... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Thursday, November 26, 2009

Punakawan

Bukan penampilan fisik yang akan mengantarkan manusia mencapai derajat mulia di sisi Sang Gusti. Wujud lahiriah hanyalah wadah bagi sukma. Jasad akan kembali menjadi tanah, sementara sang roh akan kembali marak sowan kepada Yang Maha Wikan.

Melalui penampilan fisiknya yang tidak sempurna, Punakawan seperti menegaskan bahwa kemuliaan seseorang terletak pada keluhuran akhlak, budi pekerti, ilmu dan ketakwaannya kepada Gustinya. Sekalipun Punakawan hanyalah abdi, namun mereka mampu menjadi guru dan pembimbing bagi para tuannya, menjadi tempat rujukan bagi para ksatria.

Kapasitas dan ketinggian ilmunya tidak lantas menyebabkan Punakawan bernafsu menguasai dunia. Punakawan lebih memilih tetap menjadi abdi yang menancapkan kemuliaan dan kebenaran kepada setiap insan agar bumi ini dipenuhi kedamaian.


ref: M Z Haq, 2009

Wednesday, November 4, 2009

Ukiran tercoreng

Setelah kebakaran besar yang menelan kota London, Raja Inggris menugaskan seorang arsitek yang bernama Christofer Ramm untuk membangun kembali gereja St. Paul yang megah, lalu dipakai oleh Pangeran Charles melakukan pernikahan. Ukiran yang besar dan bagus dipasang sekitar delapan meter dari tanah. Ada seorang yang mengukir salah satu hiasan disitu dan berdiri pada tempat tertinggi dari gereja itu. Ia sedang memandang hasil ukirannya yang baru selesai.

Secara tak sadar, ia memandangi sambil berjalan mundur setapak demi setapak sampai sudah berada di ujung papan pembatas, jika ia mundur setapak lagi, ia pasti jatuh dan mati. Seorang rekan di pinggirnya melihatnya. Posisi berdiri rekannya itu amat berbahaya bahkan mungkin jika ia berteriak memperingatkan malah akan membuat rekannya terjatuh. Akhirnya tidak ada cara lain, ia mengambil kuas seorang yang sedang mengecat dinding lalu merusak hasil ukiran rekannya itu. Waktu ukiran itu dicat tidak karuan, si pengukir amat marah dan langsung menghampiri ingin memukulnya. Tetapi orang itu lalu memperingatkannya dan menunjuk tempat si pengukir itu berdiri, akhirnya si pengukir sadar bahwa rekannya itu sedang berusaha menyelamatkannya.

Demikian, kadang Gusti Yang Maha Agung 'merusak' gambaran yang kita idamkan, mengambil orang yang kita cintai dan memberikan hal-hal yang sulit dalam hidup kita. Cara Beliau seringkali melawan logika dan cara pikir manusia, tetapi justru cara-Nya adalah cara terbaik. Mungkin sering kita marah dengan tangisan, berdebat dengan Tuhan, tetapi percayalah bahwa hal itu perlu dikerjakan utk kebaikan kita, karena rencana Sang Maha Wisesa indah pada waktunya.

Tuesday, August 18, 2009

Kedamaian..


Di luar cukup kelam, mendung menghiasi langit kota. Jalanan yang biasanya amat ramai, kini terasa sepi. Hanya satu dua kendaraan yang lewat sambil melemparkan cahaya lampunya ke atas aspal yang lengang. Aku duduk di sebuah kedai, ditemani secangkir kopi, bersama seorang teman yang cukup lama tak pernah bersua. Sayup-sayup alunan suara dari Panbers menemani kami. Suasana lembut, amat lembut.

Malam itu kami
ngobrol lumayan panjang. Tentang kesedihan. Tentang musibah. Tentang kemanusiaan. Tentang derita dan keputus-asaan. Tentang alam, manusia dan Tuhan. Tentang apa saja yang terlintas di pikiran kami. Filsafat yang mengalir untuk berupaya memahami kehidupan kami. “Kita tak pernah belajar untuk menggunakan hati kita” katanya, “Kita lebih senang menggunakan otak kita. Tuhan tidak pernah memaksakan kehendak-Nya, kita diberi kebebasan untuk memilih, dan kita lebih senang memilih untuk memalingkan diri dari jalan-Nya. Kita ingin menempatkan Tuhan di depan kita untuk memimpin kita dan bukannya berpaling kepada-Nya....”


