... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Thursday, September 27, 2007

(tentang) P U A S A (lagi)

Kalau kita mau jujur, korupsi yang menggurita, penegakan hukum yang lemah, dan berbagai degradasi sikap mental dalam tubuh bangsa ini analog dengan rubuhnya moralitas bangsa. Klaim sebagai bangsa religius tampaknya hanya merupakan lips service saja. Memang praktik-praktik ritual keagamaan secara kasat mata sehari-hari dapat dilihat oleh siapa saja dan di mana saja. Apalagi di bulan Ramadan, fenomena keagamaan tersebut semakin kentara, sehingga bukan saja masjid dan musala yang ramai oleh jamaah, tetapi juga semua stasiun televisi ramai-ramai membuat program Ramadan. Para artis tiba-tiba memakai jilbab atau busana muslim, dan mereka menjadi terlihat alim.

Namun, berbagai ritual keagamaan dan aktivitas ibadah tersebut tidak secara serta merta membuat bangsa ini menjadi lebih bermoral dan beradab. Tentu saja hal ini bukan untuk menggeneralisir keadaan. Semangat menjalankan aktivitas keagamaan tidak secara signifikan memberikan kontribusi bagi menurunnya tingkat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, baik dalam aspek politik, ekonomi, hukum, maupun sosio-kultural.

Berkenaan dengan puasa, Nabi Muhammad SAW pernah memberikan peringatan, bahwa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Paling tidak ada dua proposisi yang berkenaan dengan pernyataan Nabi tersebut. Pertama, manusia dituntut untuk menggali makna perenial dari puasa, sehingga hasilnya tidak hanya lapar dan dahaga, akan tetapi benar-benar menjadikan manusia lebih berkualitas. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali membagi tingkat puasa menjadi tiga: puasa 'am, yaitu puasa yang hanya sebatas tidak minum, tidak makan dan tidak berhubungan badan; puasa khas, yaitu selain menahan ketiga perbuatan tadi ditambah dengan menahan diri dari penglihatan, pendengaran, dan perkataan yang buruk; dan yang tertinggi adalah puasa khawasul khawas, yakni selain melakukan semua hal dalam puasa am dan khas tadi, juga harus mengelola emosi dan sikap mental dari segala hal yang destruktif, seperti korupsi, iri hati, konsumtif, anarkis, dan sikap-sikap patologis lainnya.

Puasa, dengan demikian, merupakan alat uji bagi manusia untuk mengaktualisasikan kemanusiaannya. Manusia diberi intelektualitas dan kebebasan untuk memilih: apakah dia akan berbuat kemaslahatan ataukah dia akan memakan "buah terlarang". Puasalah yang kemudian akan mengarahkan manusia untuk melakukan perbuatan yang konstruktif dalam membangun peradaban. Puasa juga yang akan menjauhkan manusia dari "buah-buah terlarang" yang destruktif dan menghancurkan kemanusiaan.

Sebelum orang lain dan bangsa besar ini, semoga (minimal) diri kita sendiri dapat merasakan hikmah dari puasa kita, Amin

3 comments:

Anonymous said...

inggih ustad...bar oleh wangsit nang ndi?kh..kh..kh..buah terlarang ki opo? durian ya..buah terlarang=buah termahal khan?

Anonymous said...

Kenopo dab?awake panas piye..kok postingane koyo ngene? wakakaka

Sinopi said...

kontestan PILDACIL yah?
koq kemaren ga menang...
kurang dukungan sms kali...