... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Saturday, March 15, 2008

Wong Cilik

Arti harfiahnya adalah orang kecil. Maksudnya ialah mereka yang kehidupan sosio ekonomis politisnya ditentukan pihak lain. Bisa juga ditafsirkan bahwa wong cilik adalah mereka yang tidak punya akses terhadap kekuasaan. Dalam dunia wayang, wong cilik adalah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, para punakawan yang setia mendampingi para satria utama dalam usaha menegakkan keadilan dan kebenaran. Kita tahu, Semar adalah dewa mangejawantah (manifestasi dewa) yang hidup di bumi. Karena itu, jika para satria bersikap sembarangan terhadap Semar, mereka bisa kualat.

Dengan kata lain, bila para satria pangembating praja (aparat pemerintah, termasuk para birokrat) mengabaikan suara wong cilik, mereka pun akan mudah tersungkur. People’s power tak bisa diremehkan. Konsep kualat dalam masyarakat Jawa bisa jadi merupakan mekanisme kontrol agar mereka yang di atas tidak begitu saja melupakan kawulo yang di bawah.

Kenyataannya, di masyarakat kita wong cilik masih diperlakukan seperti cah cilik (anak kecil) padahal mereka dudu cah cilik (bukan anak kecil). Sebagai anak kecil tahunya diam, kalau masakan siap akan di panggil, kalau malam cuci kaki terus bobo, selesai. Artinya, wong cilik sebagai cah cilik kodrat politisnya harus diam.

Memang sih ada perkembangan yang lumayan sehubungan dengan perlakuan terhadap wong cilik akhir-akhir ini. Paling tidak kelihatan mereka makin berani menuntut hak dan mengadu kepada anggota dewan atau pejabat daerah, meski kita juga tahu bahwa hasilnya masih pada taraf “kami tampung”. Dengan demikian, wong cilik adalah mereka yang bila mengadukan nasib kepada satria pangembating praja diterima baik-baik dan dijawab : aspirasi kami tampung!

Selebihnya, wong cilik adalah mereka yang jika nyolong ayam jelas ditindak tegas demi tegaknya rule of law. Bukan cuma itu, wong cilik adalah juga para penyangga tegaknya piramida kekuasaan. Sebagai penyangga, posisinya di bawah, membungkuk, dan tak jarang pula penyok.

Kadang golongan menengah berpikir dengan sikap memihak terhadap wong cilik, nasib mereka mungkin akan terangkat. Tidak heran bila kemudian si wong cilik lalu jadi “komoditas internasional” dengan merek dagang “kemiskinan” atau “peningkatan kesehatan” yang akhirnya membuat para pedagang perantara hidup makmur tak kurang suatu apa.

Begitulah, wong cilik selalu tertinggal dari zaman ke zaman. Tapi mereka tetap tabah menunggu giliran. Mungkin ini lantaran mereka kelewat percaya kepada cakra manggilingan, yang menjanjikan bahwa hidup itu bak roda berputar dan bahwa wolak-waliking jaman (perubahan tatanan zaman) akan memungkinkan mereka naik dan yang di atas bisa ke bawah. Mungkin ada benarnya. Ataukah justru konsep cakra manggilingan itu sebenarnya merupakan ideologi kaum mapan untuk meninabobokan wong cilik agar mereka sabar terus di roda bagian bawah. Ideologi penindasan.

Metafora tentang wong cilik lalu menjadi khas, berkonotasi merendahkan dan mengejek. Saya masih ingat, di Jawa wong cilik itu diejek sebagai si cebol. Jika mereka menunjukkan punya ambisi, langsung saja ditekan dengan ucapan : o, si cebol nggayuh lintang (si cebol mau memetik bintang – sama dengan pepatah Indonesia si pungguk merindukan bulan). Suatu kemustahilan. Namun, bila si cebol tadi benar-benar mampu nggayuh lintang (bisa naik tangga sosial), segera mereka akan dicemooh : kere munggah bale yang arti harfiahnya si gembel masuk balai / rumah.

