... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Saturday, September 27, 2008

Saturday, September 20, 2008

Bulan suci

Bulan Ramadhan sering disebut bulan suci meski dalam Al Quran tidak ada pernyataan mengenai label suci ini. Bahkan banyak orang yang berlebihan dalam mensucikan bulan ramadhan, dan sambil mengatasnamakan Tuhan mereka melakukan kerusakan atau kezaliman. Yang begini ini yang malah merusak Islam dan mencemari kemuliaan umat Isalm. Lha wong bulan Ramadhan itu bulan yang didalamnya kita diseru untuk melatih diri agar kita bisa mengendalikan hawa nafsu, kok malah ada yang anarki.

Warung nasi dan restoran yang buka di siang hari selama ramadhan itu ya untuk mereka yang berat menjalankannya. Warung makanan buka di siang hari itu untuk memenuhi kebutuhan orang yang sedang sakit, orang-orang yang amat berat pekerjaannya, orang yang sedang dalam perjalanan jauh alias musafir, dan bagi mereka yang beragama lain. Sang Maha Pembuat aturan memberi toleransi bagi mereka yang tidak mampu menjalankan aturan-Nya, dan sudah disiapkan pula panduan mekanisme kompensasi penggantinya. Kembali lagi, warung makanan yang buka pada siang hari itu tidak ditujukan kepada yang berpuasa. Yang berpuasa kalau mau jujur dan positive thinking pada dirinya ya tidak akan membatalkan puasanya gara-gara melihat ada warung yang buka.

Gusti Yang Maha Pemurah menghendaki kemudahan bagi manusia dan tidak menghendaki kesukaran. Termasuk tidak adanya larangan bagi umat yang memang jalan rejekinya dengan menjajakan makanan atau membuka warung makan. Sayangnya banyak orang yang malah tidak bisa menerima pernyataan Allah tersebut. Jelas, Sang Khalik memberikan kemudahan, tapi kita sok kuasa dan akhirnya memberikan kesukaran bagi orang lain. Bagaimana kita bisa bersyukur bila perilaku kita menyulitkan orang lain? Sekali lagi Beliau tidak menghendaki kesukaran pada umatnya dengan merumitkan term of conditions atas segala sesuatu.

Ada yang atas nama demi menghormati orang-orang yang berpuasa pada bulan ramadhan maka mengeluarkan larangan ini itu bahkan menyempatkan diri mengobrak-abrik tempat-tempat maksiat. Apakah tempat-tempat itu menjadi boleh (atau halal) melanggengkan maksiat saat ramadhan telah lewat? Apakah orang-orang yang menjalankan puasa-puasa sunah di luar ramadhan tidak perlu dihormati hanya karena mereka minoritas, sehingga yang perlu dihormati hanya pelaksana puasa ramadhan yang dijalankan serentak bersama-sama orang banyak ?

Berpuasa itu bertujuan untuk meraih sesuatu yang luhur, yaitu untuk membangun diri hidup di jalan yang benar. Dengan berpuasa sebulan penuh kita dididik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kita bisa merasakan bahwa Gusti Pengeran itu dekat dengan kita. Merasakan dekat dengan-Nya adalah anugrah yang tiada terkira. Lha kok untuk mendapatkan itu kita maunya godaan-godaan yang ada dihilangkan, bahkan jika perlu dengan anarkis dan menyengsarakan orang lain. Bukankah semakin berat godaan atau ujian yang kita terima maka semakin besar pula peluang hikmah dan reward yang akan kita dapatkan? Makin besar rintangan yang kita hadapi maka makin lebar pula kesempatan kita meningkatkan iman jika kita berhasil melewatinya. Semoga..

gambar: Puncak Mahameru, Jatim, 2002

Wednesday, September 17, 2008

Puasa dan laku

Puasa bukanlah sekedar menahan diri dari lapar dan haus sejak fajar hingga matahari terbenam pada bulan Ramadhan ini. Pada awalnya perintah berpuasa ini bertujuan untuk membangun pribadi maupun sosial yang terjaga, terlindung dari perilaku tercela. Puasa yang sejati dapat memotivasi pelakunya untuk meraih tujuan yang sebenarnya yaitu: hidup bertakwa, menjadi manusia patuh, menjadi hamba yang bersyukur dan menjadi hamba yang senantiasa berada di jalan yang benar (QS 2: 183-187)

Mencegah makan, minum dan seks dari fajar hingga matahari terbenam merupakan tata krama puasa. Karena sebagai tata krama, jadi ya tidak perlu berlarian atau tergesa-gesa mengambil makanan atau minuman saat tanda maghrib tiba. Memang kita disunahkan untuk menyegerakan berbuka, tapi bukannya bertindak seakan-akan orang yang kelaparan dan kehausan saat menyerbu hidangan berbuka.

Dalam Suluk Sujinah diterangkan bahwa puasa –yang secara fisik itu- harus dilanjutkan atau disertai laku yang disebut tapa. Dan tapa sebagai perwujudan laku ini ada empat macam, tapa ngeli, tapa geniara, tapa banyuara dan tapa ngluwat.*)

Tapa ngeli. Kata “ngeli” artinga menghanyutkan diri. Yang dimaksud dalam laku ini adalah berserah diri sepenuhnya, total mengikuti (arus) kehendak Gusti Yang Maha Wisesa, darma nglakoni. Kosakata Jawa “darma nglakoni” tidak berkonotasi pasif tinggal menjalani, tetapi bahwa kita kudu menjalankan kebajikan yang dikehendaki-Nya.

Tapa geniara. Orang yang menjalankan puasa harus tidak merasakan sakit hati bila dibicarakan orang lain, tidak mudah terpancing emosinya. Pelaku puasa tidak gampang terbakar. Orang itu harus bisa menerima kritik, sepahit apapun itu. Bisa menanggapinya dengan langkah hidup yang kalem, teguh dan rahayu.

Tapa banyuara.Orang berpuasa harus mampu menyaring omongan dan tutur kata dari orang lain yang mengingatkan kita. Orang yang terlatih puasa harus pandai mendengarkan orang lain. Jadi bukan hanya pandai bicara tapi juga pandai mendengarkan dan penuh perhatian.

Tapa ngluwat. Secara literal artinya memendam diri di dalam tanah. Tapi bukan itu yang dimaksud di sini. Makna tapa atau puasa ngluwat adalah merendah, tidak membanggakan kebaikan diri, tidak memamerkan amal kebajikan, dan tidak membanggakan jasa yang pernah dilakukannya. Menjaga diri, rendah hati dan bisa memerangi gejolak hawa nafsu.

Dengan menyertakan laku tersebut dalam kehidupan sehari-hari, percekcokan yang tiada guna itu bisa dihindari. Yang tercipta adalah sepi ing pamrih rame ing gawe, banyak yang dapat kita kerjakan dan sepi dari kepentingan. Dan, itulah wujud dari pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Agung. Semoga.

*) Faqier Abdul Haqq, 1990, Suluk Sujinah, cet. IV, Yogyakarta: Bratakesawa.

gambar : Pertapan Semar, Gunung Arjuno, Jatim, 2003