya, "tapi tunggulah, keruntuhan akan menimpamu."

Rezim otoriter sering memunculkan hal seperti ini. Yang didengar oleh raja ya suaranya sendiri. Atau suara siapa yang bersedia menjadi bayangannya dan sendiko atas segala sikap dan tindakannya. Raja macam ini sangat anti pada suara tandingan. Akibatnya sistemisasi pembungkaman tak terelakkan. Penjara diperlebar.

Kumbakarna kecewa, lalu memilih jalan sepi. Satria yang melambangkan suara moral. Tindakannya diambil berdasarkan pertimbangan jangka panjang, demi kepentingan negara dan bangsa. Dia tidak memberontak melawan Dasamuka, memilih tapa tidur untuk memberi kakaknya kesempatan merenung. Tapi di sini pula kelemahan gerakan moral, lawan politik kelewat enak dibiarkan dan ditinggal tidur. Bebas merajalela..

Mahesa Jenar dan 'mantan pejabat'

Meninggalkan keluhuran derajat dan kekuasaan sebagai panglima wira tamtama Kerajaan Demak pada masa Sultan Trenggono, lalu memilih jalan darma sebagai seorang pendekar, berkelana membaur dengan kawula alit. Demikian dikisahkan S.H. Mintardja dalam Naga Sasra dan Sabuk Inten. Seperti umumnya pendekar, Mahesa Jenar hidup bersahaja, jauh dari kemewahan duniawi. Ia sudah mantan, namun baktinya pada negara, kemanusiaan dan nilai luhur masih begitu menggelora.

Manusia jenis apa sang tokoh ini ? Seseorang yang cocok untuk memenuhi kehausan zamannya akan kebutuhan seorang pahlawan pembela rakyat, yang seolah tanpa cela ? Atau tokoh naif kah dia, yang tak bisa memanfaatkan jabatannya untuk segi sosial ekonomi dan politisnya ? Kita tidak tahu pasti. Tindakan sosial sering memiliki motif yang sulit dijelaskan bahkan oleh pelakunya sendiri. Tapi, yang jelas, bila menjadi mantan di saat sekarang ini lalu meniru jalan Mahesa Jenar, maka ia ora keduman, tidak kebagian. Mantan pejabat negri ini tidak suka memilih jalan sepi ing pamrih itu.

Pada zaman kini, para mantan - kata Muhamad Sobary - memiliki dua ciri, menjadi pengusaha yang lebih serius, lebih profesional (dibanding saat masih jadi penguasa), atau berpolitik sebagai oposan. Berbaju kelompok oposisi, para mantan begitu bersemangat menyuarakan kepentingan rakyat, seolah kekacauan kondisi ini baru saja terjadi semalam. Orang kecil pun hanya bisa berbisik di belakang, "Betapa hebat jika sikap itu tampak dari dulu, ketika masih berkuasa. Kayaknya waktu mereka masih di singgasana, kita juga tidak merasakan hidup serba ideal."

"Vokal tanpa kekuasaan di tangan tak ada gunanya. Percuma !" kata seorang teman yang memilih DO dari kampus demi idealismenya.

"Mereka satria yang menghormati atasan. Untuk bersuara, mereka nunggu setelah bukan lagi menjadi bawahan," sahut kang Warjo, sopir angkot yang ngakunya pernah kuliah walau cuma satu semester.

Orang pun enggan menjadi mantan, ingin jumeneng (mempunyai posisi) terus. Kegelisahan rohani, karena orang tak lagi menegur sambil membungkuk lalu suka rela membukakan pintu mobil, pasti melanda. Ditambah lagi gangguan stabilitas sosial ekonomi politik dalam hidup pribadi dan keluarga juga menjadi resiko seorang mantan. Dari itu maka tak mengherankan jika para pejabat itu bersikap lembut pada "rakyatnya" yang di perguruan tinggi. Apalagi saat menjelang akhir jabatan. Mereka berharap perpanjangan "masa bakti" dengan menjadi profesor. Dalihnya, masih merasa terpanggil. Entah suara gaib dari mana yang memanggil.

Sepertinya, mantan adalah gejala yang menakutkan, atau malah wujud dari ketakutan itu sendiri. Kalaupun menjadi mantan sudah tidak bisa lagi terhindarkan, maunya menjadi mantan yang makmur. Mobil dinas tak usah dikembalikan. Fasilitas lain kalau bisa jangan drastis dihentikan. Perlu yang namanya periode transisi. Sementara itu, tradisi makan malam di hotel masih harus dipertahankan. Pokoknya jangan seperti Mahesa Jenar, dingin, sepi, di rimba belantara, jauh dari kafe dan credit card.