Aku kira, persoalan bukanlah karena kita lebih memilih berpaling dari-Nya. Seringkali hidup memaksa kita untuk tidak punya pilihan-pilihan. Seringkali kita tak mampu untuk memilih jalan yang harus kita tempuh. Penderitaan kita terbentuk dari lingkungan kita, yang sering tak bisa kita kendalikan secara utuh. Terlebih jika kita melulu hanya menggunakan hati dan perasaan. Hati dan perasaan kadang menjadi sedemikian menekan jiwa, sehingga satu-satunya jalan adalah dengan berpikir jernih untuk menerima apa yang sedang kita alami. Ya, hidup seringkali tidak sesederhana kata-kata indah, ucapan-ucapan penghibur hati dan perasaan belas kasih. Karena kita harus mengalami dan pengalaman itu sering kali amat menekan hati dan perasaan kita. Menekan jiwa kita.


Udara malam yang cukup dingin. Pekatnya langit. Jalan yang sepi. Alunan lagu. Secangkir kopi hangat yang mengepulkan asap. Tiba-tiba aku merasa bahagia karena berada di tempat dan suasana saat itu. Karena aku tahu bahwa, ada banyak, ya ada banyak mereka yang pada saat yang sama, hanya bisa pasrah tak berdaya dalam kesunyian hatinya. Ada banyak mereka yang saat itu tak punya rumah, meringkuk kesepian, sedang mengalami bencana peperangan yang tak diinginkannya. Mereka yang sedang kelaparan dan terlunta dalam kepahitan akibat pemaksaan, kebohongan, kelemahan dan ketidak-berdayaan. Dan itu semua adalah proses mengalami, bukan hanya dalam kata-kata yang tertulis di koran atau majalah yang bisa kita beli dengan mudah di tepi jalan.


Aku memandangnya. Dan aku sadar bahwa semua pengalaman dari mereka-mereka yang menderita dan tertindas mungkin saja menimbulkan rasa iba dan belas di hati kita. Tetapi tetap saja berbeda antara yang mengalami dan yang mengetahui. Karena dengan hanya mengetahui, tanpa terlibat langsung dalam persoalan-persoalan kehidupan itu, kita selalu punya pilihan untuk mengelak. Kita selalu punya pilihan untuk menghindar. Kita bebas untuk memilih, namun ada banyak, ya ada banyak mereka yang tak punya pilihan lain selain dari menghadapi dan menerima penderitaan itu. Ya, tak ada pilihan lain. Maka sungguh sulit untuk bisa memahami penderitaan orang lain tanpa kita sendiri pernah mengalaminya. Luar biasa sulitnya jika bukannya mustahil.

“Kita tidak mendengarkan-Nya dengan hati. Mari kita gunakan hati kita. Kita gali hati kita untuk mendapatkan-Nya kembali...” katanya kembali. Ya, kita harus mendengarkan hati kita sendiri. Namun kita juga harus memikirkan dan mempertimbangkan banyak kemungkinan yang tidak melulu dari kepentingan kita sendiri. Hidup tidaklah sekedar hanya dengan perasaan. Jika itu yang kita jalankan, maka kita akan tenggelam dalam ruang tertutup dengan pintu-pintu yang terkunci. Saksikanlah penderitaan, rasakanlah kesakitan yang terjadi, kesakitan yang bukan hanya pada tubuh namun terutama pada jiwa yang tak berdaya berbuat apa-apa. Mereka yang dibohongi, mereka yang ditinggalkan dan disia-siakan. Mereka yang tenggelam dalam kesunyian hidup karena tak punya apa-apa untuk bangkit.

Aku menghirup kopiku yang mengepul. Suatu perasaan hangat dan puas mengarungi tubuhku. Di sini aku merasa aman, nyaman dan menikmati segala apa yang tersedia bagiku. Ruang yang lega, alunan lagu, cahaya yang remang-remang. Suasana santai yang nyaman. Aku merasa bebas dari derita. Bebas dari ketidak-nyamanan udara malam yang terbuka. Tiba-tiba aku berpikir: “Ah, seseorang yang tak pernah merasa kekurangan, mampukah merasakan kekurangan orang lain? Seseorang yang tak bersedih, mampukah merasakan kesedihan orang lain? Seseorang yang tak pernah menderita, mampukah merasakan penderitaan orang lain?...” Tuhan memang tidak pernah membiarkan kejahatan terjadi. Manusialah yang membiarkannya. Dengan melakukannya. Dengan bersikap tak peduli. Dengan melupakannya. Manusia yang merasa dirinya mewakili Tuhan. Manusia yang bersikap sebagai Tuhan. Jalanan makin sepi. Pulang..

