... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Tuesday, February 17, 2009

Pulpen imitasi

Di sebuah wedangan di pinggiran Solo, beberapa malam lalu aku nongkrong bersama seorang lelaki yang sudah cukup umur. Kami duduk berhadap-hadapan. Kadang asap rokok dari mulut kami menjadi tabir kelabu yang membatasi pandangan kami masing-masing. Sudah beberapa waktu kami hanya diam membisu menikmati khayalan kami masing-masing yang keluar berdesakan seperti asap rokok. Aku bukan seorang yang pandai menduga isi hati seseorang dari ekspresi wajah. Maka saat itu aku juga tidak bisa menangkap gejolak apa yang ada dalam hati bapak yang duduk di depanku.

Lalu bapak itu bercerita tentang sebuah pengalaman hidupnya yang menurut dia sangat menyebalkan. Dia baru saja diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai pemimpin sebuah yayasan. Enam tahun yang lalu bapak ini dipercaya oleh pengurus yayasan untuk mengelola yayasan yang sudah akut. Pada awalnya bapak ini sudah ingin mundur, sebab melihat situasi yayasan yang sekarat. Ketika dia melaporkan hal itu pada pengurus yayasan, pemimpin yayasan mengatakan bahwa jika bapak tidak sanggup, maka bubarkan saja yayasan itu. Bapak ini tidak setuju dengan cara yang mau melepas tanggung jawab itu, sebab karyawan yayasan cukup banyak. Lalu mereka harus bekerja apa? Sudah bertahun-tahun mereka menggantungkan hidupnya di yayasan ini. Tapi pemimpin yayasan tidak memberikan jalan keluar. Dia sudah memasrahkan pada bapak ini. Mau dilanjutkan atau dibubarkan, terserah kebijaksanaannya.

Beliau pun memulai sebuah perjuangan panjang dan berat. Yayasan yang sudah sekarat itu dibenahi sedikit demi sedikit. Semua karyawan diajak bicara untuk bersama-sama memikirkan tempat hidup mereka. Persaudaraan antar karyawan ditumbuhkan, semula banyak karyawan saling mencurigai satu dengan yang lain. Rasa pemilikan yayasan ditumbuhkan. Mereka bukan karyawan tapi pemilik yayasan ini. Kesejahteraan karyawan ditingkatkan, meski hal ini ditentang oleh pengurus yayasan, sebab yayasan bisa bangkrut. Tapi bapak ini berpikir yayasan itu toh sudah sekarat, maka sebelum mati harus memberikan yang terbaik untuk semua karyawan yang selama ini telah mengabdikan dirinya pada yayasan.

Ternyata langkah ini membuat yayasan tidak mati, sebaliknya mulai berkembang dalam soal dana dan karya. Yayasan mulai bergerak kembali. Tapi tiba-tiba suatu hari bapak ini diberhentikan begitu saja. Dia sebetulnya tidak marah akan hal itu, sebab memang dia hanya seorang pekerja. Dalam acara serah terima dia mendapatkan hadiah dari pemimpin yayasan. Ketika dibuka ternyata hadiahnya sebuah pulpen dengan merk ternama yang sayangnya cuma imitasi.

Awalnya aku tidak percaya dengan cerita bapak itu. Tapi ketika kulihat pulpen itu dan bungkusnya, aku baru percaya bahwa ini barang palsu. Perjuangan berat selama enam tahun ternyata hanya mendapatkan kenang-kenangan pulpen imitasi. Inilah yang membuat bapak itu sedih. Apakah orang tidak bisa menghargai pekerjaan orang lain? Pulpen itu masih tergeletak di meja depan kami. Aku berusaha memahami perasaannya. Seandainya aku jadi dia apakah aku tidak akan kecewa? Aku bayangkan pasti aku juga kecewa. Perjuangan berat hanya dihargai sebuah barang sepele. Memang kadang ada juga orang idealis yang mengatakan bahwa pekerjaan adalah suatu pelayanan, apalagi di sebuah yayasan sosial. Ini adalah pelayanan murni. Maka jangan terlalu berharap akan keuntungan materi. Namun apakah orang itu jika mendapat perlakuan seperti bapak ini masih berani mengajukan teorinya?

