Gara-gara sikapnya yang terlalu tamak untuk memiliki tanah, seorang petani Rusia pernah mengalami nasib tragis. Leo Tolstoy dalam bukunya, Tuan dan Hamba, menceritakan, petani itu pindah dari rumah dan menjual segala miliknya untuk membeli tanah di tempat yang baru. Tanah di sana lebih subur untuk ditanami gandum dan harga tanah itu jauh lebih murah daripada di tempat asalnya. Ditempat baru itu belum begitu lama, dia mendengar berita bahwa di tempat lain ada lagi tanah yang lebih subur dengan harga sangat murah. Di sana orang boleh menguasai tanah seluas apapun dengan sedikit bayaran. Ukuran tanah bukan meter, bukan pula hektar, melainkan sejauh apa kemampuan lari dari pagi sampai sore, dan wilayah yang sudah dicapai itu boleh diklaim sebagai miliknya.
Petani itu berlari sekuat tenaga mengitari dataran luas, untuk kembali lagi ke titik awal di kaki bukit sebelum matahari terbenam. Kakinya terluka, nafasnya hampir out tapi ia tak peduli. Ia terus berlari dan berlari. Dalam pikirannya hanya ada satu hal: tanah, tanah, tanah.
Para saksi yang berdiri di puncak bukit melihat bahwa petani itu sebenarnya berhasil meraih apa yang diinginkan. Dari atas bukit mereka melihat matahari belum terbenam. Namun sang petani tahu, dari tempat yang lebih rendah, matahari telah terbenam di balik bukit. Ia putus asa. Perjuangannya berakhir dengan sia-sia. Dalam keputusasaan itu pandangannya tiba-tiba gelap. Dan ia pun roboh seketika. Mati !
Para saksi bergumam sedih, mungkin juga sinis, “Ia kelewat semangat. Berapapun luas tanah yang ia kehendaki, akhirnya cuma dua meter juga yang ia perlukan”.
Petani di Jawa juga mencintai tanah. Hal yang lumrah. Dalam hal ini petani Rusia dan petani Jawa sama saja. Hanya sifat dan ekspresi cintanya yang berbeda. Toha Mochtar dalam novelnya yang berjudul Pulang menggambarkan keterikatan cinta petani dengan tanahnya secara intens, penggambaran yang didukung penghayatan psikologi sang petani.
“Ingat, Tamin,” kata ayahnya. “Tanah ini adalah yang terbaik di seluruh desa lantaran dibatasi oleh sungai yang tak pernah kering sepanjang musim. Cintailah ini seperti juga nenekmu mengajari aku. Gantungkanlah pengharapan hidupmu di sini, dan bila datang masanya engkau memegang sendiri, jangan kau lepaskan kelak meski sejengkal. Kau harus tahu, bahwa janji hidup dari keturunanmu terletak dalam tanah itu pula, seperti juga ia telah menghidupi nenek moyang kita. Ini adalah pusaka”.
Dalam gambaran Tolstoy, cinta yang bersifat ekspansif, gambaran kerakusan untuk sebanyak-banyaknya memiliki, termasuk apa yang belum di tangan. Sedangkan cinta dalam novel Pulang menyiratkan sekedar dorongan mempertahankan milik yang sudah di tangan. Disana ada sejenis “beban generasi” untuk menjaga keutuhan harta warisan. Ada pula tuntutan menjunjung tradisi, mewariskan kembali apa yang ia terima dari generasi leluhur kepada generasi berikutnya.
Jadi bisa dimengerti jika tanah memiliki pertalian yang begitu ruwet, keterikatan psikologis, tuntutan kemasyarakatan (keharusan mempertahankan hak dan tradisi yang diikat oleh hukum waris) apalagi nilai ekonomis tanah yang begitu penting bagi petani, tentu bisa mengundang persoalan yang kompleks.
Kasus Kedungombo bisa dianggap satu contoh betapa tidak sederhananya persoalan yang berkisar di sekitar tanah. Sengketa sebidang kapling bisa mengundang buntut lebih panjang dan ruwet, bukan hanya hukum, tapi juga politis dan tindakan “pengamanan” oleh aparat negara. Dengan kata lain, tanah bisa menimbulkan pertarungan demi memamerkan siapa lebih kuat, siapa lebih berkuasa.


