... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Sunday, February 17, 2008

Gunung Raung (2)

Mengintip kaldera terbesar di Jawa


Hari keempat,

Berisik kicau burung-burung kecil membangunkan kami. Dengan malas kami keluar dari kantong tidur sembari mengucek-ngucek mata. Tapi karena target puncak dipatok untuk hari ini, maka kami pun harus segera bersiap-siap. Dua orang menyiapkan sarapan, yang lainnya membongkar tenda serta membereskan perlengkapan. Sarapan kali ini berwujud sereal hangat plus beberapa potong roti basah. Jam setengah delapan kami berangkat menuju puncak. Jalur pendakian dinaungi cemara-cemara besar dan beberapa pohon tua. Tak berapa lama semak dan lagi-lagi tumbangan pohon-pohon lapuk menghadang di depan. Kembali layaknya serdadu kami pun menerobosnya dengan merayap sambil menarik carrier-carrier kami. Seorang teman bahkan sempat-sempatnya memberi coretan-coretan pada wajahnya dengan tanah, kamuflase katanya. Yang lain pun segera mengikuti tingkahnya ha..ha.. seru !! Sambil sesekali tengok kanan kiri kami pun melanjutkan pergerakan. Bicara hanya sesekali, itu pun dengan berbisik. Leader memberi isyarat dengan tunjuk-tunjuk tangan seolah-olah bilang “kamu perhatikan kanan, kamu fokus ke depan, hei kamu waspada belakang” Ha..ha..

Jam Sembilan lewat sedikit, kami sampai pada Pondok Mayit (serem banget namanya). Sebuah shelter berupa tanah agak datar yang luasnya cuma kira-kira muat untuk dua tenda dome. Istirahat sebentar menuangkan beberapa teguk air ke kerongkongan, lalu perjalanan pun dilanjutkan. Semak ruwet mulai berkurang berganti rumput semacam alang-alang setinggi badan di kanan-kiri jalur. Satu setengah jam kemudian kami tiba di shelter berikutnya yang dinamai Pondok Demit (makin serem aja) ±2740 mdpl. Medan mulai berbatu dan licin, tambah lagi kabut tebal menyelimuti kami. Pergerakan pun jauh melambat karena jarak pandang hanya sekitar dua meteran. Beberapa saat kemudian kabut mulai beranjak menyingkir. Dan kami dihadapkan pada jalur yang semakin sempit (setapak kaki saja) plus kanan kiri jurang puluhan meter. Hufffhh.. Menjelang puncak jalur yang masih sempit makin menanjak terjal sehingga perlu ekstra hati-hati, bila perlu merangkak untuk melewatinya.

Akhirnya puncak Raung (±3330 mdpl) kami tapaki jam setengah dua belas kurang sedikit. Wow.. amazing !! Puncak Gunung Raung berupa lingkaran kaldera kering seluas hampir satu kilometer persegi dengan kedalaman mendekati seratus meter dari bibir yang kami pijak. Ditengah dataran dalamnya terdapat lubang kawah yang mengeluarkan asap membubung. Raung yang dalam bahasa Madura berarti ‘ramai’ memang benar-benar nyata. Suara gemuruh keluar dari lubang kawahnya. Cuaca yang cerah bahkan cenderung terik membuat kami leluasa memandang sekeliling. Diatas awan… Setelah beberapa kali jeprat-jepret merekam gambar sang kaldera, kami pun bersiap turun. Perjalanan turun agak cepat karena beban sudah berkurang dan semangat yang kembali naik karena kepuasan dalam dada ini merayap ke sel-sel otak dan seluruh tubuh. Satu jam berikutnya kami sudah sampai di Pondok Mayit. Istirahat sebentar untuk makan siang. Perjalanan berikutnya agak dipercepat karena langit sudah dihiasi awan tebal yang siap mencurahkan air hujan lagi. Gerimis mulai turun saat kami tiba kembali di Pondok Motor tepat di garis senja. Malamnya tidak banyak aktifitas yang kami lakukan karena kelelahan melanda badan ini.

Hari kelima,

Sang surya mulai membagi kehangatannya saat kami meninggalkan Pondok Motor, turun menuju pemukiman penduduk terakhir (Sumber Legan, dipinggiran kebun kopi yang kemarin kami lewati) untuk melengkapi beberapa data pendukung yang kami perlukan. Tentu saja sambil bermaksud berhaha hihi dengan penduduk setempat, tapi ternyata dikampung tersebut penduduknya berbahasa Madura. Sedikit sekali yang mengerti bahasa nasional dan celakanya kamipun ga paham blas bahasa Madura. Walhasil, senyum dan tawa yang berderai mendominasi suasana meski kami sendiri ragu apakah yang kita candakan nyambung. Ha..ha.. Lepas tengah hari kami pun pamitan untuk melanjutkan perjalanan menuju Sumber Wringin. Laporan lagi pada petugas kemarin, seterusnya kembali berangkot lagi menuju Jember. Tiba di MAHAPENA menjelang magrib. Si Adek belum juga ada di situ. Hmm..

Hari keenam,

Pagi, gerimis turun membasahi kota Jember. Pamitan (disertai berfoto-foto narsis) dengan temen-temen MHPN sesaat, lalu kami menuju Stasiun Jember untuk menjumpai si hitam yang siap mengangkut kami pulang kembali ke Solo. Malam mulai menggilas sang senja ketika kami tiba di Stasiun Purwosari Solo dengan tubuh lungset nan dekil. Namun sekian banyak memori dan kisah menyelimuti jiwa ini..

9 comments:

Rey said...

tubuh lungset nan dekil?? yo jelas... wong dirimu 5 hari ndak mandi gitu lho...
Btw bawa perbekalannya banyak amat... kalo mo ke"belakang" gimana?? emang ada kali??

Anonymous said...

kamu layak dapat bintang !!!

sayurs said...

#rey: kali ? ndeso men nduk, toilet pertabel dong :P

#regso: ga cuma bintang, burung-burung kecil juga ikut berhamburan di sekeliling kepala ini, emange jebleske tembok po..

amethys said...

wuihhhh pantessss ndak pernah berkelebat malam2...wong lagi munggah gunung.....entuk wangsit rak le?

Anonymous said...

Hallo

Abis Raung mana lagi nih...
Kok ga sekalian rolling ke Argopuro?
Salam deh sama penunggu Taman Hidup...

Anonymous said...

ah.. jadi pengen naik gunung lagi.
Tahun 2005, puncak lawu jadi pendakian terakhir.

Anonymous said...

raung tunggu saya Mei 2009 akan datang yea = )

zain_corporation said...

wah klo mau ke raung ya aq mbok diajak to mas2 pengen bgt ksana nih!!trkhir kmrin naek ke lawu tgl 1 feb 09.

Lila Soe | @djombie said...

raung here ai come... rencana agustus ini mau kesana sebelum bulan puasa....