... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Thursday, December 30, 2010

pungkasane warsa

Tahun rongewu sepuluh wis ngancik tumeka pungkasane. Akeh kedadeyan sak dawane tahun sing kudune bisa dadi pekeling tumrap manungsa. Seneng susah, bejo apes, tumus cidra lan sapanunggalane sing wis kelakon, tansah ngemu pelajaran sing bisa dadi pengati-ati kanggo nglakoni dalan-dalan ing wektu sing bakal teka.

Sedulur, sliramu kabeh ya mesthi nduweni gegayuhan lan pangarep-arep ing tahun rongewu sewelas ing ngarep iki. Apa wae resolusine kuwi , ayo, awake dhewe tetepa tansah ndedonga muga Gusti paring ridho lan dalan kang paling apik (
the best - ?) tumuju tumuse gegayuhan. Uga tansaha eling marang pengangger-anggere Kang Maha Winasis, saengga ora malah kejlomprong marang dalan kang ora sakmesthine.

Sedulur, muga tahun kang arep teka iki dadia tahun kang endah lan kebak berkah kanggo sak kabehing titah. Amin.

Sedulur, pranyata angel gawe tulisan nganggo basa dhaerah, ya ? he..he.. Sepurane, sedulur.

Monday, October 18, 2010

Aku Menabrak Mobil


Sore itu aku baru pulang kerja, aku turun dari angkot tepat di depan sebuah kios foto copy. Aku mengeluarkan beberapa lembar berkas yang memang perlu ku-copy, lalu aku serahkan ke penjaga kios tersebut. Namun si tukang foto copy menolak sambil mengatakan kalau mesinnya lagi rusak. Aku menoleh ke seberang jalan, syukurlah, ada kios foto copy yang lain. Segeralah aku beranjak bermaksud menuju ke sana.

Sesuai pesan pak polantas, sebelum menyeberang jalan kudu tengok kiri kanan dan pastikan aman tidak ada kendaraan yang melintas. Aku pun bertindak demikian. Setelah yakin tidak ada mobil maupun pengguna jalan lain yang melintas, dengan langkah mantap aku segera menyeberang. Namun beberpa saat kemudian.. "praakkk!!" aku menabrak sebuah mobil yang baru saja diparkir di samping kios foto copy yang kutuju. Tanpa tolah-toleh --demi menghindari pandangan orang yang cekikikan-- :D aku langsung saja menuju kios foto copy sambil memegangi kepala yang rada pusing.

Satu pelajaran lagi kudapat hari itu, bahwa pesan yang menyarankan untuk tengok kiri kanan sebelum menyeberang jalan ternyata kurang lengkap. Harusnya, "tengok kiri kanan lalu pandang ke depan dan pastikan keadaan aman" !!

Friday, September 3, 2010

Rajawali



Berbeda dengan jenis burung lainnya, rajawali diciptakan untuk terbang di tempat-tempat yang tinggi, jauh dari pandangan mata telanjang dan jauh dari jangkauan para pemburu. Burung rajawali memiliki keunikan, jika ia berada di alam bebas, akan menjadi burung yang paling bersih di antara burung lainnya, tapi jika dia berada di dalam 'penjara' dan terikat, ia akan menjadi burung yang paling kotor. Hal ini dikarenakan rajawali mengkonsumsi makanan yang berbeda dengan burung lainnya.

Dan Gusti sang pencipta menitahkan kita untuk selalu terbang dan berada di tempat yang tinggi, yaitu selalu berada dalam panduan-Nya dan bebas dari kontrol dunia, manusialah yang seharusnya mengontrol dunianya. Kala manusia terjerat (atau menjeratkan diri) dalam ikatan-ikatan duniawi, ia akan menjadi orang yang terkotor dibandingkan dengan orang lain.

Friday, August 27, 2010

Musuh imajiner

Suatu malam, seorang lelaki bermimpi buruk. Dalam mimpinya ia melihat seseorang berambut cepak, bersepatu lars. Ketika kedua mata mereka berpapasan, tiba-tiba orang tersebut mengeluarkan kata-kata cacian, kata-kata pedas yang ditujukan padanya. Orang tersebut juga secara kejam meludahi wajahnya. Sungguh suatu penghinaan yang teramat besar. Selama hidupnya belum pernah ia dihina seperti ini.