Saturday, February 23, 2008

Yaqowiyu

Sebuah tradisi yang masih dilestarikan masyarakat di daerah Jatinom, Klaten, Jawa Tengah adalah Yaqowiyu. Inti acara sebenarnya adalah peringatan haul Ki Ageng Gribig, tokoh penyebar islam di wilayah itu. Tetapi yang akhirnya menjadi semacam ikon kegiatan ini adalah ritual penyebaran kue apem dan diperebutkan oleh pengunjung yang hadir. Acara ini diadakan tiap tahun tepatnya pada hari Jumat yang paling dekat dengan tanggal 15 bulan Shafar pada penanggalan Hijriah.

Tahun ini peringatan tersebut berlangsung hari Jumat (22/02) kemarin. Rangkaian acaranya diawali dengan nyekar ke makam Ki Ageng Gribig dan dilanjutkan dengan pengajian di Masjid Gedhe peninggalan sang kyai pada hari Kamis sebelumnya. Puncak acara dimulai dengan shalat Jumat bersama di Masjid Gedhe. Selesai jumatan, gunungan lanang,dikenal dengan nama Ki Kiyat, dan gunungan wadon, dikenal dengan nama Nyi Kiyat, yang telah disemayamkan semalam di dekat masjid, diarak menuruni tangga menuju panggung di lapangan Sendang Plampeyan (tanah lapang di pinggir Kali Soka, di selatan masjid dan makam Ki Ageng Gribig).

Arak-arakan terdiri dari peraga Ki Ageng Gribig, Bupati, Muspida, kedua gunungan, putri domas, dan para pengawal. Kemudian peraga Ki Ageng Gribig memimpin doa bersama. Selanjutnya, dia menyerahkan apem yang ditempatkan dalam panjang ilang (keranjang terbuat dari janur) kepada Bupati Klaten. Bupati mengawali upacara penyebaran dengan melempar apem dalam panjang ilang kepada pengunjung. Kemudian, petugas penyebar yang berada di dua menara segera mengikutinya dengan melemparkan ribuan apem. Ribuan pengunjung pun tanpa dikomando berebut apem, bahkan sampai terinjak kakinya atau bertabrakan gara-gara ingin menangkap apem. Suasana rebutan apem benar-benar meriah. Dalam waktu singkat 4 ton apem sumbangan dari para warga sekitar habis tak tersisa.

Kata embahnya konon, asal muasal event heboh ini adalah saat sang kyai pulang dari tanah suci membawa oleh-oleh kue apem yang ternyata sampai rumah masih hangat. Para santri pun berebut mendapatkan oleh-oleh tersebut. Karena tidak cukup, maka Nyi Ageng Gribig membuat apem lagi sekaligus untuk dibagikan kepada penduduk Jatinom. Sejak itu orang daerah ini ikutan membuat apem untuk selamatan. Menjaga tradisi sekaligus sebagai ungkapan berbagi pada sesama.

Monday, February 18, 2008

Hari Jadi Kota Solo

Momen Hari Jadi Ke-263 yang jatuh pada Minggu, 17 Februari kemarin dimanfaatkan Pemkot Solo untuk menegaskan komitmennya. Terutama dalam melestarikan budaya Jawa. Semua peserta upacara mulai Walikota sampai tamu undangan mengenakan pakaian adat Jawa, jawi jangkep keprajuritan. Pidato dan seluruh protokoler juga memakai tata cara Jawa. Musik pengiring upacara juga diganti dengan gending-gending Jawa. Pembawa acara yang biasanya menginformasikan urut-urutan acara dalam bahasa Indonesia akan memakai bahasa Jawa. Begitu juga pidato Walikota.

Pada kesempatan itu di-launching pula penggunaan aksara Jawa untuk semua nama instansi, badan hukum dan sekolah baik negeri maupun swasta, serta di pusat-pusat perbelanjaan.

Melestarikan budaya Jawa lewat upacara sebenarnya telah dirintis wali kota sebelumnya. Pada saat Walikota Imam Sutopo semua peserta upacara hari jadi juga mengenakan busana Jawa. Namun saat itu belum sempurna. Ada yang mengenakan sepatu, ada pula yang memakai selop. Bahkan ada ibu-ibu yang tak berkonde dan hanya mengikat rambutnya.