Kedua peribahasa ini bisa saja merupakan sejenis self mockery (wong cilik mentertawakan dirinya sendiri), tapi bisa juga ditafsirkan bahwa keduanya merupakan cermin dari sikap tidak rela kelas elit jika wong cilik ikut-ikut menikmati kursi kekuasaan dan duduk sederajat dengan mereka.

26 comments:

Anonymous said...

iyo aku setuju "cokro manggilingan" kayaknya memang sebagai alat untuk meninabobokkan wong cilik :)

Anonymous said...

di dunia wayang, para punakawan ini malah sering diajak tukar pikiran dengan para bendoronya . Dan kayaknya di masyarakat kamu para wong cilik hanya di kuyo-kuyo

Semar ki pandawa po kurowo ?

zen said...

sak bar-e menjlentrehkan situasi wong cilik sik terus-terus ditekan, paragrafmu terakhir berbelok tajam: podo2 wong cilik kadang yo podo gampang iri. paragraf terakhirmu mak nyus tuenan.

Mr. Eagle said...

tanpa wong cilik aparat pemerintah tiada arti....

amethys said...

klo ngga ada "wong cilik" mana ada petinggi???

he he he...jangan abaikan suara wong cilik....mereka kan lugu, hanya menuntut haknya, ngga lebih.

*akuwongsemarang*

dee said...

di ktr, aku juga diperlakukn ky wong cilik... eh, cah cilik deng alias anak bawang. klo komentar, sering disangka membangkang :(

sayurs said...

#Om Pang: ketoke ngono ya Om

#regza: selalu dan selalu...
Semar ki momong Pandhawa, lha Togog sing kajibah momong Kurawa

#zen: halah mulai.. aku ga paham berbelok, menukik tajam, gurih bercita rasa, maknyus etc.. etc.. marahi isin ae ah..

#eagle: bukan cuma tiada arti, mereka bahkan diambang keruntuhan

#wieda: ngaten nggih bu, suwun..

#dee: sekalian aja tunjukin bahwa cah cilik pun bisa berbuat bahkan bila perlu beri sengatan pada mereka dengan etos dan prestasi biar pada bangun.. keep spirit sist!!

ichal said...

aku malah justru ketawa membacanya yur...!!!!

emang realita yang sering terjadi, pilihan kata yang menyentuh namun bernada kocak!!

wong cilik numpang komen!!!

Anonymous said...

hayo sekarang bangkit... wong cilik mengkudeta kekuasaan....

Dony Alfan said...

Menurut saya istilah "wong cilik" itu cuma penghalusan saja dari "orang miskin", termasuk saya di dalamnya. Di Indonesia jumlah wong cilik itu jumlahnya paling banyak, seandainya mereka mau bersatu dan bergerak, pasti para penguasa bakal ndelik.

NB: Biarpun Punakawan itu termasuk wong cilik, tapi mereka tetap dengan kekuasaan. Bagaimana dengan wong cilik di Indonesia?

Anonymous said...

knp sih wong cilik selalu ditindas gituh????*merasa jg nih*

Anonymous said...

becik ketitik....
ala ketara!

Anonymous said...

Hmm....cokro manggilingan...kosakata baru meskipun saya orang jawa haha...

Manda La Mendol said...

sampeyan iki paham bener filosofi kejawen Mas. Salut mas

Anonymous said...

Dulu waktu masih bocah saya kira Supersemar itu adalah wujud sakti dari Semar lho...

heheheh

rezkitrianto said...

Wong cilik tu hebat ya..tapi ingat yah aku wong malang

sayurs said...

#ichal: ngakak boleh.. justru kalo cemberut berarti krasa kalo pernah berbuat pada wong cilik ha..ha..

#kw: ayo thok no, segera !!

#dony: yo ngono kuwi le negoromu..

#thelo: lha iya to, piye jal?

