... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Wednesday, November 21, 2007

Dobrak kemapanan mencari makna

Keberadaan kapal bukan untuk bersandar dengan aman di pelabuhan, tetapi untuk mengarungi laut lepas yang penuh tantangan dan bahaya.

Ya, untuk itulah kapal dibuat. Dengan menantang bahaya di laut akan terlihat kapasitas dan kemampuan kapal tersebut sehingga terbukalah potensi untuk menjelajahi dunia yang luas. Begitu juga dengan manusia. Kadang kita sendiri tidak sadar potensi apa yang tersembunyi dalam diri kita. Banyak kelebihan dan kekurangan yang kita miliki baru muncul dan terlihat kala dihadapkan pada sebuah tantangan atau bahaya yang harus diatasi. Sampai dimana batas kemampuan yang kita miliki, mungkin memerlukan metode juga bentuk pencarian pengalaman tersendiri untuk mengenalinya.

Sebuah memori saat mengikuti tahapan pendidikan dasar sebuah klub penggiat alam bebas, yang dialami berupa perubahan terus menerus dari waktu ke waktu di luar kebiasaan sehari-hari. Mulai dari harus bangun dini hari untuk menyiapkan segala kebutuhan sendiri untuk belasan hari. Lalu meninggalkan keramaian menuju tempat latihan yang terisolir. Materi ruang di sekitar sekretariat yang diikuti keharusan menginap dengan tidur di lantai ubin yang tentu tidak senyaman tidur di ranjang berkasur di rumah.

Ketika mulai terbiasa, tiba-tiba tempat tidur kami dipindah ke hutan dengan ber- bivouac, kelas dipindahkan ke belantara di bawah langit dan rimbunnya pepohonan. Selain itu, karena tak ada dapur umum, kalau tak ingin kelaparan ya harus bisa masak sendiri. Setelah mulai bisa menikmati masakan sendiri yang darurat dan seadanya, berikutnya kami malah dibiarkan merasakan "kemapanan " selama dua hari di lebatnya hutan lereng selatan gunung Lawu, hanya saja hampir semua atribut artifisial termasuk makanan, bahan bakar dan perlengkapan tidur harus dilepaskan ! Survival !! Alat bantu yang masih bisa dan harus diandalkan hanya kemauan untuk bertahan dan akal.

Saat mulai terbiasa dengan kehangatan tidur dalam bivouac alam, selanjutnya kami harus tidur di atas pohon ! Jelas ini mendobrak kebiasaan dari lahir, yaitu dari tidur memakai alas pada posisi horisontal menjadi tanpa alas dan kadang harus dengan posisi vertikal. Masak pun harus bisa memanfaatkan hanya bahan bakar yang tersedia di alam.

Setelah sekitar semingguan lebih kami di belantara Lawu, mulai bisa kenal, akrab bahkan bisa menikmati suasananya, tiba-tiba kami harus meninggalkan lagi "kenyamanan" ini menuju tempat yang sangat bertolak belakang suasananya. Dari tempat hijau dan berhawa dingin, ke tempat gersang dan panas di gunung kapur Karang Lo. Air minum yang kemarin seakan-akan tak bernilai karena melimpah, menjadi sangat berharga karena sulit didapatkan.

Dari Karang Lo, berikutnya kami hampir setiap saat mengalami perubahan bentuk medan latihan. Dari ladang gersang, sungai, jalan raya, perkampungan kecil, rel kereta api, perbukitan hingga kami menemui peradaban normal lagi.

Sehabis dilantik, kami tidak langsung dapat memahami makna apa yang didapat dari pendidikan dasar ini. Pastinya, kami digiring mendobrak kemapanan kepada perubahan demi perubahan hingga nyaris mencapai batas kemampuan diri. Namun setidaknya gambaran potensi diri yang ada mulai terbuka, meski tetap memerlukan perenungan yang panjang untuk lebih memahaminya. Pada gilirannya hasil pemahaman ini seharusnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata di dunia yang selalu berubah dari masa ke masa.