Sejak Jokowi (Ir. Joko Widodo, walikota sekarang) menjabat, dia berusaha menyempurnakan rintisan para pendahulunya. Dalam suatu dialog dengan warga mambahas cagar budaya di kantor sebuah media beberapa waktu lalu Jokowi mengaku tak begitu menguasai masalah budaya. Untuk itu dalam membangun kota ia melibatkan budayawan. Semoga berhasil bos..

gambar dari solopos.net

Sunday, February 17, 2008

Wayang Lintang Johar

Wayang, dengan beragam jenisnya, merupakan salah satu seni tradisional nusantara yang sangat populer bagi masyarakat Jawa. Namun meski sejak 2003 telah diakui sebagai pusaka dunia oleh UNESCO, esensinya sebagai mata air tradisi dalam berkesenian sepertinya belum begitu nyantol di mata anak-anak. Memang wayang telah demikian akrab dengan masyarakat kita, khususnya Jawa, melalui radio dan televisi, tapi mayoritas anak-anak sekarang lebih menyukai tokoh-tokoh impor sebagai idolanya - batman, power rangers dan kartun Jepang. Tidak perlu menunggu bangsa lain yang terus menggali kekayaan budaya nusantara ini, kan ?


Semalam, di area city walk, depan Gapura Taman Sriwedari Solo, digelar pentas dalang bocah yang bertajuk Wayang Lintang Johar. Kolaborasi dua dalang wayang kulit cilik, Adam Gifari dan Anggit Laras Prabowo, dengan wayang orang dari anak-anak Sanggar Sarotama. Mementaskan lakon Gathutkaca Jedhi, sebuah babak yang menceritakan bagaimana Gathutkaca mendapatkan jedhi (gemblengan) dari Bathara Narada, dan akhirnya berhasil mengusir / mengalahkan pasukan buto (raksasa) yang datang mengobrak-abrik kahyangan. Meski belum selugas orang dewasa, anak-anak itu mampu menampilkan ekspresi berkeseniannya cukup bagus, apalagi dengan format kolaborasi lintas batas yang tentu lebih memerlukan penjiwaan yang lebih.

Pagelaran yang dihelat oleh Mataya arts & heritage ini direncanakan berlangsung rutin sebagai pentas keliling dalang bocah yang diadakan tiap malam Minggu kliwon. Digelar di ruang-ruang publik kota Solo. Bersentuhan langsung dengan realitas publik perkotaan, apakah mereka masih setia menjadi masyarakat pendukung seni wayang dan bisa mendorong lahirnya kreator-kreator wayang masa depan. Kita tentu tidak berharap "anak-anak wayang" akan memasuki jalan sunyi di masa depan. Kata 'lintang johar' bisa dimaknai bahwa dari dalang bocah akan lahir dalang masa depan yang membangun dan mencipta, melestarikan budaya. Anak-anak adalah masa depan sumber mata air tradisi.

Gunung Raung (2)

Mengintip kaldera terbesar di Jawa


Hari keempat,

Berisik kicau burung-burung kecil membangunkan kami. Dengan malas kami keluar dari kantong tidur sembari mengucek-ngucek mata. Tapi karena target puncak dipatok untuk hari ini, maka kami pun harus segera bersiap-siap. Dua orang menyiapkan sarapan, yang lainnya membongkar tenda serta membereskan perlengkapan. Sarapan kali ini berwujud sereal hangat plus beberapa potong roti basah. Jam setengah delapan kami berangkat menuju puncak. Jalur pendakian dinaungi cemara-cemara besar dan beberapa pohon tua. Tak berapa lama semak dan lagi-lagi tumbangan pohon-pohon lapuk menghadang di depan. Kembali layaknya serdadu kami pun menerobosnya dengan merayap sambil menarik carrier-carrier kami. Seorang teman bahkan sempat-sempatnya memberi coretan-coretan pada wajahnya dengan tanah, kamuflase katanya. Yang lain pun segera mengikuti tingkahnya ha..ha.. seru !! Sambil sesekali tengok kanan kiri kami pun melanjutkan pergerakan. Bicara hanya sesekali, itu pun dengan berbisik. Leader memberi isyarat dengan tunjuk-tunjuk tangan seolah-olah bilang “kamu perhatikan kanan, kamu fokus ke depan, hei kamu waspada belakang” Ha..ha..

