Sebuah kurungan bisa amat penting, bisa juga tidak. Tergantung dipandang dari sudut mana dan siapa yang memandang. Namun menurut saya pribadi isi kurungan lebih penting daripada kurungannya.
Pak camat di desa saya dulu punya seekor perkutut yang hebat. Kabarnya, orang dari kota pernah ada yang ingin menukarnya dengan sebuah BMW baru. Itu burungnya. Kurungannya, kata lik Samin lebih mahal daripada rumah lik Samin sendiri yang memang kecil itu. Maklum, namanya juga burung milik Pak Camat. Kurungannya itu fungsional dan itu memang penting. Ganjil bila burung semahal itu dikurung dengan kurungan yang reot dan rapuh.
Kantor, asal-usul keluarga, kesukuan, agama, titel kesarjanaan, partai, organisasi profesi bahkan istri, suami, pakdhe, paman, menurut Mohamad Sobary, itu semuanya kurungan. Nama kita pun sebuah kurungan. Seperti dalam kasus perkutut Pak Camat, antara orang dan namanya harus ada keserasian juga. Kalau tidak, bisa menimbulkan gangguan dan sejumlah persoalan.
Pernah ada seorang petani kampung memberi nama anak laki-lakinya Gerry Partaningrat. Suatu ketika si Ningrat sakit-sakitan, mbah dukun membuat diagnosa bahwa dia keberatan nama. Kalau tidak diganti, kata mbah dukun, bisa gawat. Seandainya orangtuanya pergi ke dokter, bukan ke dukun, persoalannya tentu akan lain. Tapi sudahlah, Gerry Partaningrat diganti menjadi Rekso, dengan kelengkapan upacara kecil, ditandai jenang putih jenang abang. Kontras memang pergantian itu, tapi apa boleh buat, demi keserasian, yang dalam dunia pemikiran Jawa merupakan sesuatu yang penting. Dan Rekso lalu tumbuh makin sehat bahkan sekarang sudah menjadi orang sukses di pulau industri sana.
Dulu para pemuda berebut masuk KNPI, Sebagai kurungan, KNPI menjadi saluran karier politik yang baik. Bagi yang tak punya naluri politik, paling tidak KNPI memberinya identitas tambahan. Fungsi kurungan sebagai identitas menjadi penting bagi mereka yang gila atau krisis identitas.
Namun banyak juga orang yang tidak kurungan oriented. Mereka risih dengan berbagai kurungan. Gelar kesarjanaan tidak usah selalu dipakai. Jas dan segala lambang kuning emas di dada sesekali perlu ditanggalkan. Dan dalam pergaulan sehari-hari tak perlu menonjolkan secara verbal puritansi keagamaannya. Yang Islam tidak perlu memamerkan keislamannya, yang Kristen tak perlu pamer kekristenannya.
Kurungan ya kurungan, ia cuma lapis luar dari diri ini. Kurang begitu penting. Orang macam Emha Ainun, sosok yang terbiasa bebas di bawah langit dengan selimut mega, mungkin sudah sumpek hidup dalam banyak kurungan : dramawan, penyair, budayawan, kolumnis, cendekiawan muda, atau lainnya. Tak terasa aneh jika waktu itu menolak diberi kurungan baru yang gagah : Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Tanpa dikurung dalam ICMI ia sudah sejak lama dijuluki cendekiawan Islam (Muslim). Tanpa kurungan resmi ia sudah “menjadi”. Sementara itu, banyak orang lain mencari kurungan dengan harapan “ingin menjadi”. Di sebuah kesempatan dalam Mocopat Syafaat dia berujar : yang harus kita cari esensi, bukan eksistensi.
Alasan resmi penolakannya untuk join di ICMI waktu itu adalah, “Saya tidak mampu memanggul tugas mulia itu”. Siapa yang menyuruhnya memanggul sesuatu? Dalam tradisi kita, sebuah status tak selalu menuntut peranan. Achievement, umumnya, belum menjadi tekad utama banyak pihak. Jadi kalau seseorang masuk ke sana untuk kemudian duduk lalu diam, sebenarnya orang tersebut toh tak akan banyak dituntut. Masalahnya, ya itu tadi, bahwa kurungan, bagi banyak pihak, lebih penting daripada isinya.