Saat bangun pagi, dipenuhi dengan perasaan yang kurang enak ia mengingat kisah hina yang menimpa dirinya dalam mimpi semalam. "Sejak kecil hingga kini aku belum pernah dihina oleh orang lain. Tapi malam tadi, aku bukan saja dihina, bahkan wajahkupun diludahi. Aku sungguh tidak bisa terima diperlakukan secara demikian. Aku harus menemukan orang ini dan memberikan imbalan yang setimpal," gumam lelaki itu penuh rasa benci sambil menggertakan giginya.

Sejak itu, setiap hari setelah bangun tidur ia akan berdiri di persimpangan jalan yang ramai dilewati orang, dengan harapan suatu saat bisa menemukan musuh yang dilihatnya dalam mimpi itu. Seminggu, sebulan, setahun kini berlalu. Orang yang dicari itu tak pernah menunjukkan batang hidungnya. Lelaki tersebut telah menghabiskan separuh dari waktu hidupnya hanya demi sesuatu yang tidak nyata. Ia meracuni hatinya sendiri dengan rasa benci hasil ciptaannya sendiri.

Sering kita menciptakan musuh yang tidak nyata, dan memupuk kebencian dalam hati yang pada baliknya merupakan racun yang menghancurkan diri sendiri. Apakah anda juga memupuk kebencian dalam hati anda?

Monday, July 26, 2010

Terjerat kesibukan

“I’m shining like a candle in the dark,
when you tell me that you love me”



Aku bersinar bagaikan lilin dalam kelam, saat kau katakan bahwa kau mencintaiku. Demikian alunan lembut Diana Ross mengisi ruang coffee shop yang dingin ber-AC saat kulihat dia memasuki pintu utama. Sendirian. Dengan wajah yang riang dia mendatangi mejaku. Kami lalu bersalaman. Empat belas tahun lebih kami tidak bersua. Dan kini, jauh dari kota kelahiran, kami kembali menuturkan masa silam. Tentang kenangan indah yang telah lelap dalam waktu. Sebuah reuni.


Beberapa waktu setelah pertemuan itu, aku merenungkan suatu hal yang terasa ganjil. Hampir dua jam kami bersama, bertukar tutur. Tetapi antara kami terbentang keterasingan hati. Keakraban masa lalu telah menjadi fosil. Yang kami perbincangkan hanyalah kulit-kulit kehidupan. Dia dan aku. Dan istrinya yang tidak sempat hadir karena tertelan kesibukan pekerjaannya. Waktu nampak seperti raksasa bengis yang merobek-robek kehidupan. Kehiruk-pikukan mengasingkan kami satu sama lain. Inikah hakekat kemoderenan? Saat komunikasi semakin tidak mengenal tapal batas, saat itu pula hubungan muka dengan muka antar individu semakin menjauh.

“Saya merasa bahwa kita sedemikian tenggelam dalam kesibukan, bahkan hingga tidak ada waktu lagi untuk memperhatikan dan memberikan senyuman kepada satu sama lain,” kata Bunda Teresa menyikapi situasi keterpencilan manusia-manusia modern. Hidup kian menegangkan. Tiap orang mencari kesejahteraannya dan menafikan keberadaan yang lainnya. Hidup menjadi sebuah perjalanan dalam labirin yang tidak lagi diketahui ujungnya. Pada akhirnya, kita hanya berputar-putar tanpa arah dan tanpa tujuan kecuali demi kesenangan hidup yang sesaat saja. Kita saling meninggalkan dan ditinggalkan. Sepi, sendiri dan terkucil. Kebersamaan mati. Tempat kediaman yang kita bangun kita kelilingi tembok tebal serta pagar berduri. Jiwa dan perasaan kita pun terpagari dengan topeng tebal, menolak siapapun yang mencoba masuk. Tak mengenal dan dikenal. Terasing satu sama lain.

Aku bersinar bagaikan lilin dalam kelam, saat kau katakan bahwa kau mencintaiku, desah Diana Ross. Tidakkah seharusnya kita menyatakan hal itu juga? Kita, satu sama lain, jika saling peduli dapat menerangi dunia yang gelap ini. Mengapa hal itu terasa demikian sulit? Mengapa kita selalu dikungkung oleh kesombongan, keengganan atau rasa takut ditolak hingga sudi mematikan cinta itu sendiri? Mengapa? Haruskah pengejaran terhadap materi semakin menjauhkan kita satu sama lain? Dan kalau begitu perlukah kebersamaan itu? Tidakkah lebih baik kita mengunci diri dan tenggelam dalam kebisuan kita masing-masing? Kebisuan dan kehampaan di dalam jiwa yang terkungkung oleh segala nafsu, ambisi dan keakuan kita?