Kami masih duduk berhadapan sambil merokok. Tiba-tiba bapak itu tersenyum yang tidak bisa aku duga apa maksudnya. "Kenapa saya harus kecewa?" tanya bapak itu seolah pada diri sendiri. "Masih lumayan saya mendapatkan pulpen murahan, banyak tokoh dan pemimpin besar yang justru mendapatkan siksaan dan pengucilan di akhir masa bakti bukan lantaran kesalahan masa lalunya tapi disebabkan rasa iri dan sakit hati musuh-musuhnya," lanjutnya. Aku hanya membisu mendengar semua itu. Aku berusaha menangkap apakah itu suatu ketulusan atau suatu ungkapan kefrustasian. Aku tidak tahu.

Lelaki tua itu berdiri dan pamit untuk pulang duluan. Aku hanya termangu menatap gelasku yang tinggal sedikit isinya. Kejadian yang dialami bapak itu bukanlah satu-satunya yang terjadi di dunia. Masih banyak orang yang mengalami pengalaman tragis macam itu. Orang yang dicampakkan begitu saja oleh orang-orang yang lebih berkuasa. Orang-orang yang tidak dihargai atas apa yang telah dikerjakannya. Orang-orang yang menyerahkan hidupnya untuk suatu karya dan pada akhirnya dibuang begitu saja seolah-olah dia tidak pernah berjasa sama sekali. Orang-orang yang dikecilkan prestasinya, meski dia sudah mencurahkan segenap kemampuannya demi keberhasilan pekerjaan yang dibebankan padanya.

Adakah aku lebih baik daripada pemimpin yayasan itu? Aku memang belum pernah memimpin suatu yayasan. Belum pernah menjadi pejabat. Aku hanya orang biasa saja dan pekerja, rendah pula. Tapi apakah aku tidak pernah melakukan seperti yang dilakukan pemimpin yayasan itu? Apakah aku senantiasa bisa menghargai jasa orang lain? Aku tersenyum kecut. Aku tidak lebih baik dari dia. Sering kali aku melihat orang melakukan pekerjaan untukku dan kuanggap bahwa itu memang harus dia lakukan. Itu adalah kewajibannya. Itu adalah tugasnya, maka tidak ada yang istimewa. Kalau tukang parkir mengeluarkan sepeda motorku dari padatnya parkiran aku anggap itu adalah tugasnya, kewajibannya sebagai tukang parkir dan saya membayar salah satunya untuk kemudahan itu. Padahal dia bekerja keras untuk merapikan deretan sepeda motor serta menjaga motorku agar tidak tersenggol motor lain saat mengeluarkannya dari deretan itu.

Dalam hidupku tidak sedikit orang yang rela mengurbankan dirinya untukku. Aku ingat para guruku sejak TK sampai pendidikan terakhir. Tapi begitu aku keluar dari tempat pendidikan aku hanya sedikit ingat akan mereka. Pemimpin yayasan masih memberikan pulpen murahan sedang aku tidak pernah memberikan sesuatu untuk guru-guruku. Belum lagi pada orang-orang lain. Memang banyak orang dengan mudah melupakan arti sebuah pengorbanan dari sesama. Pengorbanan itu akan mudah sekali ditutup dengan kata pelayanan. Bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah pelayanan, artinya jangan mengharapkan apa-apa dari yang sudah dilakukan. Apakah pelayanan tidak perlu dihargai? Mengapa orang bersembunyi dibalik kata-kata itu?

Malam semakin larut, teh kampul-ku sudah tandas dan mata ini pun seakan-akan ikutan meminta istirahat. Kususuri jalan pulang dengan berbagai pertanyaan yang justru mengadili diri ini. Ah......

23 comments:

Dony Alfan said...

Mungkin sebenarnya hidup ini juga imitasi, makanya tak kekal abadi :D

Anonymous said...

Satu lagi pembelajaran soal menghargai orang lain dari mbah Sayur...