Jam Sembilan lewat sedikit, kami sampai pada Pondok Mayit (serem banget namanya). Sebuah shelter berupa tanah agak datar yang luasnya cuma kira-kira muat untuk dua tenda dome. Istirahat sebentar menuangkan beberapa teguk air ke kerongkongan, lalu perjalanan pun dilanjutkan. Semak ruwet mulai berkurang berganti rumput semacam alang-alang setinggi badan di kanan-kiri jalur. Satu setengah jam kemudian kami tiba di shelter berikutnya yang dinamai Pondok Demit (makin serem aja) ±2740 mdpl. Medan mulai berbatu dan licin, tambah lagi kabut tebal menyelimuti kami. Pergerakan pun jauh melambat karena jarak pandang hanya sekitar dua meteran. Beberapa saat kemudian kabut mulai beranjak menyingkir. Dan kami dihadapkan pada jalur yang semakin sempit (setapak kaki saja) plus kanan kiri jurang puluhan meter. Hufffhh.. Menjelang puncak jalur yang masih sempit makin menanjak terjal sehingga perlu ekstra hati-hati, bila perlu merangkak untuk melewatinya.

Akhirnya puncak Raung (±3330 mdpl) kami tapaki jam setengah dua belas kurang sedikit. Wow.. amazing !! Puncak Gunung Raung berupa lingkaran kaldera kering seluas hampir satu kilometer persegi dengan kedalaman mendekati seratus meter dari bibir yang kami pijak. Ditengah dataran dalamnya terdapat lubang kawah yang mengeluarkan asap membubung. Raung yang dalam bahasa Madura berarti ‘ramai’ memang benar-benar nyata. Suara gemuruh keluar dari lubang kawahnya. Cuaca yang cerah bahkan cenderung terik membuat kami leluasa memandang sekeliling. Diatas awan… Setelah beberapa kali jeprat-jepret merekam gambar sang kaldera, kami pun bersiap turun. Perjalanan turun agak cepat karena beban sudah berkurang dan semangat yang kembali naik karena kepuasan dalam dada ini merayap ke sel-sel otak dan seluruh tubuh. Satu jam berikutnya kami sudah sampai di Pondok Mayit. Istirahat sebentar untuk makan siang. Perjalanan berikutnya agak dipercepat karena langit sudah dihiasi awan tebal yang siap mencurahkan air hujan lagi. Gerimis mulai turun saat kami tiba kembali di Pondok Motor tepat di garis senja. Malamnya tidak banyak aktifitas yang kami lakukan karena kelelahan melanda badan ini.

Hari kelima,

Sang surya mulai membagi kehangatannya saat kami meninggalkan Pondok Motor, turun menuju pemukiman penduduk terakhir (Sumber Legan, dipinggiran kebun kopi yang kemarin kami lewati) untuk melengkapi beberapa data pendukung yang kami perlukan. Tentu saja sambil bermaksud berhaha hihi dengan penduduk setempat, tapi ternyata dikampung tersebut penduduknya berbahasa Madura. Sedikit sekali yang mengerti bahasa nasional dan celakanya kamipun ga paham blas bahasa Madura. Walhasil, senyum dan tawa yang berderai mendominasi suasana meski kami sendiri ragu apakah yang kita candakan nyambung. Ha..ha.. Lepas tengah hari kami pun pamitan untuk melanjutkan perjalanan menuju Sumber Wringin. Laporan lagi pada petugas kemarin, seterusnya kembali berangkot lagi menuju Jember. Tiba di MAHAPENA menjelang magrib. Si Adek belum juga ada di situ. Hmm..

Hari keenam,

Pagi, gerimis turun membasahi kota Jember. Pamitan (disertai berfoto-foto narsis) dengan temen-temen MHPN sesaat, lalu kami menuju Stasiun Jember untuk menjumpai si hitam yang siap mengangkut kami pulang kembali ke Solo. Malam mulai menggilas sang senja ketika kami tiba di Stasiun Purwosari Solo dengan tubuh lungset nan dekil. Namun sekian banyak memori dan kisah menyelimuti jiwa ini..

Saturday, February 16, 2008

Gunung Raung (1)

Hujan di awal pendakian


Hari pertama,
Perjalanan dimulai dari Stasiun Balapan Solo tepat jam sembilan pagi, dengan kereta api jurusan Banyuwangi. Tidak ada yang perlu diceritakan suasana di kereta selain kepengapan dan peluh yang membasahi kulit hampir sepanjang hari. Lepas magrib kami tiba di Stasiun Jember dengan tampang-tampang kusut dan berdebu. Langsung cari angkot yang kemudian mengantarkan ke sekretariat MAHAPENA UNEJ. Tiba di tujuan sekitar jam delapan kurang sedikit. Adek belum ada di situ, ga tau di mana dia waktu itu. Bebersih badan trus dilanjutin ngobrol deh ma anak-anak MHPN. Tentu saja di temani beberapa panganan yang dengan sigap di sediain ma junior-juniornya MHPN (kesian lu disuruh-suruh mulu ma senior). Sebagai tamu yang ga mau ngecewain tuan rumah, tentu saja kami dengan senang hati melahap tuntas berbagai hidangan yang ada (haiyah). Menjelang tengah malam satu persatu dari kami terkapar pulas meski obrolan masih berlangsung (sori bro sekalian, kami bener-bener capek he..he..)