Begitulah salah satu bentuk alternatif pendidikan dengan media alam bebas. Akhir-akhir ini orang mulai menyadari manfaatnya dengan banyaknya kegiatan Out Bound. Dan alam bebas sebagai media tentunya harus terjaga kelestariannya. Sudah adakah kesadaran tentang itu ?

Monday, November 19, 2007

Pemaafan sejati

(lanjutan tulisan terdahulu)

Perlu disadari betapa tindakan memaafkan kesalahan orang lain tetap merupakan perilaku luhur yang patut dijunjung tinggi. Memaafkan bukannya dendam dan balas dendam, yang dapat memberikan penyelesaian atas nyeri jiwa. Namun tindakan memaafkan perlu dimaknai secara benar. Pemaafan mengandung dua butir tindakan hakiki yang menjalin ketimbalbalikan (resiprokalitas) antara pihak korban dan pelaku.

Tindakan hakiki pertama adalah pengakuan kesalahan dari pelaku kesalahan yang didasari penyesalan jujur dan pertobatan. Sedangkan yang kedua berupa tindakan menerima kenyataan, sepahit apapun kenyataan itu, oleh pihak korban. Jadi, dalam pemaafan sejati tidak terkandung represi. Justru pemaafan yang begini memungkinkan semua pihak menatap dan menghadapi realitas menyakitkan apa adanya, realistis.

Sebagai contoh, jika perancang dan pelaku tindak kekerasan dan kerusuhan Mei 98 atau sabtu kelabu 27 Juli 96, ingin mendapatkan pemaafan sejati dari bangsa ini, khususnya dari korban tragedi itu, mereka seharusnya berpartisipasi secara sungguh-sungguh. Dengan jujur dan tulus mengakui kesalahan, menunjukkan penyesalan serta mewujudnyatakan pertobatan termasuk siap menghadapi konsekuensi jika memang dinyatakan bersalah. Di sisi lain, para korban atau keluarganya pun niscaya sungguh-sungguh sudi dan berani menerima realitas menyakitkan, tanpa mesti mempersoalkan lagi kesalahan para pelaku. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menghapus trauma kejahatan seperti dua kerusuhan tersebut, kecuali kekuatan pemaafan sejati.

Sayangnya, di bumi negeri ini mau mengakui kesalahan dan sikap pertobatan seperti itu sangat langka. Yang sering terjadi justru para penguasa menutup-nutupi kesalahan dan kejahatan masa lampau. Sedangkan para pelaku kejahatan berlagak suci, terus membela diri dengan berbagai dalih. Bahkan mereka secara langsung atau tidak langsung memaksa publik luas untuk menyamakan pemaafan dengan pelupaan.

Maka kian banyak warga bangsa yang merasakan ketidak adilan. Makin tidak populerlah para penguasa yang dulu sempat populer di kalangan rakyat kecil. Yang paling mengerikan, kian dalam penanaman dendam kesumat di tengah khazanah jiwa kolektif hamparan warga negeri ini. Kian runyam pula kualitas relasi antar insan di negara ini. Bukan tidak mungkin, kedepan bangsa ini masih akan terus direbaki berbagai tindak kekerasan yang mengerikan.

gambar dari tempo.co.id

Saturday, November 17, 2007

Mengampuni Kesalahan

bukan sekedar melupakan

Babak sejarah negeri ini yang secara bangga disebut `era reformasi` ternyata terselipi beberapa kerancuan. Salah satu yang mendasar berupa pengartian paksa atas tindakan `mengampuni kesalahan` para pelaku kejahatan politik dimasa lampau, sebagai `melupakan kesalahan`. Melupakan begitu saja. Kerancuan ini tentu melahirkan rasa risi dalam kalbu masyarakat yang masih terus menjaga kenormalan kepekaan kemanusiannya.

Kejahatan yang berbentuk tindak kekerasan keji yang mematikan orang-orang tak bersalah tentu tidak bisa dilupakan begitu saja. Apalagi bagi korban atau keluarga mereka. Bahkan setiap warga yang masih normal nuraninya akan terganggu oleh rasa risi jika kejahatan keji yang sampai merenggut nyawa orang-orang tak berdosa itu dibiarkan saja, tidak diusut, tidak diadili. Apalagi kalau lalu penguasa secara langsung atau tidak langsung menganjurkan kepada masyarakat luas supaya melupakan kesalahan begitu saja.

