Dengan kemampuan ekstranya, konon Togog adalah dewa yang ngejawantah - seperti Semar, si abdi ini mampu menyusup ke sumber berita yang layak dipercaya dan paling aktual. Siang itu, setelah sidang kabinet yang melelahkan membujuk Dasamuka agar mengembalikan Shinta, Gunawan Wibisana ditebas oleh Dasamuka. Gunawan roboh dan mati seketika. Kematiannya dirahasiakan. Segenap kawula dan kadang sentana keraton yang ada di dalam istana tidak boleh keluar. Juga sebaliknya, yang di luar tidak diperkenankan masuk. Seluruh pintu dijaga super ketat demi rahasia ini.
Togog segera menyampaikan hal ini, Kumbakarna menggeram demi mendengar laporan sang abdi. Suaranya menggelegar di langit. Langkah kaki raksasa yang menahan amarah itu mengguncang bumi Alengka. Dia menuntut keadilan. Sepanjang jalan menuju istana, Kumbakarna mengamuk. Benteng dirobohkan, beringin ditumbangkan, taman-taman diobrak-abrik. Ibukota negeri bagai diterjang prahara.
Melihat amuk adiknya, Dasamuka bergidik. Dia memang sakti mandraguna, tapi Kumbakarna pun bukan tandingan biasa. Dia memilih sembunyi, disuruhlah patih Prahasta untuk meredam amarah sang adik.
"Ingat anakku, Kumbakarna," bujuk si patih, "bumi bisa kau telan bila kau mau, tapi jangan kau lupakan para kawula cilik yang tak bersalah, yang bisa jadi korban kemarahanmu, jika kau tak mau mengendalikan emosimu. Badanmu memang raksasa, anakku, tapi aku tahu, jiwamu satria sejati.."
Kumbakarna luluh dalam bujukan. Namun, sejak saat itu pula dia tidak mau lagi menyaksikan tingkah polah Dasamuka. Dia menyingkir, tak tega melihat kekejaman kakaknya. Bertapa tidur di Panglebur Gongso bertahun-tahun. Orang menyebut Kumbakarna seorang patriot, salah satu contoh perilaku satria utama. Tapi ada pula yang menilainya pengecut, satria yang rela mati konyol. Dianggap tidak berbuat sesuatu melihat kejahatan merajalela di depan matanya. Tapa tidurnya dianggap sikap skeptis yang tidak bertanggungjawab.
Kita paham, dunia wayang itu pralambang. Tidurnya Kumbakarna di sini tentu saja tidak berarti dia menggeletak di kasur dan asyik bermimpi. Tidur bisa diartikan menarik diri dari kehidupan politik. Menonaktifkan diri dari gemuruh riuh urusan kenegaraan yang ruwet. Dasamuka yang kolonial, ekspansif dan memuja superioritas diri telah membuat sang adik yang memegang teguh bahasa moral menjadi lelah badan sekaligus jiwa.
"Terserah, kalau suaraku tidak diperlukan," begitu arti tidurnya, "tapi tunggulah, keruntuhan akan menimpamu."
Rezim otoriter sering memunculkan hal seperti ini. Yang didengar oleh raja ya suaranya sendiri. Atau suara siapa yang bersedia menjadi bayangannya dan sendiko atas segala sikap dan tindakannya. Raja macam ini sangat anti pada suara tandingan. Akibatnya sistemisasi pembungkaman tak terelakkan. Penjara diperlebar.
Kumbakarna kecewa, lalu memilih jalan sepi. Satria yang melambangkan suara moral. Tindakannya diambil berdasarkan pertimbangan jangka panjang, demi kepentingan negara dan bangsa. Dia tidak memberontak melawan Dasamuka, memilih tapa tidur untuk memberi kakaknya kesempatan merenung. Tapi di sini pula kelemahan gerakan moral, lawan politik kelewat enak dibiarkan dan ditinggal tidur. Bebas merajalela..