Kian kita merasa menjadi modern kian terasing pula kita satu sama lain. Hanya kesuksesan dan keberhasilan dalam bentuk materi, kekuatan dan kekuasaan yang menguber hidup. Suara hati menjadi sayup dan menjauh. Empati menjadi gaung masa lampau yang tak bermakna dan tidak lagi menyentuh kita. Maka aku dan dia, duduk bersama, saling bertukar kisah tetapi melulu tentang apa-apa yang terjadi di luar dari diri sendiri. Sedang nasib diri hanya tertinggal dalam tahanan yang tak ingin dikenal, tak ingin diketahui. Lelap dalam rahasia kegelapan hidup masing-masing. Maka tepat pada waktunya, dia pun meninggalkanku. Waktu menguber kami. Waktu dalam jadwal. Waktu untuk hidup. Waktu yang membuat hidup menjadi asing satu sama lain. Desahan Diana Ross hanya bergaung sepi sendiri. Lalu menghilang perlahan-lahan.

Menghilang perlahan-lahan.

Friday, July 23, 2010

Senyum

Kita disarankan untuk memberikan senyum pada orang lain. Namun, sepertinya tak banyak orang belajar tersenyum pada dirinya sendiri. Mengapa anda tak memulainya? Ambillah cermin yang cukup besar. Bercerminlah tidak terlalu jauh atau terlalu dekat. Carilah jarak agar anda dapat melihat seluruh wajah anda dengan baik. Kemudian, tersenyumlah. Berikan senyum terbaik anda pada diri anda sendiri. Perhatikan seluruh lengkung bibir, penampakan gigi, kerut di sudut mata, garis pipi, desir rambut dekat telinga dan jangan lupa, cahaya yang terpancar dari bola mata serta air muka berseri-seri yang mengalir dari seluruh gerak senyum anda. Tersenyumlah sedemikian rupa sehingga anda bisa menerima bahwa senyum anda telah menghibur diri anda sendiri.
Ini bukan berlatih agar tampak tampan, cantik atau menarik. Sama sekali bukan. Ini adalah bagaimana anda bisa menerima dan berdamai dengan diri anda sendiri. Bila anda tidak mampu bersahabat dengan senyum anda sendiri, bagaimana senyum anda bisa menyejukkan orang lain?

PS : jangan kawatir dianggap "kenthir" sepanjang anda melakukannya tidak di area publik

Wednesday, May 19, 2010

Langit

Langit memang selalu menyimpan rahasianya sendiri. Upaya kita untuk menguaknya sedikit demi sedikit, selalu membuka selapis pintu dan kita lalu memasuki ruang berisi ribuan pintu lagi yang tertutup rapat. Lalu apakah rahasia itu? Ya, kita berjalan dengan meraba sesuai asumsi yang kita tetapkan sendiri. Kita berjalan dengan keyakinan sesuai dengan teori yang kita susun sendiri. Lalu, bagaimana jika ternyata bahwa segala asumsi dan teori yang kita pakai itu ternyata salah? Siapa yang bisa tahu? Siapa yang bisa memastikan suatu kebenaran? Bukankah dengan memastikan suatu hal berarti bahwa kita mematikan asumsi dan teori lain yang kelihatan tidak masuk akal, tetapi boleh jadi lebih mendekati kenyataan. Ya, siapa tahu Tuhan saat ini memandang kita sambil tersenyum. Dia mungkin tersenyum saat kita, dengan bangganya mengakui bahwa kita bisa tahu pikiran-Nya. Tetapi ternyata yang kita temukan hanya rembesan kecil air dari samudera yang luasnya tak terkira. Sama seperti saat kita memandang langit yang kelam di malam hari sambil menikmati masa lalu. Apa yang ada sekarang dan saat ini bahkan dalam mimpi pun tak pernah bisa kita pikirkan. Sungguh, inilah kehidupan kita.

