... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Thursday, January 30, 2014

Mendung sore

Langit sore itu tertutup mendung. Dia memandangi tirai gerimis yang mulai jatuh. Ada sesuatu yang lelap dalam kemurungan hidupnya. Ada rasa hampa di dalam dadanya. Kepahitan. Ketidak-pahaman. Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Dengan raga terbui, dia biarkan pikirannya melayang lepas. Melesat jauh. Dari masa lalunya yang kelam ke masa depannya yang muram. Tidak! Tidak satupun, baik kekuasaan karena materi maupun kekuatan fisik, yang mampu membelenggu pikirannya. Dengan segudang sesal, segudang harapan yang kandas serta segudang rasa perih di hati dia menatap nanar jauh ke luar. Ke tirai gerimis yang sedang memeluk bumi.

Berdosakah dia? Tidakkah suatu kesalahan sering terjadi justru karena ketidakmampuan seseorang untuk menolak kondisi pahit yang mengungkungnya? Dan bukankah kondisi itu justru sering kitalah yang menciptakannya? Dengan sedih kutatap matanya yang hampa. Segala kenangan indah bersamanya dulu, baik atau buruk, kini tersisa samar-samar bagai selaput tipis dalam waktu. Dia telah berupaya untuk melepaskan diri dari narkoba yang telah meracuni tubuhnya. Tetapi berkali-kali pula dia gagal. Lamat-lamat kukenang kata-katanya dulu, “Aku hanya mencari cinta, bro, hanya cinta…” 

Ah, Cinta. Salahkah dia bila ternyata kita, sebagai masyarakat yang melingkunginya, gagal memberinya cinta? Salahkah dia bila kemudian dia merasa menemukan cinta bersama narkobanya? Salahkah dia? Bukankah luka-luka yang kini ditanggungnya adalah luka-luka kita pula? Jadi sanggupkah kita menghakiminya? Betapa sering kita hanya mempersalahkan tanpa merasa perlu untuk bertanya mengapa. Betapa sering kita hanya mendakwa tanpa merasa perlu untuk mencari tahu sebabnya. Kita malas dan enggan untuk menghadapi dan menerima akar permasalahan yang sesungguhnya. Kita mencari gampangnya saja. Dengan mempersalahkan kita pun dapat cuci tangan dan berguman “itu salahnya sendiri, bukan salah kami.” Dengan mudah kita sembunyikan keengganan kita dibalik kata-kata gegap gempita, Lawan Narkoba!

“Aku hanya mencari cinta,” katanya. Dan kita ternyata gagal memberikannya. Ya, kita seringkali gagal memberikan cinta, baik kepada keluarga maupun sesama kita yang sedang berada dalam kesulitan. Kita meninggalkan orang-orang yang kesepian. Dan kita membiarkan keterasingan dari dunia sekeliling menutup jalan ke dalam hati kita. Kita bahkan membiarkan hati kita yang dipenuhi dengan rasa cinta tenggelam hanya dalam rindu tanpa berbuat apa-apa. Mungkin karena kita terlalu terlena dengan kepentingan diri kita sendiri. Mungkin karena kita lupa akan derita orang lain saat kita sendiri mengalami penderitaan. Pada akhirnya, kita semua kehilangan cinta. “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” kata pengkhotbah. Masih ingatkah kita? 

Aku melangkah sendirian di lorong panti rehabilitasi ini. Suara kakiku bergema di ruang kosong, memantul dari tembok ke tembok. Dari wajah hampa satu ke wajah hampa lainnya. Dari kamar-kamar yang bisu dan tubuh-tubuh yang layu ke jiwa-jiwa yang merana. Hanya ada suara gerimis memecah sepi. Suara gerimis dari cinta yang telah terlupakan. Langit masih pekat.

4 comments:

Anonymous said...

Love this :)
Seringnya kita hanya menyalahkan tanpa berbenah diri, manusia macam apa kita ini?

duniaely said...

paragraf ke 3 itu memang byk ditemuidi Dunia nyata ya mas ?

btw, apa kabar ? lama tak bersua kata ya ? :)

Obat Kulit Belang said...

kunjungan perdana nih, ijin nyimak saja kawan :)

sayurs said...

#anon: begitulah..macam manusia kebanyakan hehe..
#ely: buanyak, dan mungkin sudah dianggap kelaziman yang wajar hedew..
kabar oke, critanya lagi pengen ke rumah lama hehe..
#OKB: terima kasih, kawan :)