... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Sunday, March 30, 2008

Ulul Amri

Pada satu kesempatan di sebuah pengajian, sang pembicara (penceramah) bertanya kepada para hadirin yang ada,

"Untuk mengetahui bahwa ada Tuhan, ada akhirat, ada sorga dan neraka, serta ada malaikat, iblis dan setan - siapa pihak yang kau percayai untuk memberikan informasi?"

Hadirin menjawab, "Tuhan!"

"Untuk mengetahui hal-hal mengenai bagaimana beribadah, bagaimana berkelakuan baik, bagaimana tidak korupsi, bagaimana menghormati manusia - siapakah pihak yang kau percayai untuk memberikan informasi dan pendidikan tentang hal-hal itu ?"

Hadirin menjawab, "Rasulullah!"


"Untuk mengetahui berapa harta rakyat yang dicuri oleh Pak Harto dan keluarga Cendana, untuk mengetahui apakah Prabowo merekayasa kerusuhan atau tidak, untuk mengetahui kelompok apa saja yang bergulat di sekitar presiden saat ini, bagaimana situasi sembako nasional yang sebenarnya, kondisi negara, dan lain sebagainya - siapakah pihak yang kau percayai memberikan informasi kepada anda semua?"

Para hadirin diam, tidak ada yang menjawab.

"Siapa?", desak sang pembicara, "Orang-orang yang ngobrol di warung, ngerumpi di kafe, yang berkicau di gardu dan pasar? Atau selebaran? Isu yang beredar? atau apa ?"

Para hadirin diam, tidak ada yang menjawab.

Siapa Tuhanmu? Allah.
Siapa Rasulmu? Muhammad.
Siapa Ulul Amrimu?
Para hadirin diam, tidak ada yang menjawab.

Sampeyan punya dan ingin memberikan jawaban?

Friday, March 21, 2008

Maen air..


Mengarungi arus deras sungai Elo, Magelang, memang mengasyikkan, apalagi kalau kondisi airnya sedang melimpah. Dijamin riam-riam yang sebelumnya sudah dihafal akan berubah karena debit dan derasnya air. Cerita ini ada hubungannya dengan bergesernya riam-riam Elo tersebut.

Kondisi air sedang tinggi, terlihat dari batuan yang biasanya nongol di permukaan hampir hilang tertutup air. Namun tak ada satupun yang menyadarinya, rupanya bayangan keceriaan saat berperahu menutup kewaspadaan. Maka perahu pun mulai mengarung, melonjak-lonjak oleh gelombang dan arus. Satu dua riam belum mengalahkan keriangan di atas perahu, sampai pada satu kelokan berarus deras..

Dari jauh terlihat perahu yang di depan terbalik memuntahkan semua isinya. Melihat itu, bukannya siaga, malah teriakan-teriakan penuh keriangan terdengar dari para penumpang perahu di belakangnya. Apalagi beberapa teman sudah begitu hafal riam-riam di depan. Arus kuat mendorong perahu ke arah dinding kanan sungai, sementara jalur berbelok ke kiri. Karena kesiagaan kurang, jadilah perahu menabrak sebuah batu. Seperti kejadian perahu di depan, seluruh isi perahu berhamburan ke air...

Berikutnya, setelah kejadian itu, berbanding seratus delapan puluh derajat dengan suasana sebelumnya. Tak ada lagi teriakan senang, wajah-wajah tegang menggantikan ekspresi para penumpang perahu. Ternyata riam yang sebelumnya begitu dihafal sudah berubah sama sekali. Saking traumanya karena kejadian perahu terbalik, saat istirahat di shelter, dua orang penumpang dengan dalih mengevakuasi barang-barang yang tidak lagi diperlukan di perahu, memisahkan diri dari pengarungan. Padahal tempat biasa finish masih jauh... Ha..ha.. kapok ya, Bang ?

Tuesday, March 18, 2008

Saya ?

Kliatannya emang lagi musim tag po ya, kok aku yang lugu dan cuek gini *halah* ya kebagian lemparan juga, tega nian.. Dan yang menyambit saya adalah Elang dari Kahyangan, di tanah sebrang sana. Tapi baiklah kucoba bikin meski seadanya.
Dan.. inilah aku :

I'm passionate about :
  • Gusti Allah, sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan keberadaan makhluk)
  • Simbok, dan tentu keluarga ndesoku sana
  • Baca, pengen banget bisa membaca bukan saja yang tertulis tapi yang tak tertulis juga..
  • Eling, berusaha mengendalikan otak dan hati yang secuil ini

Mostly I say :
  • "Duh Gusti.." biasanya disertai tarikan nafas agak panjang (ambegan landhung, jawa)
  • "langsung!"
  • "suwun ya.." (terima kasih ya.., jawa)

I've just finished reading :
  • Sunan Kalijaga, Mistik dan Makrifat : Achmad Chodjim
  • Sirah Nabawiyah : Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury

Insya Allah before I die, I want do :

  • Minta maaf atas segala salah dan khilaf
  • Menjalani hidup yang damai dan mendamaikan

I love listening to :
  • Javanese Bossanova : pas malem2 gini
  • Dimmu borgir, Cradle of Filth, Children of Bodom : biasanya sore (+ hujan)
  • IKLIM, nDangdut : sometimes

What my friends like about me :
apa ya, ketimbang suka (like) mungkin lebih tepatnya 'kasihan' (welas, jawa)
ha..ha..