Tuesday, July 28, 2009

Laku ksatria

Alkisah, perjalanan sang Ksatria dan ke empat abdinya memasuki hutan. Gambaran bahwa sang ksatria mulai memasuki medan kehidupan yang belum pernah dikenal, gelap, penuh semak belukar, banyak binatang buas, banyak makhluk jahat yang siap menghadangnya, bahkan jika lengah dapat mengacam jiwanya. Namun pada akhirnya Ksatria, Semar, Gareng, Petruk, Bagong berhasil memetik kemenangan dengan mengalahkan kawanan raksasa, sehingga berhasil keluar hutan dengan selamat. Di luar hutan, rintangan masih menghadang, bahaya senantiasa mengancam. Berkat Semar dan anak-anaknya, sang Ksatria dapat menyingkirkan segala penghalang dan berhasil menyelesaikan tugas hidupnya dengan selamat.

Mengapa peranan Semar dan anak-anaknya sangat menentukan keberhasilan suatu kehidupan? Semar merupakan gambaran penyelenggaraan Illahi yang ikut berproses dalam kehidupan manusia. Untuk lebih memperjelas peranan Semar, maka tokoh Semar dilengkapi dengan tiga tokoh lainnya. Ke empat punakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta. Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan ceko dan berkaki pincang. Ketiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan, tangan ceko adalah rasa ketelitian dan kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari kehendak, keinginan, karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya selalu bersedia bekerja keras.

Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karya berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masing-masing dengan harmonis, untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan signifikan.

Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya). Demikian pula kita, berlakulah sebagaimana sang ksatria. Semoga bisa.

Tuesday, February 17, 2009

Pulpen imitasi

Di sebuah wedangan di pinggiran Solo, beberapa malam lalu aku nongkrong bersama seorang lelaki yang sudah cukup umur. Kami duduk berhadap-hadapan. Kadang asap rokok dari mulut kami menjadi tabir kelabu yang membatasi pandangan kami masing-masing. Sudah beberapa waktu kami hanya diam membisu menikmati khayalan kami masing-masing yang keluar berdesakan seperti asap rokok. Aku bukan seorang yang pandai menduga isi hati seseorang dari ekspresi wajah. Maka saat itu aku juga tidak bisa menangkap gejolak apa yang ada dalam hati bapak yang duduk di depanku.

Lalu bapak itu bercerita tentang sebuah pengalaman hidupnya yang menurut dia sangat menyebalkan. Dia baru saja diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai pemimpin sebuah yayasan. Enam tahun yang lalu bapak ini dipercaya oleh pengurus yayasan untuk mengelola yayasan yang sudah akut. Pada awalnya bapak ini sudah ingin mundur, sebab melihat situasi yayasan yang sekarat. Ketika dia melaporkan hal itu pada pengurus yayasan, pemimpin yayasan mengatakan bahwa jika bapak tidak sanggup, maka bubarkan saja yayasan itu. Bapak ini tidak setuju dengan cara yang mau melepas tanggung jawab itu, sebab karyawan yayasan cukup banyak. Lalu mereka harus bekerja apa? Sudah bertahun-tahun mereka menggantungkan hidupnya di yayasan ini. Tapi pemimpin yayasan tidak memberikan jalan keluar. Dia sudah memasrahkan pada bapak ini. Mau dilanjutkan atau dibubarkan, terserah kebijaksanaannya.

Beliau pun memulai sebuah perjuangan panjang dan berat. Yayasan yang sudah sekarat itu dibenahi sedikit demi sedikit. Semua karyawan diajak bicara untuk bersama-sama memikirkan tempat hidup mereka. Persaudaraan antar karyawan ditumbuhkan, semula banyak karyawan saling mencurigai satu dengan yang lain. Rasa pemilikan yayasan ditumbuhkan. Mereka bukan karyawan tapi pemilik yayasan ini. Kesejahteraan karyawan ditingkatkan, meski hal ini ditentang oleh pengurus yayasan, sebab yayasan bisa bangkrut. Tapi bapak ini berpikir yayasan itu toh sudah sekarat, maka sebelum mati harus memberikan yang terbaik untuk semua karyawan yang selama ini telah mengabdikan dirinya pada yayasan.

Ternyata langkah ini membuat yayasan tidak mati, sebaliknya mulai berkembang dalam soal dana dan karya. Yayasan mulai bergerak kembali. Tapi tiba-tiba suatu hari bapak ini diberhentikan begitu saja. Dia sebetulnya tidak marah akan hal itu, sebab memang dia hanya seorang pekerja. Dalam acara serah terima dia mendapatkan hadiah dari pemimpin yayasan. Ketika dibuka ternyata hadiahnya sebuah pulpen dengan merk ternama yang sayangnya cuma imitasi.