Hari kedua,
Pagi hari cari sarapan sekalian belanja tambahan logistik yang kurang. Jam delapan kami meninggalkan MHPN menggunakan angkot menuju terminal Jember untuk selanjutnya menuju Gardu Atak dengan bus. Dilanjutkan dengan angkot lagi ke Sumber Wringin. Tiba di kantor perwakilan camat Sumber Wringin di Kemantren jam sebelas kurang dikit. Setelah mengurus perijinan pendakian di situ, terus cari makan deh di warung sebelah kantor tersebut. Selepas duhur perjalanan on foot pun dimulai melewati ladang tebu disambung hutan pinus yang sudah mulai digerogoti pembalak liar. Keluar dari (bekas) hutan pinus, kami melewati kebun kopi yang jalanannya mulai menanjak dan mulai becek. Tiba di Pondok Motor (pos semi permanen Perhutani yang biasa dijadikan base camp pendakian,
+1080 mdpl) sekitar jam empat sore. Bongkar perbekalan lalu mulai mempersiapkan makan malam sambil ngobrol beramah tamah dengan Pak So, penunggu (?) Pondok Motor. Malamnya checking perlengkapan sebentar terus langsung istirahat buat menghemat tenaga untuk besok.

Hari ketiga,
Bangun pagi, packing perlengkapan sambil sarapan biskuit. Hujan mengguyur bumi disertai angin yang cukup kencang membuat tusukan rasa dingin menyergap raga ini. Jam enam kami memulai pendakian menerobos hujan yang tidak juga mereda. Curahan air dari langit mulai reda saat kami tiba di sebuah persimpangan jalan (
+1445mdpl). Dengan pede kami mengambil jalur ke kiri. Sepuluh menit kemudian baru sadar ternyata jalur itu buntu (ha..ha..). Balik lagi deh ke persimpangan untuk selanjutnya mengambil jalur yang kanan.Jalur mulai lebat oleh berbagai semak dan pohon yang tumbang sehingga kami pun beberapa kali harus merangkak untuk melewatinya. Sempat istirahat beberapa kaliuntuk mengambil nafas (he..he..) kami tiba di Pondok Sumur (+1760mdpl) sekitar jam setengah satu siang. Istirahat lagi, masak makan siang. Nasi gurih, ceplok telur plus kerupuk udang cukup mengembalikan tenaga kami. Jam dua kami lanjutkan perjalanan. Jalur mulai terjal dan lebat, lagi-lagi mengharuskan siapapun untuk merangkak ataupun jalan jongkok untuk menembusnya. Hufffhh.. Menjelang senja kami menemui tempat yang cukup datar namun tidak begitu lapang. Meski begitu kami putuskan untuk berhenti, nge-camp.Dirikan tenda, siapin makan malam (makan lageee..). Sehabis makan, ditemani kopi panas plus cemilan beserta rokok, review perjalanan sehari tadi pun dimulai diselingi corat-coret catatan buat bahan laporan. Dilanjutkan briefing rencana untuk besoknya. Sebelum tengah malam kami pun masuk ke sleeping bag dan zz..zz..zzz...

Logika sebab akibat

Sore itu Karto sedang jalan-jalan nyantai, ketika tanpa permisi ada orang jatuh dari atap rumah dan menimpanya. Orang yang terjatuh itu tidak terluka sama sekali, tetapi Karto yang tertimpa malah menderita cedera leher. Ia pun terpaksa dibawa ke rumah sakit.

Bapaknya yang bijak datang menjenguknya, lalu bertanya, "Hikmah apa yang didapat dari peristiwa itu, anakku ?"

"Ga perlu percaya lagi pada hukum sebab akibat," jawabnya. "Orang lain yang jatuh dari atap rumah, tetapi leherku yang jadi korbannya. Jadi tidak berlaku lagi logika, 'Kalau orang jatuh dari atap rumah, lehernya akan patah !'"