Mbesuk yen ono rusaking projo nadyan kari sak eyubing payung jajal isih katon projo podho gondhelono
Semalam aku melewatkan malam mingguku dengan menghadiri (halah) sebuah pembukaan pameran lukisan di Joglo Taman Sriwedari Solo. Pameran lukisan dengan tema "Mulat Sariro" Sebuah potret fenomena ajaran budi luhur dalam paradigma seni. Menampilkan karya pelukis Basuki Bawono, pelukis yang salah satu karyanya tak habis-habisnya mensugesti siapapun yang melihatnya di Samudra Beach Hotel Pelabuhan Ratu, Nyai Roro Kidul (1996). Karya lukisnya disamping mengangkat sosok manusia, terutama para tokoh, juga sesuatu yang memiliki nilai sejarah dan mitologi sehingga beberapa karyanya bahkan dianggap bersifat supranatural oleh banyak pihak.
Pameran kali ini memajang beberapa lukisan potret raja-raja Jawa dengan gaya naturalis impress, mengingatkan kita tentang ajaran budaya yang mereka (para raja) bangun sebagai ajaran kautaman kepada masyarakat tentang tata laku hidup dan kehidupan. Renungan budi luhur yang menjadi dasar dan sarana untuk mencapai kasampurnaning urip (kesempurnaan sejati).
DR Dharsono, MSn., dosen seni rupa ISI Surakarta, pada sambutan pengantar pameran ini mengingatkankan, renungan ajaran budaya Jawa tentang sikap dan tata laku hidup sebagai kesatria utama yaitu renungan tentang bagaimana seseorang harus mempertahankan hidup dan kehidupannya (hak dan kewajibannya) sebagai manusia. Renungan tentang tata laku susila (etika) bukan merupakan refleksi teoritis belaka, melainkan merupakan kelakuan baik sebagai sarana mencapai kesempurnaan, menjalankan "dharma ksatria", kewajiban seorang kesatria, bilamana kewajiban ini senantiasa dilakukan dengan baik "maka putusa sang hyang kalepasan", dia akan mencapai kamuksan atau kebebasan (liberation).
Pandangan orang Jawa dalam melihat, memahami, berperilaku selalu berorientasi terhadap budaya sumber. Proses budaya Jawa selaras dengan dinamika masyarakat yang mengacu pada budaya induk, "sangkan paraning dumadi". Kelahiran dan keberadaan karena adanya hubungan manusia dengan Tuhannya melalui proses kelahiran, hidup dan mendapatkan kehidupan, yang semuanya terjadi oleh adanya sebab dan akibat. Konsep tersebut dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah nunggak semi.
gambar : Sultan Agung Hanyakrakusuma, Basuki Bawono, oil on canvas, 2007

DR Dharsono, MSn., dosen seni rupa ISI Surakarta, pada sambutan pengantar pameran ini mengingatkankan, renungan ajaran budaya Jawa tentang sikap dan tata laku hidup sebagai kesatria utama yaitu renungan tentang bagaimana seseorang harus mempertahankan hidup dan kehidupannya (hak dan kewajibannya) sebagai manusia. Renungan tentang tata laku susila (etika) bukan merupakan refleksi teoritis belaka, melainkan merupakan kelakuan baik sebagai sarana mencapai kesempurnaan, menjalankan "dharma ksatria", kewajiban seorang kesatria, bilamana kewajiban ini senantiasa dilakukan dengan baik "maka putusa sang hyang kalepasan", dia akan mencapai kamuksan atau kebebasan (liberation).
Pandangan orang Jawa dalam melihat, memahami, berperilaku selalu berorientasi terhadap budaya sumber. Proses budaya Jawa selaras dengan dinamika masyarakat yang mengacu pada budaya induk, "sangkan paraning dumadi". Kelahiran dan keberadaan karena adanya hubungan manusia dengan Tuhannya melalui proses kelahiran, hidup dan mendapatkan kehidupan, yang semuanya terjadi oleh adanya sebab dan akibat. Konsep tersebut dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah nunggak semi.
gambar : Sultan Agung Hanyakrakusuma, Basuki Bawono, oil on canvas, 2007