Awalnya aku tidak percaya dengan cerita bapak itu. Tapi ketika kulihat pulpen itu dan bungkusnya, aku baru percaya bahwa ini barang palsu. Perjuangan berat selama enam tahun ternyata hanya mendapatkan kenang-kenangan pulpen imitasi. Inilah yang membuat bapak itu sedih. Apakah orang tidak bisa menghargai pekerjaan orang lain? Pulpen itu masih tergeletak di meja depan kami. Aku berusaha memahami perasaannya. Seandainya aku jadi dia apakah aku tidak akan kecewa? Aku bayangkan pasti aku juga kecewa. Perjuangan berat hanya dihargai sebuah barang sepele. Memang kadang ada juga orang idealis yang mengatakan bahwa pekerjaan adalah suatu pelayanan, apalagi di sebuah yayasan sosial. Ini adalah pelayanan murni. Maka jangan terlalu berharap akan keuntungan materi. Namun apakah orang itu jika mendapat perlakuan seperti bapak ini masih berani mengajukan teorinya?

Kami masih duduk berhadapan sambil merokok. Tiba-tiba bapak itu tersenyum yang tidak bisa aku duga apa maksudnya. "Kenapa saya harus kecewa?" tanya bapak itu seolah pada diri sendiri. "Masih lumayan saya mendapatkan pulpen murahan, banyak tokoh dan pemimpin besar yang justru mendapatkan siksaan dan pengucilan di akhir masa bakti bukan lantaran kesalahan masa lalunya tapi disebabkan rasa iri dan sakit hati musuh-musuhnya," lanjutnya. Aku hanya membisu mendengar semua itu. Aku berusaha menangkap apakah itu suatu ketulusan atau suatu ungkapan kefrustasian. Aku tidak tahu.

Lelaki tua itu berdiri dan pamit untuk pulang duluan. Aku hanya termangu menatap gelasku yang tinggal sedikit isinya. Kejadian yang dialami bapak itu bukanlah satu-satunya yang terjadi di dunia. Masih banyak orang yang mengalami pengalaman tragis macam itu. Orang yang dicampakkan begitu saja oleh orang-orang yang lebih berkuasa. Orang-orang yang tidak dihargai atas apa yang telah dikerjakannya. Orang-orang yang menyerahkan hidupnya untuk suatu karya dan pada akhirnya dibuang begitu saja seolah-olah dia tidak pernah berjasa sama sekali. Orang-orang yang dikecilkan prestasinya, meski dia sudah mencurahkan segenap kemampuannya demi keberhasilan pekerjaan yang dibebankan padanya.

Adakah aku lebih baik daripada pemimpin yayasan itu? Aku memang belum pernah memimpin suatu yayasan. Belum pernah menjadi pejabat. Aku hanya orang biasa saja dan pekerja, rendah pula. Tapi apakah aku tidak pernah melakukan seperti yang dilakukan pemimpin yayasan itu? Apakah aku senantiasa bisa menghargai jasa orang lain? Aku tersenyum kecut. Aku tidak lebih baik dari dia. Sering kali aku melihat orang melakukan pekerjaan untukku dan kuanggap bahwa itu memang harus dia lakukan. Itu adalah kewajibannya. Itu adalah tugasnya, maka tidak ada yang istimewa. Kalau tukang parkir mengeluarkan sepeda motorku dari padatnya parkiran aku anggap itu adalah tugasnya, kewajibannya sebagai tukang parkir dan saya membayar salah satunya untuk kemudahan itu. Padahal dia bekerja keras untuk merapikan deretan sepeda motor serta menjaga motorku agar tidak tersenggol motor lain saat mengeluarkannya dari deretan itu.

Dalam hidupku tidak sedikit orang yang rela mengurbankan dirinya untukku. Aku ingat para guruku sejak TK sampai pendidikan terakhir. Tapi begitu aku keluar dari tempat pendidikan aku hanya sedikit ingat akan mereka. Pemimpin yayasan masih memberikan pulpen murahan sedang aku tidak pernah memberikan sesuatu untuk guru-guruku. Belum lagi pada orang-orang lain. Memang banyak orang dengan mudah melupakan arti sebuah pengorbanan dari sesama. Pengorbanan itu akan mudah sekali ditutup dengan kata pelayanan. Bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah pelayanan, artinya jangan mengharapkan apa-apa dari yang sudah dilakukan. Apakah pelayanan tidak perlu dihargai? Mengapa orang bersembunyi dibalik kata-kata itu?