#ndoro: becik ketitik.. ala rupamu, ups!! :D

#adis: ah masak kosakata baru to, merendah...

#menDol: ah situ bisa aja..

#dita: gitu juga boleh, beruntung situ ndak di culik gara2 pemahaman yang ngawur itu ha..ha.. (orba style)

#rezki: iyo.. iyo.. wong malang tur ora cilik (a.k.a gendut) :P

Anonymous said...

lha yen petruk dadi ratu piye?//s

adekjaya said...

wong cilik=sayur...wkakakakaka....cilikmu sepiro??

Anonymous said...

seandainya wong cilik di nusantara ini bisa bersatu ....

Red Cammerad said...

Punokawan adalah sebuah simbol rakyat. adapun pada diri masing-masing punokawan sendiri memiliki karakter yang berbeda-beda tetapi ada satu keselarasan. Itulah rakyat. Multisektor, hanya akan terjalin sesuatu kekuatan besar apabila terjadi penyatuan diantaranya.

lordzzz said...

ehm... kalo menurutku : gak perlu ada istilah wong cilik, karena cenderung membentuk mental inferior, mundhuk-mundhuk, "nggak punya sikap", dan sering juga membentuk "mental kere" mental pengemis..... okelah, mungkin kita termasuk orang yang nggak punya uang, ngga punya kekuasaan, dan ngga punya pengaruh, tapi apakah trus secara otomatis kita termasuk wong cilik? tentu tidak! istilah wong cilik menurutku lebih kepada mentalitas... bukan soal ekonomi ataupun kekuasaan.

disinilah pentingnya sebuah pendidikan, bukan semata soal sekolahan (ingat, pendidikan dan sekolahan itu berbeda). Disinilah diperlukan kemauan dan kemampuan untuk belajar, tidak harus (dan hanya) dari sekolah, tapi dari sekeliling kita, dari lingkungan kita, dari banyak hal...

kita lihat, betapa banyak masyarakat kita yang kalo ketemu orang asing begitu hormatnya, seakan-akan mereka adalah raja, padahal mereka itu siapa? bisa jadi dinegara asalnya mereka itu cuma buruh pabrik, tukang sapu, dan pekerjaan lain yang dinegara kita dianggap pekerjaan rendah (pekerjaannya "wong cilik")

begitulah.... ini cuma soal mental! jadi baiknya sebut saja kita "WARGA NEGARA INDONESIA" ajarkan pada anak kita penghargaan pada diri sendiri, jangan mau jadi "pengemis", ajarkan pada anak kita untuk menjadi "orang besar" , berjiwa besar yang tidak dapat ditindas dan diperalat

lordzzz said...

baiknya ngga usah dipake tuh istilah "wong cilik" secara psikologis cuma membentuk mental inferior, mental kere, mental pengemis, dan mental "mundhuk-mundhuk" kalo ketemu orang ("orang besar" dan/atao orang asing) jadinya pada gampang dijajah dan dibohong

pake saja istilah "WARGA NEGARA INDONESIA" ...

istilah "wong cilik" buatku lebih banyak mengandung unsur hinaan, dan jadi komoditas partai politik buat rebutan kekuasaan demi perutnya sendiri...

lordzzz said...

KENAPA SIH PADA MAU DISEBUT WONG CILIK??????

BIAR MISKIN DAN NGGAK PUNYA KEKUASAAN, JANGAN PERNAH MAU DISEBUT WONG CILIK!!!

"WONG CILIK" itu soal mental....

ISTILAH "WONG CILIK" ADALAH PEMBODOHAN DAN PENGHINAAN, SEKALIGUS ALAT PARTAI POLITIK UNTUK MENDAPAT KEKUASAAN DEMI PERUTNYA SENDIRI

lordzzz said...

Uedan! tak kira gagal semua (conection error) ternyata masuk semua, waduh maaf ga sengaja...

Anonymous said...

wong cilik hanya di jadikan sebagai ,,, alat untuk sesuatu kepentingan ,,,woong gede ,,,.