Malam ini aku menatap langit. Ada ribuan cahaya berkelap-kelip di atas sana. Dan ada pula awan-awan putih yang membias bagaikan suatu gugus cahaya yang kabur. Anehnya, aku langsung teringat pada ribuan wajah yang kutemukan hari ini. Wajah-wajah yang masing-masing menyimpan ekspresinya sendiri secara unik dan tak tergantikan. Wajah-wajah yang menyembunyikan rahasia perjalanan hidup mereka masing-masing. Hidup. Inilah realitas itu. Wajah seorang gadis kecil yang nampak tersenyum tersipu-sipu. Wajah seorang nenek tua yang murung. Wajah seorang dara cantik yang ceria. Wajah seorang kakek yang memantulkan keangkuhannya karena telah menaklukkan sang waktu sejauh usianya. Wajah-wajah kita semua. Wajah-wajah asing tetapi nyata. Wajah-wajah hidup. Ah langit, bisakah kau mengisahkan padaku alasan keberadaan kami semua di dunia yang beraneka ragam ini? Mungkin disinilah kita akan dapat menemukan senyuman Tuhan. Senyuman pada kemanusiaan kita. Dan pikiran Tuhan pada pikiran setiap pribadi yang berbeda-beda.

Saat mencari aneka solusi dalam menghadapi aneka macam persoalan kehidupan yang sedang kita alami sekarang, kita semua sedang dan akan menuju pada satu Tuhan Sang Maha Pencipta. Inilah kepastian itu, teman. Inilah kepastian itu.

Tuesday, March 30, 2010

Dia bukan cuma pendukung

Apakah Tuhan benar-benar ada ?
Dimana Dia saat ini ?

Pertanyaan ini sering kali muncul pada orang yang sedang dalam penderitaan. Kegagalannya membuat orang itu menggugat Sang Pencipta. Mengapa orang menjadi ingat Gustinya disaat dia masuk dalam masa gelap? Adilkah dia kalau menuntut Tuhan untuk berlaku adil? Pada saat dia membuat rencana, Penguasa itu tidak dilibatkan. Dia merasa dengan apa yang dimilikinya mampu menyelesaikan masalahnya, namun setelah tidak mampu maka dia menyalahkan Tuhan. Jika dia tidak memasukkan Tuhan dalam rencananya mengapa dia sekarang menuntut Sang Pengatur itu. Dalam hidup sehari-hari Tuhan sering menjadi kernet, sedangkan manusialah sopirnya. Dia hanya dimasukkan dalam rencana manusia, padahal Tuhan adalah maha kuasa yang mempunyai rencana yang jauh dari kemampuan akal budi dan perhitungan manusia. Sering kali manusia tidak mau mencari kehendak-Nya, sebab dia sibuk dengan kehendaknya sendiri. Manusia tidak mau mencari tahu rencana-Nya sebab dia sudah yakin akan rencana hidupnya sendiri. Tidak berusaha menjalankan rencana-Nya, sebab dia tidak melihatnya.

Sering kita hanya melibatkan Gusti Yang Perkasa dalam sebagian rencana kita. Kadang kita mengatakan bahwa sebelum menjalankan rencana, kita sudah berdoa agar semuanya berhasil. Dalam hal inipun kita hanya memasukkan Tuhan sebagai pendukung rencana kita. Beliau tetap sebagai kernet yang dibutuhkan ketika dalam menghadapi bencana atau untuk mendukung keinginan. Jika demikian, kenapa Dia dimintai tanggungjawab?
Kepasrahan bukan hanya keberanian untuk hidup saat ini, melainkan juga keberanian memposisikan Sang Pengatur sebagai sopir dan memposisikan diri sendiri sebagai kernet. Manusia yang mengikuti kehendak Gustinya dalam hidupnya. Namun ini masih butuh perjuangan. Jika kita mau berpasrah, kita tidak perlu terlalu gundah saat mengalami episode kelam dalam perjalanan hidup ini. Kita akan tetap bersemangat untuk berjuang mempersiapkan hari esok. Jangan putus asa dan meratapi masa lalu atau kegelisahan masa datang. Semua dikembalikan pada Gusti, Sangkan Paraning Dumadi.

Friday, February 19, 2010

Menuju puncak

Tentang seorang pendaki gunung, yang memaknai hidup dari perjuangan yang dia lakukan. Hampir seluruh waktu dalam hidupnya dipakai untuk menjelajahi gunung-gunung yang menjulang tinggi, hanya untuk melihat pemandangan mana yang terindah. Semakin tinggi gunung yang dia tapaki, semakin indah pemandangan yang ia dapatkan. Hingga pada suatu kesempatan, dia memutuskan untuk mendaki sebuah gunung di daratan Andalas sana. Memang bukan gunung tertinggi, tapi dia merasa itulah gunung tersulit yang pernah ia hadapi. Dalam hatinya ada sedikit ketakutan, hal yang selalu datang dalam hatinya setiap akan mendaki sebuah gunung. Seperti biasanya, dia berusaha menenangkan hatinya.

