... urip opo anane kadyo ilining banyu, ora kedhuwuren gegayuhan, ora kejeron pasrahe ...

Friday, August 1, 2008

Jiwa yang terpenjara

Orangnya tidak terkurung di dalam penjara tapi dia terpenjara. Celakanya, banyak orang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka terpenjara juga di dalam seluruh kebebasannya. Dalam konsep orang sebrang sana, penjara jenis ini disebut captive mind; jiwa yang terpenjara (sekalipun fisiknya bebas melayang ke mana saja). Ini kelihatannya lebih membahayakan dan lebih kejam dibanding terpenjara secara fisik.

Kebodohan yang membuat kita menjadi picik, merasa paling benar, keras kepala, dan segenap ketidakmampuan bersikap kritis, pada dasarnya adalah potret sebuah keterpenjaraan jiwa. Banyak ulah manusia yang mungkin bisa disebut sebagai gambaran keterpenjaraan jiwa itu. Nafsu berkuasa yang berlebihan (hasrat menjadi sesuatu dan tak memberi kesempatan orang lain menggantikannya) juga bentuk jiwa yang terpenjara. Kata Om Sobary, dinamakan “penjara nafsu”.

Rangkaian dari keterpenjaraan ini bisa banyak sekali. Lanjutan nafsu berkuasa, biasanya, adalah nafsu “ingin punya”. Dalam dunia wayang kita kenal dengan Dasamuka. Ia bernafsu menjadi jagoan paling sakti di bumi (bahkan juga di langit, ingin melebihi para dewa) dan ingin memiliki apa saja yang dimiliki orang lain. Di sekeliling kita, nafsu ingin punya ini diwujudkan dalam bentuk ingin beli pulau, ingin beli gunung, ingin beli danau, lembah, pabrik-pabrik bahkan istri orang lain.

Buat anaknya yang sudah bisa kerja, dibelikan pabrik atau kantor yang disenangi. Untuk istrinya, dibelikan kebun binatang dan kebun raya, kali aja sang istri ingin menyegarkan jiwanya yang juga terpenjara. Anak-anaknya yang masih sekolah? Dibelikan sekolahan! Namun biar tidak mencolok, cukup dengan menyogok guru-gurunya. Kalau anaknya yang dungu itu tidak naik kelas, gurunya diguyur duit. Dan rapor yang terbakar pun dipadamkan, lalu si anak dungu diberi kesempatan naik kelas.

Betapapun bahayanya terpenjara secara fisik, segala dampak negatif dan aneka corak penderitaannya lebih banyak dirasakan oleh yang bersangkutan. Tapi keterpenjaraan jiwa, diam-diam merembet, merayap dan menggerayangi segenap pihak dalam keluarga. Lalu segenap kerabat, famili, sanak dan konco-konco seperjuangannya. Keterpernjaraan jiwa laksana wabah yang berjangkit. Masa inkubasinya pendek, jangkauan dan daya ledaknya luas. Ancamannya gawat, meski tak selalu darurat. Soalnya, yang bersangkutan sering tak sadar. Dan karena itu juga tak harus merasa malu, yang ada malah semacam rasa bangga.

Dokter medis, dokter jiwa, psikolog, pekerja sosial, dukun, kiai dan segenap ahli rohani harus dikerahkan untuk menyembuhkan keterpenjaraan jiwa seperti itu. Jika semua ahli tyersebut masih belum menyembuhkan juga, mungkin tinggal satu yang bisa dijadikan tumpuan harapan, sejarah. Biarkan sejarah yang sabar dan kalem itu dengan teliti merekam, mencatat dan mengumpulkan segenap fakta yang diperlukan. Kelak, akhirnya sejarah akan bisa berkata, seperti Chairil Anwar, “Bila telah sampai waktuku, kumau tak seorangpun kan merayu. Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu. Karena kau terlambat. Saat kejatuhanmu telah tiba. Selamat jalan”.

Pada tiap diri kita mungkin sudah dilengkapi alam dengan alat-alat sensor yang bisa mencegah kemungkinan terjerumus ke dalam penjara seperti itu. Tinggal bagaimana kita sendiri. Terpenjara atau tidak, sebenarnya kita sendiri yang menetukan. Kita diberi hak untuk menjadi arsitek, buat melukis nasib kita sendiri. Gitu kan ya?