Saya juga sulit mnebak isi hati sampeyan dari raut wajah, wong wajah sampeyan aja abstrak gitu...hahahaha

Teh kampul saya juga tinggal menyisakan endapan gula dan potongan jerus nipis, "mas jok meneh...!!!"

Tekan endi mau??

Anonymous said...

wah...suatu pembelajaran buat kita ya bang sayur..

Anonymous said...

Ck..ck..ck, edian tenan! "Kok tega-tegane ya?!"

Anonymous said...

ahhhh...sudahlah

Anonymous said...

wah ko belum di update pak??

Anonymous said...

Jaman semakin maju, semakin penuh pula dengan kepalsuan. Apalagi pada masa2 kampanye pemilu sekarang ini. Selayaknya bapak itu memperoleh penghargan yang lebih atas jasa2 menghidupkan kembali yayasan yang sekarat.

Anonymous said...

wih, kok begitu yo..
saya jadi sedih je bacanya.
moga masih ada orang yang baik diluar sana.
kalo ndak ada ya tak papa deh, di dalam saja

Anonymous said...

habis manis...sepah ya dibuang...hm...

laili_plkb said...

Beberapa tahun lalu, pernah para guru protes dengan lagu Hymne Guru. Tidak rela jika disebut pahlawan tanpa tanda jasa.
Owner sekolah pasti giat mendengungkan pengabdian iklas dengan iming-iming syurga di akhirat. Padahal siapa juga bisa jamin itu terjadi he he. Apes khan kalo dunia ndak akhirat juga jauh.
Hey Man kalo aku setuju syurga di dunia dan di akhirat donk.

Anonymous said...

sedih ya kalo hasil kerja gak dihargai :)
mudah2an hal ini gak terjadi pada kita2

sayurs said...

#dony: gitu ya le?..

#tukang panJoel: tekan palur..

#cutie: kira2 begitu jeng..

#dwi: lha iya to.. pimen jal?

#regso: ngorok maneh..

#cutie (lagi) : belum bu, maaf..

#mufti: negri yang hebat kan kang ?

#senja: semoga..

#afie: hal yang menjadi salah kaprah di kebanyakan tempat negri ini..

#flower: manut ae wis lah.. :D

#onga fetro: begitulah onga... gimana coba ..

Anonymous said...

mestinya, hargai orang lain sebagai insan, bukan karena perkara kebergunaan saja. lah tapi jaman saiki sopo sing ora opportunis jal...? sedih aku (halah)

Anonymous said...

ceritane iki rodo abot... mesti dengan penghayatan... sik..sik kang.... (waduh....melase bapak kuwi..)...

Anonymous said...

Berarti hanya segitu kemampuan ketua yayasan untuk memberi hadiah....!!! :)

Anonymous said...

yah masih untung mendapatkan penghargaan walau imitasi, lainnya malah mendapatkan santet :D

Anonymous said...

Pembelajaran yang sangat bagus suat kita semua

Anonymous said...

kecewa jelaslah, jasa bliau yang beberapa tahun cuman dihargai dengan pulpen imitasi *sigh*

btw pa kabar pak, lama tak bersua :)

`.¨☆¨geLLy¨☆¨.´ said...

terakir,, numpang ngiyup ,, -_-'

mew da vinci said...

mungkin memang cuma pulpen itu barang terbaik yang bisa dikasih dari yayasan buat bapak tadi, saat ini.. :)

Anonymous said...

ya terkadang hidup ini bagai imitasi juga kang. Mau yang enggak imitasi? ikuti Image Header Competition di http://liliks.wordpress.com

SatoNa said...

bagus banget ceritanya kk..
dalem banget artinya.. hehe..

emank naaz.. banyak banget orang yang egois di dunia ini.. dan banyak juga yang licik.. sayang juga yah kepinterannya itu dipake hanya untuk berbuat licik.. padahal mungkin dia bisa jadi orang pinter yang terkenal.. hehe..

almascatie said...

aku ga tau mo comment apa.. *berpikir tentang isi kepala itu bapak*