Persoalannya bukanlah apakah manusia atau suatu bangsa itu pendendam atau pemaaf. Kata `pendendam atau pemaaf` tidak selalu tepat diterapkan untuk suatu keharusan manusia mempertanggung jawabkan perbuatannya. Apalagi perbuatannya itu sungguh berupa kejahatan yang sampai menghilangkan jiwa. Justru ketika dipaksa melupakan begitu saja kewajiban untuk mempertanggung jawabkan kesalahan, jiwa itu akan terus menyimpan konflik yang menyakitkan.

Seiring berjalannya waktu, rasa menyakitkan itu akan makin kronis. Sampai suatu saat, batin tidak tahan lagi menanggungnya, lalu akan memuntahkannya keluar, mungkin dalam wujud agresi atau lainnya. Pelampiasan dendam itu dapat sedemikian brutal atau anarkis. Jadi, pemaksaan supaya melupakan begitu saja kesalahan orang (penguasa/pelaku/otak) yang seharusnya dipertanggung jawabkan, justru menjadi mekanisme pemendaman dendam.

Maka, upaya untuk memaksakan pelupaan begitu saja kejahatan masa lalu sungguh merupakan suatu perilaku yang akibatnya buruk. Bahkan membahayakan. Perilaku ini merupakan mekanisme penggumpalan dendam di dalam jiwa kolektif bangsa ini. Hal itu akan menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang menyimpan dendam tak berkesudahan. Juga mengkondisikan bangsa ini sebagai bangsa pendendam yang setiap saat bisa menyuburkan tindak kekerasan brutal sebagai wujud proyeksi rasa nyeri jiwa yang kronis.

(dalam rencana ada lanjutannya he..he..)

Tuesday, November 13, 2007

Usaha

Di sebuah stasiun kereta api, seorang pria tua yang baru turun dari taksi tampak kerepotan dengan kopornya yang besar dan kelihatan berat. Dengan sigap seorang kuli angkut menyongsong calon klien dan langsung memanggul kopor tersebut.

Sampai di kursinya dan si kuli sudah menaruh kopornya, pria itu merogoh sakunya. Di sodorkan selembar ribuan ke kuli tadi. Kontan sang kuli protes,

"Kok cuma seribu? Biasanya 'kan lima ribu?"

Pak tua tadi menjawab dengan enteng,

"Kurasa itu sudah lebih dari cukup"

"Cukup apanya ? Jarak sejauh itu dengan beban berat cuma dihargai seceng?" sungut si kuli.

"Begini, saya jelaskan. Jarak dari pintu masuk ke gerbong kira-kira 30 meter dan jarak dari pintu kereta ke kursi saya sekitar 5 meter. Selama menempuh jarak tersebut usahamu nol karena gaya yang dikeluarkan arahnya ke atas sedangkan lintasan kamu mendatar. Itu bisa digambarkan dalam persamaan : jarak x bobot kopor x cos 90 o. Karena nilai cos 90 o = 0 maka hasilnya juga nol.
Memang, tadi kamu mengangkat kopor setinggi badan kamu sehingga perlu usaha sebesar : tinggi badan x bobot kopor x cos 0 o. Tapi barusan kamu menurunkannya lagi sehingga terjadi usaha yang sama namun negatif. Jadi impas kan ? Nah, usaha yang harus kubayar hanyalah ketika naik dari lantai stasiun ke gerbong. Paham kamu sekarang ?" terang pria tua tersebut yang ternyata dosen mekanika itu.


"huh, dasar pelit !! atau bilang aja kalo ga punya duit"

Saturday, November 10, 2007

c r e d i t

setelah sekian masa mengharu biru suasana lewat laman blog, baik saya nak haturkan terima kasih yang tiada terkira kepada beliau-beliau yang telah memberi inspirasi saya sehengga berbuat sebegini, diantara pun :

masHadi dan Wan Zul pada episode kelam..

