... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Friday, February 25, 2011

Angin

“Aku tidak tahu mengapa kita semua telah menjadi bangsa yang tegar tengkuk. Celakanya, dalam banyak segi, kita melakukan perbuatan-perbuatan itu demi nama Tuhan. Padahal yang kita perjuangkan hanya kepentingan kita sendiri. Karena kita telah menjadi korban, maka kita pun lalu mengorbankan orang-orang lain. Orang-orang yang sering tidak bersalah sama sekali. Maka apakah sungguh adil jika kita memperjuangkan keadilan dengan melakukan ketidak-adilan? Apakah sungguh benar jika kita berupaya menegakkan kebenaran dengan melaksanakan hal-hal yang melanggar kebenaran itu sendiri? Cobalah untuk merenungkan, bagaimana perasaan kita sebagai korban. Begitulah perasaan mereka juga yang telah kita korbankan. Atas nama apa pun juga....”

Demikianlah, kemarin seorang bapak tua mengungkapkan perasaannya saat menonton tivi di poskamling yang menayangkan berita tentang kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Pembunuhan. Pemerkosaan. Penindasan. Teror. Kita memang hidup di zaman dimana percepatan informasi telah menciptakan gelombang sensasi sehingga dengan mudah kita melakukan pembalasan bukan untuk pembalasan itu sendiri. Tetapi demi popularitas dan demi menyatakan keberadaan kita di dunia ini. Kita ingin orang-orang tahu bahwa kita sungguh eksis, bukan hanya sebagai batu-batu yang diam yang mudah untuk dipermainkan begitu saja. Maka kita melakukan aksi. Agar kita dikenal. Agar kita ada.

Perlukah itu? Saya meragukannya. "Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang.” Sabda itu terus menggema di hatiku, saat membaca berita tentang kekerasan berbau SARA beberapa waktu lalu. Kekerasan hanya membuahkan kekerasan. Pembalasan hanya mendatangkan pembalasan. Dan sampai kapankah ini berakhir? Tidakkah semuanya hanya sia-sia saja? Untuk apakah kita eksis jika kita harus mengenyahkan keberadaan yang lain? Demi suatu keseragaman? Atau untuk apakah kita kita eksis jika kita hanya eksis demi diri kita sendiri saja? Bukankah Gusti Yang Maha Bijaksana, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Maka apabila kamu hanya mengasihi orang yang mengasihi kamu, apa upahmu?

Tetapi kita memang hanya manusia yang lemah. Kita tak pernah belajar dari sejarah. Kita selalu ingin agar kebenaran dapat ditegakkan. Tetapi sayang bahwa, kebenaran itu hanya menurut versi kita sendiri saja. Maka kita hanya dapat melihat selumbar di mata orang lain tanpa peduli pada balok di mata kita sendiri. Kita menjadi insan yang tegar tengkuk, insan yang hanya dapat memandang kemauan kita sendiri saja sebagai kebenaran yang pasti. Dan harus ditegakkan. Sambil menganggap keberadaan yang lain hanya sebagai angin yang lalu saja. Kita lupa bahwa angin itu dapat menjadi badai yang dapat merobohkan apa saja. Termasuk diri kita sendiri. Maka jika para korban-korban itu suatu saat kelak menjadi badai, siapakah yang harus disalahkan?

“Cobalah merenungkan perasaan mereka yang telah menjadi korban…" Ya, marilah kita tidak hanya saling menyalahkan, tetapi juga saling memahami satu sama lain. Sebab mereka serupa angin. Dan angin dapat berhembus dengan lembut dan menyibakkan rambut kita dengan segenap kesegarannya. Tetapi dapat juga menjadi topan badai yang dapat merusak dan merobohkan rumah kemanusiaan kita semua. Sebab hanya ada satu bumi.

Hanya satu bumi.

Friday, February 11, 2011

Waktu, Kehidupan..

Aku memandang pohon belimbing yang tumbuh di samping rumah. Aku mengenang saat beberapa tahun lalu aku menanam pohon itu, saat itu dia masih amat munggil, kecil dan nampak lemah tak berarti. Aku kagum melihatnya sekarang. Aku juga memikirkan pada keponakan kecilku yang beberapa hari lalu kujumpai. Aku ingat saat terakhir aku melihatnya, dia hanya seorang anak kecil yang lucu dan menggemaskan. Beberapa hari lalu, yang kujumpai sudah menjadi gadis remaja yang centil dan manis. Kehidupan nampak bergerak di dalam segala sesuatu yang hidup. Dan waktu tidak menyisakan apa-apa bagi kita yang selalu terkungkung dalam masa lalu, kecuali kenangan.

Seberapa banyakkah kita telah berubah? Sadarkah bahwa kita telah berubah? Apakah arti kesedihan dan kegembiraan yang telah kita alami selama menjalani waktu-waktu keberadaan kita? Kita menangis. Kita tertawa. Kita berduka. Kita bahagia. Berapa banyakkah yang telah kita tinggalkan di masa lalu? Berapa banyakkah yang masih akan kita alami di masa depan? Sadarkah kita hari ini? Apakah memang hidup ini hanya sebuah penantian panjang menuju akhir? Apakah arti keberadaan kita saat ini? Untuk apa kita merasakan? Untuk apa kita berpikir? Apa gunanya semua kehidupan yang kita jalani selama ini? Untuk apakah kita ada di sini? Untuk apakah?

Kehidupan terkadang terasa sebagai suatu barang aneh yang kita jalani tanpa dipikirkan. Kita lahir. Kita bermain. Kita bercinta. Kita bergaul bersama teman dan sesama. Kita menikmati kebersamaan dalam keluarga kita. Baik atau buruk, kita ada dan menjalaninya, sering tanpa merasakan keberadaan kita sendiri. Kita lelap dalam rutinitas seharian. Tertawa. Menangis. Dan waktu bergulir terus tanpa kita sadari. Waktu bergulir terus. Kita mulai menua. Setiap tahun kita memperingati ulang tahun kelahiran kita. Mungkin dalam sunyi. Mungkin dalam derai tawa. Namun waktu keberadaan kita kian memendek. Dan kita sering gagal memahaminya. Atau tak peduli mengenai hal itu. Atau kita tak mau bersusah hati menghadapinya. Hidup telah berjalan dengan normal selama kita menjalaninya apa adanya. Kita, sang manusia, ada dan berada dengan segala kesusahan dan kesenangan kita, seringkali melupakan lewatnya sang waktu yang datang dan pergi dalam diam. Ah, sang waktu yang deras mengalir sesuai dengan perasaan kita....

Pohon belimbing yang dulu amat mungil dan lemah kini tumbuh menjadi sebuah pohon yang kuat dan tinggi. Keponakan kecilku yang dulu imut dan menggemaskan kita telah berubah menjadi seorang remaja yang lincah dan dewasa. Kita sadar bahwa saat ini tak lagi sama dengan saat kemarin. Tahu bahwa segala keputus-asaan dulu tak lagi punya makna saat ini. Untuk apakah kita bersedih hati? Jika pada akhirnya kita tahu kepastian apa yang akan dihadapi, perlukah segala rasa takut dan khawatir akan hari-hari kemudian? Sepi dan sunyi saat ini. Sepi dan sunyi. Tetapi manusia manakah yang tidak mengalami dan menyadari kesendiriannya dalam sepi dan sunyi itu? Manusia manakah? Kita, manusia. Kita, ada dan hidup. Kita merasa dan berpikir. Kita bersedih dan bergembira. Dalam waktu, kita hanya dapat lewat sejenak untuk istirahat selamanya...

Urip iki mung mampir ngombe.