... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Friday, May 23, 2008

G o r o - g o r o

Pada pagelaran wayang, ada scene yang namanya goro-goro yang menampilkan punakawan sebagai selingan di tengah malam. Jika babak itu tidak ada, pertunjukan kira-kira hanya akan berisi sidang-sidang resmi para raja dengan segenap kadang sentana kraton, perundingan bilateral penyelesaian konflik-konflik, menentukan batas wilayah negara, pembunuhan, latihan kemiliteran, perang, intrik dan usaha saling memusnahkan demi memuaskan ambisi politik masing-masing pihak yang terlibat.


Alangkah mengerikan. Betapa ganjil kehidupan dalam dunia semacam itu. Rasanya tak seorang pun yang memimpikan terciptanya tatanan hidup seperti itu. Perang, tindak kekerasan dan pengerahan personil militer untuk saling membunuh, yang bisa terjadi di zaman mana pun juga, selalu mengundang ketakutan dan kengerian. Tentara pun kalau kelewat sering perang, mungkin juga akan bosan.


Apa yang akan terjadi jika dunia menolak kehadiran goro-goro dan hidup kemudian cuma berisi sidang-sidang resmi, perundingan antar negara, konflik-konflik dan peperangan? Peter L. Berger, sosiolog beken itu, pasti akan mencibir sinis. Baginya, hidup tentu akan melulu jadi tumpukan fakta dan data, kering tanpa humor, tanpa kecenderungan tersenyum. Sulit membayangkan hidup tanpa senyum. Hidup tanpa goro-goro tentu sangat disesalkan. Bukan karena lantas tak ada senyum itu, tapi hidup tanpa goro-goro cuma menjadi semacam usaha melanggengkan otoritarianisme dan kemunafikan.


Semar, Petruk, Gareng dan Bagong, dalam goro-goro itu membuat guyon. Orang Jawa menyebutnya guyon pari keno (gurauan tapi mengena sasarannya). Kita bisa menyebut goro-goro macam itu sebagai kritik. Dalam tradisi kebudayaan politik Jawa, kata Mohamad Sobary, kritik wong cilik diterima jika kritik itu dibungkus gurauan halus dan bila jelas bahwa kritik itu memang tidak dilatarbelakangi tujuan-tujuan politis atau pamrih-pamrih tertentu.


Adakah orang yang melancarkan kritik tanpa pamrih seperti itu? Inilah persoalan yang sering merunyamkan dalam hubungan antara rakyat dengan pemerintah. Sebenarnya kritik dilahirkan guna menjaga keseimbangan. Tapi penguasa memang bukan wong cilik. Penguasa khawatir terhadap apa yang disebut “dampak”. Jadi maklum saja jika ada seniman dicekal, lagu disomasi, drama tak boleh dipertunjukkan, pertimbangan pokoknya adalah dampak itu tadi. Maunya suara yang terdengar hanya yang menyenangkan dan serba baik. Tak mengkhawatirkan akan timbulnya dampak. Terkesan tak ada sesuatu yang mengancam.


Pada beberapa waktu lalu, adegan goro-goro dialih fungsikan. Jadi sarana penunjang program KB, kesehatan, transmigrasi, koperasi. Intinya program pembangunan. Tapi apa yang terjadi jika goro-goro hanya melulu menyanyikan “lagu” pesanan? Ada suara yang hilang, pasti, yang tak bisa kita dengar. Di sana tak ada lagi ketulusan. Yang ada hanya sejumlah kepentingan-kepentingan terselubung, yang justru muncul tak terduga dari kalangan sendiri.


Jangan-jangan, selanjutnya, cermin di depan kita pun takut memantulkan wajah kita yang sebenarnya karena cermin pun tiba-tiba bisa bermain-main, pura-pura baik, pura-pura setia, pura-pura kawan. Selebihnya kita nampak berkuasa, kokoh, stabil dan mantap. Tapi mungkin keropos di dalamnya.


Ah piye yo…..


24 comments:

Rey said...

"Jangan-jangan, selanjutnya, cermin di depan kita pun takut memantulkan wajah kita yang sebenarnya karena cermin pun tiba-tiba bisa bermain-main, pura-pura baik, pura-pura setia, pura-pura kawan"

Ato bisa jadi krn wajahnya terlalu jelek, shg cermin pun takut memantulkannya, wakakakakkk :D

Btw kamu kok lama2 jadi serius tho... susah nyelanya nih... :D

Anonymous said...

wah tulisanmu ini juga termasuk "goro2 pesanan" yoooo....

hihihi..abis mbikin nyengir seh

Anonymous said...

Bagaimana kalo blogger seperti kita-kita ini yang jadi punokawannya Kang??? Biar gak serius melulu.
BTW aq pilih Petruk ae Kang, sopo ngerti iso dadi ratu... :D

Anonymous said...

Goro goro yang ada di negara ini bukan dimainkan oleh wong alit, tapi justru oleh pemimpin dan penguasa :)

Anonymous said...

Kalo tentara kita, justru bosan karena ga pernah perang. Makanya jd perang ama polisi..

`.¨☆¨geLLy¨☆¨.´ said...

cerminnya masih di tutup tirai sayUrr pas ngaca ga' kehilatan jadinya Heeee :D pis...

.: Kartika :. said...

nothin...
juzt remember the song 'goro-gorone'
ehehe

Judith said...

He he comment-nya lucu2!

Minggu lalu aku masak sayur asem, rasane terlalu asem. Soale pas masak nyambi ngaca, lupa dweh ...

astrid savitri said...

mm...

mungkin dari situlah pribahasa 'buruk rupa cermin dibelah' berasal...:-)

sayurs said...

#rey: mungkin begitu.. cermin pun ikut rasis dengan hanya melayani pemantulan pihak2 tertentu..

serius? ah bulik ini..

#wieda: opo iyo... :P

#fiz:ora milih semar sekalian, dadi dewa ngejawantah :P

#dony: dan hasile goro-goro yang sama sekali ga lucu malah bikin esmotzi

#zee: gitu kali ya bunda..

#gelly: bukan gitu nduk, tapi ajian halimunku belum ku nonaktifkan jadi ga kliatan wheekk..

#kartika: ha..ha...

#judith: wo lha emak satu ini..

#astrid: kalo yang itu berarti cerminnya masih jujur, orangnya aja yang ga siap..

ichal said...

semakin bijask mas sayur ini!!

NdaH said...

eh eh ngomong²
lek wayangan aku seneng pas goro-goro ne hi hi hi soale lucu

Gudang Kambing said...

hai lole-lole gembor monyor-moyor, begegeg ugeg-ugeg, hemel-hemel. Anakku gareng, petruk lan bagong. itu kadang menjadikan klangenan. tapi sekarang guyonan parikeno, itu jadi kurang mengena juga, lantaran wayang sendiri mulai tergeser kesenian barat.
ya namanya goro-goro. Mungkin beginilah kalau negera dipimpin oleh Petruk jadinya tambah goro-goro

Anonymous said...

suhu politik udah makin memanas, kalo melemparkan guyonan, bisa-bisa malah jadi ontran-ontran...

Anonymous said...

aku ki nek nonton wayang senengnge gur nek wayah goro-goro, opo maneh nek sindene njoget..jan tombo ngantuk.. :lol:

soyo temuwomen tulisanmu, sido entuk anak lurah po ? hihihih

Anonymous said...

Target-e dudu anak lurah keto'e :)
tapi anak cucune Sultan Hadiwijoyo :)

Anang said...

wah bumi gonjang ganjing hehe

deFranco said...

Goro-goro, pada awalnya memang sarat dengan kritik dan masukan buat sang penguasa...kalopun sekarang di alihfungsikan sebagai sarana berkampanye partai politik ya mbok wes ben wae...toh penguasa sekarang dikritik dan dikasih saran dalam bentuk apapun yo ra kodal kok...

Anonymous said...

panakawan,
pana=tahu, mengerti, waskita, paham
kawan=temen....

panakawan sebagai simbolisasi wong cilik sebenarnya adalah mitra strategis para ksatria(penguasa pemerintahan) untuk bertanya makna dan hakikat hidup....

Anonymous said...

wis suwe ra nonton wayang, dadi kangen karo petruk and his gang :)

dee said...

hidup tanpa goro-gor atw canda, garink bo..

dl saya sering nntn gareng petruk di TVRI loh.. skrg dah ga disiarin yah mas?

Anonymous said...

Ya.... ibarat nonton wayang, saat ini aku pengin nikmati goro-goro, biar hidup terasa lebih hidup. Bukan spaneng seperti suasana saat ini. Bukankah begitu kang......

Vina Revi said...

Barusan sekitar 3 minggu yang lalu ngeliat pagelaran wayang kulit (yang berlangsung singkat, cuma sekitar 30 menit) di KBRI Seoul.

Dan ajaib, Kayla -anakku- antusias banget nontonnya! Secara memang baru pertama kali dia nonton yang begituan secara live ... :)

sayurs said...

#ichal: bisa aja si abang..

#ndah: seneng lek2an ternyata, goro2 kan tengah wengi :P

#xo: sajake ngono ya kang?

#isnu: meden2i mbake iki.. :D

#regso: paham..paham..
temuwo? peh nganggo crito wayang trus dianggep temuwo, narasine ganti nganggo ultra men po piye ?

#om Pangg: jelas thok, ngerti ae si Om ki..

#anang: gnjang-ganjing meh ambruk ya?

#panJoel: mulo soko kuwi, molotov ae kudune..

#ndoro: idealnya negitu ndoro, tapi ? ..

#elys: petruke wis ra lucu maneh..

#dee: kalah ama ultraman cosmos n autobot

#tjitra: hooh yu, timbangane semruweng, yo ra..

#vinarevi: wah lha itu, Kayla emang anak yang baik, cerdas dan rajin membantu orang tua.. :D