Last year I've learned :
  • Ikhlas, susah bener, kayaknya selalu ada protes dalam hati ini..
  • Menahan emosi, pengen banget bisa sabar..
  • Menulis, ngluarin ide

Kira-kira begitulah saya. Dan saya coba "berbagi" tag ini pada temen-temen berikut :
  • Adek, teman klayaban di hutan
  • Zen Racmat, nomaden yang banyak diziarahi
  • Dony, cah solo asli
  • Rr Rey, trah Kraton Solo yang tinggal di ibukota

NB: tag yang saya haturkan ini sama sekali tidak bersifat wajib. Dikerjakan kalau ada waktu aja, saya tahu anda-anda punya kesibukan dan saya sama sekali tidak ingin tag ini mengganggu kesibukan ataupun penggalih anda. Saya ikhlas kok.. Suwun.

Saturday, March 15, 2008

Wong Cilik

Arti harfiahnya adalah orang kecil. Maksudnya ialah mereka yang kehidupan sosio ekonomis politisnya ditentukan pihak lain. Bisa juga ditafsirkan bahwa wong cilik adalah mereka yang tidak punya akses terhadap kekuasaan. Dalam dunia wayang, wong cilik adalah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, para punakawan yang setia mendampingi para satria utama dalam usaha menegakkan keadilan dan kebenaran. Kita tahu, Semar adalah dewa mangejawantah (manifestasi dewa) yang hidup di bumi. Karena itu, jika para satria bersikap sembarangan terhadap Semar, mereka bisa kualat.

Dengan kata lain, bila para satria pangembating praja (aparat pemerintah, termasuk para birokrat) mengabaikan suara wong cilik, mereka pun akan mudah tersungkur. People’s power tak bisa diremehkan. Konsep kualat dalam masyarakat Jawa bisa jadi merupakan mekanisme kontrol agar mereka yang di atas tidak begitu saja melupakan kawulo yang di bawah.

Kenyataannya, di masyarakat kita wong cilik masih diperlakukan seperti cah cilik (anak kecil) padahal mereka dudu cah cilik (bukan anak kecil). Sebagai anak kecil tahunya diam, kalau masakan siap akan di panggil, kalau malam cuci kaki terus bobo, selesai. Artinya, wong cilik sebagai cah cilik kodrat politisnya harus diam.

Memang sih ada perkembangan yang lumayan sehubungan dengan perlakuan terhadap wong cilik akhir-akhir ini. Paling tidak kelihatan mereka makin berani menuntut hak dan mengadu kepada anggota dewan atau pejabat daerah, meski kita juga tahu bahwa hasilnya masih pada taraf “kami tampung”. Dengan demikian, wong cilik adalah mereka yang bila mengadukan nasib kepada satria pangembating praja diterima baik-baik dan dijawab : aspirasi kami tampung!

Selebihnya, wong cilik adalah mereka yang jika nyolong ayam jelas ditindak tegas demi tegaknya rule of law. Bukan cuma itu, wong cilik adalah juga para penyangga tegaknya piramida kekuasaan. Sebagai penyangga, posisinya di bawah, membungkuk, dan tak jarang pula penyok.

Kadang golongan menengah berpikir dengan sikap memihak terhadap wong cilik, nasib mereka mungkin akan terangkat. Tidak heran bila kemudian si wong cilik lalu jadi “komoditas internasional” dengan merek dagang “kemiskinan” atau “peningkatan kesehatan” yang akhirnya membuat para pedagang perantara hidup makmur tak kurang suatu apa.

Begitulah, wong cilik selalu tertinggal dari zaman ke zaman. Tapi mereka tetap tabah menunggu giliran. Mungkin ini lantaran mereka kelewat percaya kepada cakra manggilingan, yang menjanjikan bahwa hidup itu bak roda berputar dan bahwa wolak-waliking jaman (perubahan tatanan zaman) akan memungkinkan mereka naik dan yang di atas bisa ke bawah. Mungkin ada benarnya. Ataukah justru konsep cakra manggilingan itu sebenarnya merupakan ideologi kaum mapan untuk meninabobokan wong cilik agar mereka sabar terus di roda bagian bawah. Ideologi penindasan.

Metafora tentang wong cilik lalu menjadi khas, berkonotasi merendahkan dan mengejek. Saya masih ingat, di Jawa wong cilik itu diejek sebagai si cebol. Jika mereka menunjukkan punya ambisi, langsung saja ditekan dengan ucapan : o, si cebol nggayuh lintang (si cebol mau memetik bintang – sama dengan pepatah Indonesia si pungguk merindukan bulan). Suatu kemustahilan. Namun, bila si cebol tadi benar-benar mampu nggayuh lintang (bisa naik tangga sosial), segera mereka akan dicemooh : kere munggah bale yang arti harfiahnya si gembel masuk balai / rumah.

Kedua peribahasa ini bisa saja merupakan sejenis self mockery (wong cilik mentertawakan dirinya sendiri), tapi bisa juga ditafsirkan bahwa keduanya merupakan cermin dari sikap tidak rela kelas elit jika wong cilik ikut-ikut menikmati kursi kekuasaan dan duduk sederajat dengan mereka.