Malam semakin larut, teh kampul-ku sudah tandas dan mata ini pun seakan-akan ikutan meminta istirahat. Kususuri jalan pulang dengan berbagai pertanyaan yang justru mengadili diri ini. Ah......

Thursday, February 5, 2009

Kebanggaan



Saat Obama - yang pernah tinggal di Indonesia - terpilih lalu terlantik sebagai presiden Amerika, banyak warga negri kita tercinta ini yang larut dalam euforia, bahkan lalu tak sedikit yang sambil menepuk dada meninggikan status dengan menyiarkan diri sebagai teman sekolahnya, temannya teman sekolahnya, adiknya teman sekolahnya dan seterusnya. Pokoknya bikin bangga banget lah punya sangkut paut dengan sang presiden itu.

Bahwa bekas siswa sebuah sekolah di negeri kita ada yang menjadi presiden negara adidaya itu memang membanggakan, tapi menurut saya
kok rasanya ga perlu terlalu muluk-muluk berharap dengan statusnya yang 'pernah tinggal di sini' kaitannya dengan hubungan antar negara. Saya lebih bangga pada saat si Barry secara spontan merespon sapaan stafnya dengan bahasa kita. Bahwa bahasa Indonesia pun layak di konsumsi *halah* di gedung super power itu. Itupun tak lantas ada kaitannya dengan kualitas hubungan bilateral. Ah, tapi membanggakan diri sebagai seorang yang bersangkut paut dengan yang berbau Amerika pun ga salah kok, itu juga hak.

Masih tersimpan memori bagaimana petinggi negara ini rela mengorbankan kepentingan dan kenyamanan banyak warganya demi pengamanan super ketat pesanan negri super paranoid itu saat kunjungan presidennya beberapa waktu lalu.

Selanjutnya muncul kebanggaan baru lagi, bahwa menlu-nya akan berkunjung ke sini. Diartikan bahwa Indonesia masuk dalam negara-negara besar dengan disebutkannya nama negeri ini dalam (baru)
rencana (!) kunjungan itu. Duuh.. Amerika memang hebat, baru merilis rencana kunjungan saja sudah bikin melayang perasaan. Record kebrutalannya di Irak dan Afghan serta minimnya respon atas tabiat Israel di Palestina yang notabene negara-negara sesama mayoritas muslim, sirna begitu nama negri ini terucap dalam pidato sang menlu. Pokoknya, Amrik gitu loch..

Amerika ki sopo !!

ilustrasi nyolong dari www.wahyukokkang.wordpress.com

Monday, February 2, 2009

dua ribu sembilan ?

Disaat yang lain menyambut tahun anyar ini dengan segala gegap gempita postingannya, saya justru makin tenggelam dalam ketidakberdayaan untuk bahkan sekedar blog walking. Ketika rekan-rekan blogger Solo menggeliat pesat dengan membentuk komunitas yang langsung melaju kencang dengan berbagai kopdar dan program-programnya, saya bahkan minim -tepatnya baru satu kali- berkesempatan ikut ketemuan bareng mereka-mereka. Waktu itu ikut jagongan di tempat pakDhe Blonthanx dulu, itupun saya hanya mesam-mesem plus plonga-plongo thok.

Interaksi saya dengan dunia maya memang semakin jarang, yah.. sebagai kuli kasar, saya memang lebih akrab dengan dunia lapangan yang hanya berhubungan dengan keringat dan okol serta tentu saja jauh dari yang namanya cyber tech.

Dari 86 postingan di 2007 turun drastis menjadi hanya 34 kali posting di 2008, itu pun cuma tulisan yang semakin ngayawara, ga jelas arahnya. Ah mbuh lah.. *lho??*

Intinya, kepada segenap sidang bloger, tanpa mengurangi rasa hormat kepada panjenengan semua, saya mohon maaf bila sampeyan mampir ke tempat ini dan masih menjumpai suguhan yang stagnan itu-itu saja. Sekali lagi mohon beribu maaf, terutama juga kalau saya belum berkesempatan membalas beberapa komen atau kunjungan panjenengan semua. Akhirnya, selamat untuk teman-teman Soloraya dengan komunitas Bengawan.org-nya, juga rekan-rekan yang sempat mampir di Solo, sukses buat anda semua.

Keep spirit and let's fight !!