UKay's untuk ... (2)

Iraas Irma support di ... (3)

Ella menyokong pada ... (4)

Saari Amri untuk ... (5)

Zurain melengkapi ... (6) akhirnya..

tak lupa kepada komentator-komentator pada sekian postingan silam, sokongan serta kecaman kalian sungguh memberi warna hidup saya. Sekian, salam sayang seribu kali sayang dari saya..

Wednesday, November 7, 2007

... (6) akhirnya..

keranamu...
rela ku tempuh,
sengsara onak duri dingin menjadi api
seribu tahun nanti takkan ku peduli

akhirnya..
tak kau biarkan
hasratku yang terpendam
dalam cahaya cinta
kau biar bagai intan, dilaut dalam....

siang malam asyik bercumbu
dengan bayang mu datang menganggu
hakikat cinta tak menentu
oh firasatku, bagai angin lalu..

biar ku tabur, benih dan bunga
menyambut mesra

kalimah kau ucapkan
walau sebaris kata
dunia menyaksikan
kau cinta padaku..

pagi ini sungguh terasa indaaahhh..

Tuesday, November 6, 2007

... (5)

dapatkah putik menjadi bunga
kiranya cuaca sering gerhana
dapatkah kasih berseri selamanya
ataupun aku harus berserah
kepadanya yang maha esa
mestikah ada satu pengorbanan sehingga terjadinya perpisahan
kiranya itu satu permintaan
perlukah kau dan ku merelakan

kita hanya insan yang selalu mengharapkan
suatu yang indah dalam rasa
kiranya tiba masanya
aku kau tinggalkan

karam aku di lautan duka
bila wajahmu hilang dimata
tiada berita mengobat rindu dikala sendu
ku biarkan luka dihati berdarah sehingga kering dimamah mentari
apakah salahku disakiti sebegini


Sunday, November 4, 2007

... (4)

kelam malam
sepi mengiring kerinduan
tak terbatas ingatanku terhadapmu

dan pada siapa harus kuadukan
resah ini kian menghimpit perasaan

oh seandainya
kasihmu mekar bagai dulu
pasti tidak aku terbelenggu begini

bukan salah aku retak semua ini
bermula darimu, bertikam lidah
lalu..
sirna..

Saturday, November 3, 2007

... (3)

Malamku rasakan sepi
Jiwaku dilanda rindu
Terbayang wajahmu
Rasa cinta bergelora
Rindunya makin terasa
Malam bagaikan lara
Menantikan siang
Resahnya jiwa ku ini


Harapanku agar kau tetap setia
Kan ku belai kasih sepenuh hatiku ini
Abadilah cinta dilubuk kasih mesra
Kan ku jaga agar sentosa
Hebatnya api asmara
Tak terdaya aku mengawal
Moga engkau tahu
Betapa tulusnya kasihku...

... (2)

saat aku resah gelisah
malah kata putus kau pinta

Oh sepinya..
ku rasa..
bila kau tiada..
rindu melanda
menunggu ketika berjumpa kita akhirnya
apalah daya andai hatimu
kering dibakar panas mentari yang menanti

diriku insan biasa,
wajah tampan aku tak punya
harta juga aku tiada
cumalah aku menyintai sepenuh jiwa


.

Thursday, November 1, 2007

episode kelam


wis tak petani salahku opo
duh wong ayu ngomongo sing cetho
ojo 'njur lungo gawe atiku gelo
opo mergo wis ono wong liyo

aku rumongso pancen aku ra mbondho
ora rupo, ojo gawe lara

pupus rasa tresno ngambar wangi kowe sing nyirami
garing tanpa guna nalikane kowe ninggal lungo

aku ora ngira, kowe ninggal lungo
opo mergo wis ono wong liyo..


kini kutahu artinya sepi, bagaikan pisau menghiris hati
ku jua tahu artinya rindu, bagai tertusuk duri sembilu
batin sungguh tersiksa, jasad jadi merana

ternyata hubungan kita satu persinggahan
bukan membalas pengabdian yang rela
kau bilang kepergianmu oh kerana terpaksa
demi hidup yang lebih sempurna

kau anggap kehadiranmu hanya satu persinggahan
tiada menjanjikan mahligai impian sebagaimana kuharapkan..

.