... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Friday, June 8, 2007

banteng

Di Tegal, kampung halamannya, dia bernama Wagiran. Di Jakarta, terutama di kalangan teman-teman seprofesinya, sesama pak ogah, dia biasa dipanggil banteng. Konon, karena dia jagoan minum dan ngelem (nge-fly dengan cara menghirup lem macam aica aibon).
Setiap hari, pagi sampai sore atau sore sampai malam (bergiliran dengan kelompok lain), bersama lima-enam orang temannya, dia "berdinas" di salah satu putaran (u-turn) sebuah ruas di dekat Halim. Mengutip uang recehan dari mobil-mobil yang hendak memutar. Hasilnya lumayan. Kalau nasib lagi baik, sehari bisa dapat seratus ribuan. Seapes-apesnya untuk makan ala kadarnya dapatlah.

Banteng tidak pernah berpikir hari depan. Dapat uang segitu habis segitu.
Kalau bukan untuk makan, ya untuk minum. Kalau pun ada yang masih dia pikir; pekerjaan tetap. Tapi, jaman sulit begini, lagian dia SD saja tidak lulus, mana ada pekerjaan lowong yang bisa digarapnya. Dulu, awal mula dia merantau ke Jakarta pun cuma berbekal niat jadi kuli. Bahwa nasib akhirnya melemparkannya ke pak ogah, rasanya sudah "lebih baik".

Banteng adalah produk sebuah peradaban. Dan bisa jadi, sedikit banyaknya kita ikut membentuk, atau paling tidak melanggengkan, peradaban itu. Adakah cara untuk memutus mata rantai sebuah peradaban? Ah, jangan-jangan berpikir ke arah itu pun kita sudah tidak peduli.


1 comment:

putu said...

Dosen saya pernah bilang
" hal yang lebih buruk dari keadaan yang buruk adalah terbiasa dengan keadaan yang buruk"
mungkin banyak dari kita yang terbiasa dengan hal-hal seperti itu. yang pasti juga termasuk saya.