Setelah merasa cukup tenang dan
timing yang pas mulai melangkahkan kaki, selangkah demi selangkah. Mendaki gunung yang akan menghadiahi dia banyak tantangan dengan bekal seadanya.

Saat mencapai seperempat dari gunung tersebut, dia melihat sejenak ke belakang, jalan yang sudah ia lalui. Dalam pikirannya, dia berkata, "Ah, masih belum jauh." Sambil terus melangkahkan kakinya. Sampai langkahnya harus terhenti oleh seekor ular yang berjalan di hadapannya. Sesaat dia panik, dan ingin menghindar. Namun, sedikit gerakan tubuhnya, menyadarkan ular tersebut akan kehadirannya di sekitarnya. Ular tersebut memandangnya yang sedang berusaha tenang, dan ternyata ketenangan itu akhirnya membuat ular tersebut pergi.


Lalu dilanjutkannya perjalan itu dengan sisa bekal yang masih ada. Ketegangan karena ular tadi cukup membuatnya kehilangan tenaga. Kini dia sampai di posisi tengah dari gunung tersebut. Saat sadar akan posisinya, ada ketakutan muncul kembali dalam hatinya. Betapa jauh dan terjalnya jalan yang sudah ia lalui, dan yang masih akan dia jalani. Ditambah dengan bekal yang sudah sangat menipis. Sesaat kembali ia duduk dan mengumpulkan semangat, kembali pada motivasinya. Setelah yakin, ia kembali melangkah. Dia mulai dapat melihat pemandangan yang indah namun masih buram.

Sampailah dia pada tiga per empat bagian gunung itu. Ada pemandangan yang sangat mengerikan. Terdapat beberapa tulang belulang manusia di sana. Yang mungkin tewas saat mendaki dunung tersebut. Segera ia membuka bekal dan terkejut. Tinggal sepotong roti di sana. Pikirannya terguncang, takut akan kematian yang ada dalam benaknya. Namun saat memandang ke bawah, ia sadar, sudah terlalu jauh. Saat memandang sekelilingnya, ia mulai melihat pemandangan yang belum pernah ia lihat, namun masih buram. Dan saat ia memandang ke atas, dia sadar, tinggal beberapa langkah lagi. Segera ia menghabiskan roti itu, dan dengan tekad bulat memutuskan akan mendaki gunung tersebut sampai tuntas. Langkah-langkah terus bergantian, walau lelah sudah tak terkatakan lagi. Dia terus berusaha, walau terjatuh beberapa kali. Naik, naik, dan terus naik.

Sampai ia melihat sebuah hamparan tanah datar, dan kembali terjatuh. Jatuh dan tak sanggup untuk bangun lagi. Dicobanya untuk membuka mata dan melihat pemandangan yang sangat indah dan jelas. Keindahan dunia di bawah sana. Warna-warni yang dihasilkan dengan sangat harmonis oleh alam. Ia sampai di puncak gunung. Ia mengucap syukur, dan dengan pasrah menyerahkan tubuhnya, menyerahkan kelelahannya pada Sang Pencipta. Dia mati. Mati dalam kepuasan hidup. Mati dalam pengertian akan perjuangan hidup dan warna-warni kehidupan. Debu dan tanah gunung menjadi selimut untuk tidur panjangnya. Eidelweiss sebagai hiasan dan batu gunung sebagai batu nisannya.


Gambaran kehidupan yang akan, atau sedang, atau mungkin yang seharusnya kita alami. Tetaplah berusaha, yakin pada tujuan hidup kita. Percaya bahwa dari setiap perjuangan akan ada hasil. Sehingga kita pun dapat menghargai hidup kita, dan semakin percaya bahwa Tuhan akan selalu ada dalam hidup kita. Yang akan menghargai setiap usaha dalam hidup kita sesuai harga yang telah Dia tentukan. Sampai akhirnya kita pergi dari dunia dengan kepuasan hidup, dan yang terutama kelepasan yang sesungguhnya.


maka putusa sang hyang kalepasan..