
Petruk dan Gareng yang lagi klayaban di bukit itu, tidak sengaja masuk ke dalam gua dan melihat sesuatu yang asing. Mereka pun mencoba-coba mengenakan busana yang tergeletak di sana. Mereka beralih rupa, Petruk jadi Batara Guru, Gareng jadi Batara Narada. Mereka melayang-layang tapi tak dapat terbang. Kebetulan datang Batara Indra dan Kamajaya. Lalu kedua dewa ini menggendong Batara Guru dan Batara Narada palsu ke kayangan.
Betapa kaget Petruk, di kayangan ia disambut bagai raja dewa. Maka ia memerintah dengan caranya sendiri. Para dewa diajak minum arak, gamelan Lokananta ditabuh mengiringi tayuban. Para bidadari dijadikan ledhek. Batara Kala jadi pengendang. Dan Batara Yamadipati kebagian jadi pengegong. Kayangan larut dalam pesta.
Masalahnya, para dewa dan dewi pun suka dengan acara demikian. Mereka semakin terbenam dalam tayub dan lupa sama sekali menjalankan tugasnya. Saking asyiknya mengegong, Yamadipati lupa mencabut nyawa. Dan karena asyik mengendang, Batara Kala lupa membuka catatan mautnya, kapan waktu seseorang berakhir di dunia. Petruk semakin lupa karena kuasa. Ia minum arak dan memangku wanita, sambil menyaksikan dewi-dewi yang telah menjadi ledhek.
Waktu berselang, Batara Guru bertobat dari perselingkuhannya dan berhasil kembali ke kayangan, ia meminta dewa-dewa menghentikan kegilaannya. Dewa-dewa keberatan, lebih-lebih Yamadipati dan Kala. Ternyata mereka lebih suka tayuban seperti manusia daripada menjadi dewa seperti dulu. Jadi manusia memang lebih enak daripada jadi dewa.
Asyik dan berpuas dalam berminum, araknya tumpah lalu menetes ke dunia. Tumpahan atau tetesan arak dari mulut “mulia” dewa kayangan ini menetes jatuh ke dunia, mengenai manusia-manusia penghuninya. Tetesan arak dewa yang sedang lupa diri itu menjadikan manusia terjerumus ke dalam tindak mo limo. Di surga atas para dewa lali (lupa) akan kedewaannya, di dunia manusia madon (main wanita), curi-mencuri, mabuk minuman keras dan oplosan arak, main judi sampai lupa diri bahkan melakukan pembunuhan.
Kebobrokan moral di dunia secara metafisis tidak terjadi karena manusianya, tapi karena tetesan dosa dari “yang di atas”. Bila “yang di bawah” rusak, jangan mencari kesalahan dalam “yang di bawah” sendiri, tapi kemungkinan besar kesalahan itu datangnya dari “yang di atas”. Yang di atas itu bukan surga atau kayangan dewa, tetapi siapa saja yang berada “mengatasi” mereka yang ada di bawah, rakyat miskin ini. Dalam istilah Sindhunata, surga atau kayangan di sini bukanlah tempat atau lokasi, tapi keabadian metafisis yang meniscayakan, bahwa jika terjadi kejelekan “di bawah”, itu semata-mata hanya disebabkan karena “di atas” sudah terjadi kejelekan lebih dulu.
Bila rakyat mabuk oplosan miras dicampur abu rokok dan penthol korek, ya, karena atasannya menghamburkan uang di klub malam minum whisky, kalau ada pasangan rakyat lelaki dan wanita diarak bugil karena ketahuan berselingkuh, ya, karena atasannya diam-diam dan rapi menyembunyikan perselingkuhannya. Kalau ada rakyat bonyok digebuki karena ketahuan nyolong, ya, karena atasannya seenak perutnya berkorupsi, jika ada rakyat klenger karena pil koplo, ya, karena sang atasan mau merusak bangsa dengan politik dagang narkoba. Ada pula tukang becak ngramal togel, main ceki, ya, karena atasannya lupa diri dalam berjudi.
Suatu hubungan keniscayaan metafisis, bukan sekedar hubungan sebab akibat moral. Maka jika mau meniadakan pil koplo, jangan menangkapi rakyat yang teler karena ngepil, tapi hancurkan jaringan narkoba penjahat elite. Kalau mau memberantas maling, jangan menggebuki rakyat yang ketahuan nyolong ayam, tapi penjarakan mereka yang korupsi miliaran. Mengobati perselingkuhan bukan dengan mengarak rakyat bugil, tapi telanjangi kemunafikan mereka yang di atas. Dan kalau ingin melarang tukang becak menghabiskan waktunya dengan main ceki, tangkaplah mereka yang telah menjudikan negara ini bersama para konglomerat.
Kenyataannya, karena Petruk, para dewa lebih senang menjadi manusia, Yamadipati lebih suka menjadi pengegong daripada menjadi pencabut nyawa. Dan Batara Kala lebih enjoy menjadi pengendang daripada berpusing dengan waktu dan maut. Para bidadari lebih suka ngledek, ngibing dari pada jadi dewi alusan, bosan karena hidup dalam kepatuhan mengikuti ritme hukum gambyong dan srimpi.
Sansoyo ndalu araras abyor lintang kumedhap, o..o…o…