... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Friday, January 17, 2014

Masih Lamakah Malam Ini ?

Siapa yang menyangka dapat memastikan masa depan, bertanyalah pada musim. Saat langit malam menghitam pekat, kita tahu bahwa hujan akan turun. Dan jika  melihat gerimis tiba setelah hujan lebat berkepanjangan, kita tahu bahwa sebentar lagi langit akan cerah. Musim terus berganti, cuaca terus berubah. Tidak ada yang baru di muka bumi ini kata pengkhotbah. Tetapi mengapa kita terus mencari jawaban atas hal-hal yang semestinya kita telah kenali? Pagi akan datang. Tetapi malam juga.

Ada seorang bapak tua yang pernah saya kenal. Kami sering duduk berdua, bermain catur sambil dia bertutur tentang masa mudanya. Banyak hal yang telah dialaminya. Pada akhirnya toh, sampailah dia di masa kini. Kami berdua duduk bermain catur. Di bawah pohon jambu depan rumahnya yang sederhana. Dia, seorang purnawirawan yang telah banyak mengalami banyak kejadian pahit dalam hidupnya, kini bersama-sama denganku bertutur tentang apa saja sambil menertawai hidup. Pantaskah kita menangisi masa lalu ? Tanyanya kepadaku. Apa yang sudah terjadi biarlah lewat.

Catatan ini kutulis untuk mengenang dia yang kini telah kembali keharibaan-Nya beberapa waktu lalu. Suatu sejarah hidup adalah waktu yang lewat melintas. Dan jumlahnya sebanyak jiwa-jiwa yang dulu pernah, sekarang masih dan akan lahir ke dunia ini. Tiap insan memiliki cita rasa dan pemikiran sendiri dalam menghadapi waktunya. Ada yang lemah hati, mudah terguncang dan tergoda untuk pasrah dan menyerah pada keadaan. Ada pula yang tegar, kokoh dan terkesan keras dalam menghadapi keadaannya. Tetapi banyak juga yang berada pada batas dua sisi tersebut. Hidup toh tidak semata hitam putih. Sebagian besar kita berada dalam lingkungan kelabu yang tak nyata. Maka untuk apakah kita harus ngotot, berjuang mempertahankan ambisi dan pandangan kita jika toh kita tahu bahwa pada akhirnya kita hanya debu. Pada akhirnya kita cuma debu belaka.

Maka jika saat ini kita merasa bahwa malam amatlah panjang, sesungguhnya dia tetap hanya dua belas jam saja. Dan jika sebagian dari kita, merasa bahwa pagi juga tetap gelap, cahaya pagi pasti akan terbit juga. Tidak peduli bagaimana cara kita menghayatinya. Apakah akan kita sia-siakan cahaya itu? Ingatlah bahwa Tuhan menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Dia tidak pilih kasih. Mengapakah kita harus memilah-milah hidup ini? Merasa lebih besarkah kita dari Gusti kita? Jika demikian, seberapa berhargakah kita nilai hidup ini? Pada akhirnya toh, kita akan menyerah lalu kembali menjadi debu.

Demikianlah, hidup berputar terus. Tidak ada yang baru di bawah muka bumi. Segala sesuatu adalah sia-sia belaka. Demikianlah kata pengkhotbah. Muramkah itu? Tidak! Pada akhirnya kita akan menuju kepada Dia juga. Karena itu, hidup menjadi berharga bukan karena kita memasrahkan diri pada keadaan tetapi karena kita melakukan apa-apa yang diinginkan-Nya. Mungkin kita dapat memperkirakan apa yang akan terjadi di masa depan. Tetapi apa gunanya jika kita tidak berbuat sesuatu demi menggenapkan kasih-Nya di dunia ini? Pagi akan datang. Tetapi malam juga. Itulah kesadaran yang alami untuk menghadapi kesusahan di hati kita semua.

Bapak tua itu kini telah pergi. Sepanjang hidupnya dia telah berjuang untuk hidup demi memegang prinsipnya. Dia tersisih dari pangkat dan kedudukan yang lebih tinggi hanya karena dia berbeda dengan kebanyakan teman se angkatannya. Dia gagal untuk mencapai posisi tinggi hanya karena membela kebenaran yang diyakininya. Tetapi dia tidak menyesal. Dia tidak mengeluh. Dia sadar bahwa itulah resiko yang telah diramalkannya sebelumnya. Pagi akan datang. Tetapi malam juga. Maka pantaskah kita ragu pada masa depan?

2 comments:

fiz-online said...

Perpanjangan kontrak neng kene critane? Salam kenal :v

sayurs said...

#fiz: wkwkwkwkw... pas bolong wae..
tukeran link yuk :mrenges: