... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Saturday, November 17, 2007

Mengampuni Kesalahan

bukan sekedar melupakan

Babak sejarah negeri ini yang secara bangga disebut `era reformasi` ternyata terselipi beberapa kerancuan. Salah satu yang mendasar berupa pengartian paksa atas tindakan `mengampuni kesalahan` para pelaku kejahatan politik dimasa lampau, sebagai `melupakan kesalahan`. Melupakan begitu saja. Kerancuan ini tentu melahirkan rasa risi dalam kalbu masyarakat yang masih terus menjaga kenormalan kepekaan kemanusiannya.

Kejahatan yang berbentuk tindak kekerasan keji yang mematikan orang-orang tak bersalah tentu tidak bisa dilupakan begitu saja. Apalagi bagi korban atau keluarga mereka. Bahkan setiap warga yang masih normal nuraninya akan terganggu oleh rasa risi jika kejahatan keji yang sampai merenggut nyawa orang-orang tak berdosa itu dibiarkan saja, tidak diusut, tidak diadili. Apalagi kalau lalu penguasa secara langsung atau tidak langsung menganjurkan kepada masyarakat luas supaya melupakan kesalahan begitu saja.

Persoalannya bukanlah apakah manusia atau suatu bangsa itu pendendam atau pemaaf. Kata `pendendam atau pemaaf` tidak selalu tepat diterapkan untuk suatu keharusan manusia mempertanggung jawabkan perbuatannya. Apalagi perbuatannya itu sungguh berupa kejahatan yang sampai menghilangkan jiwa. Justru ketika dipaksa melupakan begitu saja kewajiban untuk mempertanggung jawabkan kesalahan, jiwa itu akan terus menyimpan konflik yang menyakitkan.

Seiring berjalannya waktu, rasa menyakitkan itu akan makin kronis. Sampai suatu saat, batin tidak tahan lagi menanggungnya, lalu akan memuntahkannya keluar, mungkin dalam wujud agresi atau lainnya. Pelampiasan dendam itu dapat sedemikian brutal atau anarkis. Jadi, pemaksaan supaya melupakan begitu saja kesalahan orang (penguasa/pelaku/otak) yang seharusnya dipertanggung jawabkan, justru menjadi mekanisme pemendaman dendam.

Maka, upaya untuk memaksakan pelupaan begitu saja kejahatan masa lalu sungguh merupakan suatu perilaku yang akibatnya buruk. Bahkan membahayakan. Perilaku ini merupakan mekanisme penggumpalan dendam di dalam jiwa kolektif bangsa ini. Hal itu akan menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang menyimpan dendam tak berkesudahan. Juga mengkondisikan bangsa ini sebagai bangsa pendendam yang setiap saat bisa menyuburkan tindak kekerasan brutal sebagai wujud proyeksi rasa nyeri jiwa yang kronis.

(dalam rencana ada lanjutannya he..he..)

15 comments:

Anonymous said...

mengampuni kesalahan saja ndak cukup, harus diseret tuh penjahat2 kelas kakap yang berkedok mantan2pejabat tinggi yg sampai sekarang masih disegani dan dihormati, tapi siapa yang berani memulai? :(

Anonymous said...

nambah ... mengampuni dan melupakan kesalahan ? kepenak tenan yo !

sachroel said...

mampir mas

Anang said...

hukum aja mereka.... menelantarkan rakyat yang sudah semakin terlantar ini

Agaz said...

walah.. negara ini kan negara sinetron yur.. ben wae, sak penak wudhele dhewe wae.. kita wong cilik hanya bisa berharap dan selalu berharap akan perubahan.. tapi kapan ya? TUNGGU MBAH MARIJAN JADI PRESIDEN .. KEGELAPAN AKAN SEGERA BERGANTI DENGAN KECERAHAN.. :))

icHaaWe said...

hukuman mati mgkn lebih seru :P
Dan pasti banyak banget yg setuju yah

GHATEL said...

Ampun-ampun, kalau saya mah ngg' ada ampun deh....harus dihukum mo udah tua kek, mo sakit kek....hukuman harus jalan terus.

Sinopi said...

hukuman yg paling pas ya dikitikin ampe mati...
gw rasa itu lebih menderita ketimbang di tembak yg cuma sedetik doang...
*ngomong opo tho Yur...?! mbuh, ra ngerti. dah mumet urusan sendiri koq!*

Anonymous said...

waspadalah terhadap bahaya laten "megono sangit"

ichal said...

MENGAMPUNI...

alangkah indah jika kita memulainya dari diri kita sendiri, mengampuni diri dan orang-orang disekitar kita, baru deh belajar mengampuni yang lain-lain!!
amiinnn!!

zen said...

amnesia emang jadi penyakit kita. lupa berjamaan. idiom "perjuangan melawan kekuasaan seperti perjuangan ingatan melawan lupa" sangat cocok buat Indonesia.

salam kenal ya...

Anonymous said...

Terus gimana selanjutnya?
Primen,..Keprimen..?

sayurs said...

#elys 1 & 2 : lha iya to, kok lhe gurih men..

#sachroel : silaken masuk aja, sandalnya ga usah dilepas

#landy : kayaknya dua2nya ada yang ga beres

#anang : lha sing meh ngukum sopo ?

#agaz : nunggu ? mending disantet ae, yo ra :D

#bunda Icha : yang brani mengeksekusi sapa ???

#topan : setuju bro, yen perlu sing wis mati kuburane dudah trus dirajang (sadizz)

#nope : mumet urusan sendiri ? halah jangan2 kamu ikut terlibat..

#regsa : ini dia anteknya..

#ichal : idealnya begitu..

#zen : betul itu, dan sayangnya kronis. suwun wis mampir kang.

#dwi : sabar, delat maning kiyeh..

adekjaya said...

mmm...ampun itu judul sineron ya?

Vie said...

Kalo aku bukan pendendam juga bukan pemaaf!